31.8 C
Jakarta

BEM UI, BEM Nusantara, dan Matinya Kritisisme bagi Si Penjilat

Artikel Trending

Milenial IslamBEM UI, BEM Nusantara, dan Matinya Kritisisme bagi Si Penjilat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Sayang kalau dilewatkan kritik pedas dari BEM Universitas Indonesia atas kinerja dan janji Presiden Jokowi selama ini. Hanya melalui meme sederhana, seluruh Indonesia gempar. Meme bergambar wajah parlente Presiden Jokowi, saat bicara di podium. Meme itu bertulis Jokowi: The King Of Lip Service”. Kritik itu adalah model kreativitas kritik “anak muda kekinian”.

Ketidaksetujuan terhadap kritik BEM UI itu membuncah. Kritik itu teranggap tidak sopan dan tidak santun. Bahkan sebagian orang bilang bahwa itu menghina simbol negara.

Banyak yang mempertanyakan, apa ukuran sikap sopan dan sikap santun dalam politik? Apa perbedaan kritik dan menghina? Siapakah simbol negara itu, apakah Presiden termasuk?

Kita bisa merenungkan pertanyaan di atas. Tapi yang lebih substansial adalah kritik BEM UI itu sendiri. Ini yang banyak pihak tak mau membicarakannya dan malah lari terbirit melihat kiri dan kanan.

BEM UI menulis: “Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, Penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya. Semua mengindikasikan bahwa perkataan yang dilontarkan tidak lebih dari sekadar bentuk “lip service” semata”.

“Berhenti membual, rakyat sudah mual!” (IG, Bem UI official).

Kritik dan Fakta

Apakah lontaran kritik BEM UI di atas tak ada fakta, atau jauh dari data? Lihat KPK hari ini.

Jika kita tarik nafas pelan, lalu duduk di meja, kemudian seruput kopinya, kita akan rileks semantara. Di bawah suasana rileks itu, fungsikan badan untuk menertibkan pikiran dan memporsikan diri, berdiri di tengah (moderat). Dalam arti lain, dekatkanlah pikiran dengan objektivitas (jika tak bisa objektif).

Maka pertanyaan di atas sungguh mudah kita lihat. Kritik BEM UI sungguh mudah kita buktikan jika kita tak menutup mata. Rentetan peristiwa beberapa tahun ini yang diperakarsai mahasiswa dan intelektual merdeka di seluruh Indonesia, kajian mendalam dari pakar, serta kritik pedas lainnya tak diindahkan oleh Jokowi. Padahal semuanya kritik yang lahir hanya untuk Indonesia berubah, berpihak pada rakyat, bukan pada oligarki.

BACA JUGA  Menjaga Toleransi dan Moderasi Bukan Perbuatan Tercela

Sikap pemerintahan Jokowi malah sebaliknya. Melemahkan KPK, demo direpresi, mengasuh buzzer, otoriter, indeks demokrasi turun drastis, ekonomi sangat buruk (ini sebelum adanya korona), dan tak sigap memberantas pandemi, dan tidak “mau” memberantas korupsi. Bukti ini, adalah ketika Harun Masiku masih berliaran. Disitulah mengapa beda pelacakan terhadap kasus Ratna Sarumpaet dan Harun Masiku.

BEM UI, BEM Nusantara, dan Si Penjilat

Sikap jijik terhadap kritik BEM UI menunjukkan bagaimana pemerintah bekerja, buzzerRp bekerja, otoritas bekerja, dan isi dadanya sebagian orang. Menutup diri dan menolak isi kekurangan junjungannya adalah mengidap penyakit yang sungguh serius.

Ialah mengidap penyakit silopsisme: menganggap bahwa dirinya benar meski data dan fakta membuktikan bahwa ia salah, tapi ia tetap menganggap benar. Menurutnya hanya pengalaman dan pandangan pribadi seoranglah yang merupakan satu satunya fakta yang benar. Orang itu tidak memiliki landasan kepercayaan kecuali pada diri sendiri.

Jika menganggap bahwa manusia tak ada yang sempurna, justru disitulah kritik wajib diterima. Bukan mencari siapa yang mengkritik, melempar narasi tidak etis, dan meretas pengkritik, dan membuat opini yang jauh dari substansi persoalan.

Ketidakberterimaan dengan apa yang dikritik BEM UI, hanya berlaku bagi si penjilat. Mengapa ia begitu sempurna menjunjung yang “mapan”, yang punya otoritas dan cuan” dan tidak sedap melihat mereka yang mencoba menyuarakan aspirasi rakyat tertindas. Apakah ada yang tahu gejala itu? Yang pasti mereka punya tujuan.

Aksi si penjilat ini bermacam. Ada yang bersekongkol dengan pejabat tapi mengatasnamakan rakyat. Ada yang mengaku aliansi ini itu, senyatanya hanya benalu. Ada yang bergerombol menjadi kaum intelektual nyatanya kaum “intelektual satu komando.”

Sikap aliansi BEM Nusantara yang menemui Moeldoko, dan mengatakan siap jadi mitra kritis pemerintah apakah masuk kategori di atas? Hari gini mau kritik harus bermitra dulu? Aduh!

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru