26.7 C
Jakarta

Bela Palestina di Indonesia: Militansi Kelompok Moderat vs Aktivis Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamBela Palestina di Indonesia: Militansi Kelompok Moderat vs Aktivis Khilafah
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kengerian genosida Zionis Israel terhadap rakyat Palestina sudah berada di titik yang tidak dapat ditoleransi. Kendati PM Israel Netanyahu selalu berdalih hendak memusnahkan Hamas, semua itu hanyalah alibi belaka. Genosida atas masyarakat Palestina adalah murni pembersihan etnis, perebutan tanah, yang di-framing Israel sebagai perang melawan terorisme agar sanksi internasional tertolak.

Solidaritas global terhadap Palestina sebenarnya sudah terjadi secara masif sejak akhir tahun lalu. Sanksi internasional juga sudah banyak dilakukan. Namun, Zionis Israel menunjukkan sikap biadab dengan mengabaikan seluruh protes yang datang. Akhirnya, tidak banyak yang bisa masyarakat lakukan sebagai bentuk solidaritas, kecuali demonstrasi bela Palestina—yang mulai terjadi di banyak negara dengan skala besar.

Di Indonesia, demonstrasi bela Palestina telah beberapa kali digelar. Namun demikian, dari semua rangkaian unjuk rasa, demonstran mengatasnamakan diri dengan kelompok yang tidak familiar. Misalnya, Forum Ulama Tokoh dan Advokat (FUTA). Setelah ditelisik, ternyata para demonstran adalah aktivis khilafah HTI. Lalu di mana para kelompok moderat, misalnya NU? Mengapa aksi bela Palestina di negara ini terkesan partisan?

Di sisi lain, mengapa di negara Barat aksi bela Palestina justru lebih masif dan menyatu padahal masyarakatnya non-Muslim, sementara di Indonesia yang mayoritas Muslim justru tidak ada aksi yang menyatu dan terstruktur? Pertanyaan-pertanyaan ini yang diajukan oleh Savic Ali, pendiri NU Online, saat mengisi diskusi publik tentang dukungan atas Palestina beberapa hari lalu. Tentu, itu pertanyaan yang menarik.

Artinya, ada persoalan “militansi” dalam aksi bela Palestina di Indonesia. NU dan Muhammadiyah, misalnya, seolah enggan berdemo jika harus menyatu dengan kelompok tidak populer seperti FUTA tadi. Pada saat yang sama, aktivis khilafah justru lebih sering beraksi, kendati narasi yang diedarkan justru tentang penegakan khilafah—alih-alih bela Palestina. Apa yang sebenarnya terjadi di negara ini dalam konteks bela Palestina?

Mengapa Kelompok Moderat Diam?

Artikel berjudul “Kenapa Kelompok Moderat di Indonesia Tidak Lantang Bicara Palestina, Apa yang Ditakutkan?” karya Dedik Priyanto di Islami.co cukup mewakili keheranan: mengapa di negara ini militansi kelompok moderat tidak sebesar non-Muslim di Barat atau tidak semilitan aktivis khilafah? Jelas, itu tidak akan terjadi tanpa sebab. Pasti ada faktor yang membuat kelompok moderat seolah tak berani.

Menurut Dedik, mengutip Munthe, diamnya kelompok moderat dilatarbelakangi empat hal: kurangnya informasi tentang konflik Palestina, kekhawatiran akan polarisasi politik, tekanan kepentingan (conflict of interest), dan ketakutan akan penyalahgunaan kelompok keras. Yang terakhir ini termasuk ketakutan akan ditungganginya konflik Palestina untuk kepentingan politik-ideologis, seperti yang aktivis khilafah lakukan selama ini.

Dengan demikian, bela Palestina di Indonesia saling tarik-menarik antara militansi kelompok moderat dengan kelompok transnasional. Karenanya, hingga masyarakat menyadari bahwa konflik Palestina membutuhkan solidaritas yang melampaui sekat ideologis, aksi bela Palestina di negara ini tidak akan pernah bersatu. Satu sisi, aktivis khilafah tidak akan mau berteman dengan kaum moderat. Di sisi yang lain, kelompok moderat juga enggan bergabung karena takut dicap juga sebagai kaum radikal.

BACA JUGA  Khilafah di Indonesia: Antara Ghirah Keislaman dan Kecemasan Berbangsa-Bernegara

Partisanisme itulah yang kemudian perlu dipecahkan. Menurut Husein Ja’far Al Hadar, membela Palestina tidak bisa dilakukan secara sporadis, melainkan harus terkanalisasi sebagai aksi nasional sehingga punya dampak yang signifikan. Namun untuk sampai pada cita-cita tersebut, kelompok moderat dan aktivis khilafah perlu sama-sama berbenah. Mereka harus terikat dalam satu tujuan: memerdekaan Palestina dari Zionis Israel.

Bagaimana cara membenahi benang kusut militansi kedua kelompok? Hanya ada satu cara. Kelompok moderat harus mulai punya perhatian intensif terhadap konflik Palestina dan mengoordinasi aksi. Pada saat yang sama, aktivis khilafah harus berhenti menunggangi aksi bela Palestina dengan propaganda khilafah, dan fokus untuk benar-benar membela Palestina. Dari situ, kanalisasi akan terbentuk.

Kanalisasi Bela Palestina

Dalam konteks kanalisasi, Gen Z yang notabene digital-native dapat ambil peran krusial. Sebagaimana kanalisasi pada Pemilu 2024 dan Covid-19, di mana anak-anak muda kreatif berhasil menciptakan platform pengaduan kecurangan dan kepedulian nasional, kanalisasi dalam hal bela Palestina bertujuan untuk mengglobalisasi dukungan dan militansi itu sendiri. Israel harus terus didesak hingga mereka berhenti melakukan genosida.

Kanalisasi bela Palestina, pada intinya, menekankan pentingnya mengarahkan berbagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap Palestina melalui saluran yang efektif dan terkoordinasi. Jadi, ini tidak sekadar tentang menggelar demonstrasi atau kampanye media sosial, tetapi tentang membangun jaringan kerja sama strategis multi-pihak: pengusaha, ahli IT, hingga pemerintah.

Penguasa dengan dermanya menggelontorkan dana investasi untuk kanalisasi, tim IT bergerak untuk menciptakan platform terkait. Di sisi lain, pemerintah memperkuat diplomasi multilateral melalui lembaga-lembaga internasional seperti PBB untuk menekan Israel. Organisasi seperti Human Rights Watch, Amnesty International, dan lainnya harus bersinergi dalam dukungan dana maupun advokasi. Semua harus dikanalisasi.

Tentu saja, kanalisasi bela Palestina harus bersifat berkelanjutan. Solidaritas bukan hanya tentang reaksi terhadap krisis, tetapi tentang komitmen jangka panjang untuk memperjuangkan keadilan dan HAM. Maka, dedikasi semua pihak adalah urgen, baik pemerintah maupun masyarakat sipil, baik kelompok moderat maupun aktivis khilafah. Militansi harus diarahkan untuk Palestina, bukan antarkelompok.

Selama masing-masing kelompok masih mempertahankan egoisme ideologis, bela Palestina di Indonesia tidak akan punya dampak berarti. Terutama aktivis khilafah, yang pembelaannya cenderung tendensius: hanya untuk mempromosikan khilafah belaka. Padahal, masalah di Palestina adalah kejahatan perang, pelanggaran HAM, dan pembantaian massal yang mengerikan. Harusnya aktivis khilafah tidak malah memancing di air keruh.

Membela Palestina adalah tentang membela kemanusiaan. Titik. Militansi harus diorientasikan pada hal yang lebih besar daripada sekadar militansi antarkelompok. Maka, antara kelompok moderat dan aktivis khilafah harus saling berbenah. Hilangkan egoisme, dan tegak lurus dan konsisten untuk membela Palestina dari kekejaman Zionis Israel.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru