32.9 C
Jakarta

Benang Kusut Argumen Khilafah

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBenang Kusut Argumen Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Pengejawantahan khilafah merupakan wilayah ijtihadiah.. Khilafah skala dunia adalah utopis.. Jadilah khilafah NKRI berdasarkn Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Undang-Undang Dasar RI 1945,” tegas Profesor Muhammad Chirzin, Guru Besar Tafsir Al-Qur’an di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ketika mengomentari buku karya Muhamad Sofi Mubarok, Kontroversi Dalil-Dalil Khilafah.

Buku tersebut merupakan saripati tesis penulis, Muhamad Sofi Mubarok, yang menguraikan secara detail tentang khilafah dan semua yang berkenaan dengannya. Bagaimana argumen khilafah dibantah dengan penafsiran corak esensial (maqashidi) menjadi bagian penting dalam buku setebal dua ratus enam halaman ini. Karena khilafah konotasinya adalah kepemimpinan, term al-imamah juga menjadi topik utama.

Meski literatur tentang khilafah menjamur dalam pustaka keilmuan kita, buku ini memiliki daya tarik tersendiri. Ia mengupas secara holistik, menyeluruh, tentang dalil-dalil khilafah yang kontroversial. Duduk perkara polemik khilafah kemudian menemukan titik penyangga, ketika Mubarok mengulas menggunakan kacamata epistemis an sich, yang notabene ijtihadi, tentatif, dan tidak sebagai doktrin teologis.

Sebagaimana ditegaskan Mubarok dalam kata pengantarnya, kekuatan buku ini berada pada upayanya untuk mendudukan kembali term kepemimpinan itu sendiri. Konsep al-imamah kemudian mengkonstruksi pemaknaan baru tentang khilafah sebagai, ternyata, sistem yang non-absolut. Jika Syiah dan Hizbut Tahrir memahami khilafah sebagai doktrin, buku ini adalah kebalikannya. Delegitimasi kepemimpinan ala Khawarij juga diulas dalam buku ini.

Secara sistematik, karya Sofi Mubarok ini terdiri dari lima bab—tiga bab inti. Yang tidak bisa dipisahkan ialah keterkaitan antara term-term penting; khilafah dan imamah. Bagaimana argumentasi teologis terjalin berkelindan dengan kepentingan politis merupakan polarisasi yang tak terbantahkan. Keutuhan bahasan Sofi Mubarok terletak dalam keberaturan secara sistemis, yakni politik khilafah, argumen parsial yang disuguhkan, serta tinjauan maqashid syariah-nya.

Khilafah yang Politik-Sentris

Fikih politik (fiqh al-siyasah) bukanlah diskursus baru. Itu yang pertama harus ditegaskan. Ia berjalan dalam keberlangsungan sejarah, dan merupakan perkawinan para cendekiawan di masanya dengan sistem politik yang berlaku ketika itu. Karenanya, untuk memahami khilafah, sistem politik di masa monarki Islam, harus dipahami secara holistik dari akar historisnya. Pada akhirnya, titik terang akan mengemuka, bahwa idealnya, khilafah sangatlah politic-oriented.

Sungguh pun demikian, Sofi Mubarok bukan lantas menegasikan eksistensi politik dalam Islam. Tidak. Yang ia kemukakan ialah orientasi politiknya yang mengutamakan kemaslahatan. Itulah yang disebut sebagai politik syar’i (siyasah syar’iyyah). “Parameter siyasah syar’iyyah ialah prinsip kemaslahatan dan kemafsadatan (kerusakan)… meski tidak ada tinjauannya dari wahyu, maka sudah dapat dikatakan sebagai politik yang dicita-citakan syariat.” [hlm. 31]

Landasan teologis khilafah, dalam buku ini, ada empat: Al-Qur’an, hadis, ijmak, dan rasio. Ayat Al-Qur’an yang diafirmasi sebagai dalil khilafah yaitu surah al-Nisa’ [4]: 59, yang menyebutkan khilafah secara implisit menggunakan redaksi uli al-amr, otoritas pemerintahan. Hadisnya pun tidak sedikit. Tetapi dalam konteks ijmak, kekuatan hukumnya bersifat aksiomatis (dharuri). Dan landasan rasional atas khilafah ialah kebutuhan membangun jaringan sosial—mustahil individualistik.

Apa yang diuraikan Sofi Mubarok tentang khilafah tadi bukanlah secara denotatif sebagaimana Hizbut Tahrir memahaminya, melainkan sebagai sistem politik universal, yang berkaitan dengan kepemimpinan (al-imamah). Jika demikian adanya, maka pada dasarnya khilafah itu terpusat ke dalam susunan politik demokratis, bukan pada doktrin bulat hasil ekstraksi dari masa lalu. Yang ada di masa lalu adalah sistem, sekarang pun demikian, namun dengan model yang tak sama.

Dalil Parsial-Kontradiktif Khilafah

Kalau pun kita perlu memaklumi bahwa persoalan khilafah berkaitan erat dengan kondisi sosial-politik tertentu, namun ada hal lainnya kenapa ia semakin marak, yaitu pemahaman yang parsial atas hujah teologis tadi. Keabsahan uli al-amr sebagai penguasa mutlak yang wajib ditaati akan terkesan feodalistis, dan juga berseberangan dengan ayat lainnya. Prinsip utama politik syar’i yang dikemukakan di atas akan tercederai.

BACA JUGA  Penanganan Terorisme di Indonesia: Perspektif Kebijakan Hukum Pidana dan Non-Pidana

Sofi Mubarok menegaskan, yang demikian akan menyulitkan kita, sebab pemerintahan despotik dan tiranik seakan-akan ditemukan afirmasinya secara teologis. “Karena melawan pemerintahan sah berarti melakukan tindakan separatis dan bughat, sedangkan di lain pihak rakyat memegang peranan penting dalam kapasitasnya sebagai penyeimbang kekuatan pemerintah untuk menciptakan good governance.” [hlm. 77]

Tak hanya landasan teologis Al-Qur’an, dalam ijmak pun demikian. Tak ada pijakan yang kompleks dan riil, bahwa khilafah itu memiliki argument ijmak. Sebagai diskursus aplikatif, dalil ijmak khilafah masih menyisakan persoalan, sebagaimana diungkapkan Sofi Mubarok berikut:

Apakah yang dimaksud ijmak dalam hal ini adalah consensus para sahabat dalam menegakkan khilafah sebagai sebuah institusi kepemimpinan yang diawali dengan pelantikan Abu Bakar, atau consensus para sahabat saat itu sebatas mengimplikasikan kewajiban mengangkat pemimpin?” [hlm. 88]

Semua kontradiksi dalil teologis ini disebabkan pemahaman parsialistik, tak utuh, atas dalil itu sendiri. Padahal Al-Qur’an antara satu dengan yang lainnya memiliki kesinambungan, konstruk pemahaman yang holistik. Sementara itu, ijmak sendiri juga memiliki akar historis yang kompleks dan mesti dipahami secara kontekstual. Nilai universal Islam tak bisa dikebiri disebabkan pemahaman yang atomistis, dan uli al-amr tidak bisa bertindak feodalis lantaran ijmak, lebih-lebih yang mengabaikan kemaslahatan.

Sofi Mubarok juga mengulas kontradiksi prasyarat khilafah yang di antaranya ialah harus keturunan Suku Quraisy, unggul secara spiritual dan menjadikan khulafa’ al-rasyidin sebagai satu-satunya system pemerintahan Islam. Melihat segala ciri khilafah dan benang kusut argumentasi yang disuguhkan, barangkali tak berlebihan bila dikatakan bahwa, sekalipun punya justifikasi teologis, ia tidak lebih hanya ideologi belaka.

Menuju Tafsir Holistik melalui Maqashid al-Syariah

Upaya untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi tadi adalah dengan mengkonstruk pemahaman yang utuh atas setiap ayat, yang disebut dengan mencari maqashid al-syariah. Politik syar’i yang dimaksud Sofi Mubarok di awal merupakan pengejawantahan dari maqashid al-syariah itu sendiri. Poros konstan ini merupakan pijakan menelisik tujuan di balik teks, menghindari diri dari pemahaman harfiah. Mirip ushul fikih, namun maqashid tak terbatas pada tujuan dari jenis suatu hukum saja.

Maqashid al-syariah sebagai analisis untuk mengurai kontradiksi antara konsep-konsep khilafah… Sebagaimana mayoritas hukum muamalah lainnya, inti dari penyelenggaraan urusan-urusan politik lebih memperhatikan substansi dan esensi dibandingkan format dan bentuknya.” [hlm. 117]

Cukup detail Sofi Mubarok mengklasifikasi kaidah-kaidah fikih siyasah untuk menguraikan teks yang kontradiktif tersebut, yang ia kutip dari Ibnu Asyur. Tafsir holistik atas dalil-dalil teologis, sebagaimana pada surah al-Nisa’ [4]: 59 menemukan kesimpulan bahwa segala yang bertujuan menjatuhkan, menyebabkan mafsadat, itu mesti ditentang. Dalam hal ini uli al-amr. Khilafah dipahami sebagai sistem, tidak ala Hizbut Tahrir, yang notabene ideologis. Begitupun hadis dan ijmak.

Pada intinya, Sofi Mubarok hendak menegaskan bahwa khilafah itu sendiri perlu direinterpretasi. Jika ia dipahami sebagai ideologi, maka terlarang, dan argumen untuk perkuat ideologi khilafah tersebut begitu dangkal. Ia tak ubahnya benang kusut, mudah dipatahkan. Tetapi melalui kajian holistik, dijumpailah pemahaman yang tepat bahwa khilafah secara maqshid adalah sistem. Sifatnya ijtihadi, bukan doktrin. Karena ia sistem, maka penerapannya juga tergantung konteks di mana ia hendak diaplikasikan.

Jadi, berkhilafah di Indonesia adalah berpakuan pada konsensus yang telah ada, bukan pemaksaan ideologi dengan cara mengganti ideologi Negara. Inilah juga yang dimaksud Profesor Chirzin yang telah dikutip di muka. Untuk sampai di taraf ini, maqashid al-syariah menjadi jembatan atas benang kusut argumentasi khilafah, lalu mendudukkan keadilan dan kemaslahatan di tataran utama.

Karya Sofi Mubarok, daripada karya lain yang setopik, adalah yang paling serius ulasannya. Ia sangat cekatan dalam mendekonstruksi dalil khilafah yang ideologis, dan merekonstruksi pemahaman khilafah yang jihadis. Meski demikian, Sofi Mubarok dengan rendah hati tetap merekomendasikan kajian lanjutan yang komprehensif tentang topic terkait. Hal itu guna menghindari eksklusivisme yang menghalangi progresivitas politik Islam.

Yang paling pokok dalam merumuskan peta politik Islam adalah merealisasikan nilai-nilai keadilan, tegaknya supremasi hukum serta terjaganya stabilitas Negara. Inilah ketetapan baku yang harus diaktualisasikan sepanjang masa.” [hlm. 188]

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab.

Judul                     : Kontroversi Dalil-Dalil Khilafah

Penulis                 : Muhamad Sofi Mubarok, S.SI., M.HI

Tahun                   : Juli 2017 (Cet. I)

Penerbit              : Pustaka Harakatuna

Tebal                     : xviii + 206 halaman

ISBN                      : 978-602-61885-0-2

Ahmad Khoiri, Redaksi Harakatuna.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru