27.1 C
Jakarta

Bela Negara dari Rongrongan Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifBela Negara dari Rongrongan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tanggal 19 Desember yang lalu baru diperingati sebagai Hari Bela Negara (HBN).  HBN merupakan hari bersejarah Indonesia untuk memperingati Deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) oleh M. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat pada 19 Desember 1948. Keputusan ini ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2006.  Peringatan dimaksudkan untuk mendorong semangat kebangsaan dalam Bela Negara dalam rangka mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.

Pemerintah melalui Kementarian Pertahanan (Kemenhan) pernah merencanakan program bela negara. Program tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan generasi muda di Indonesia. Bela negara strategis sebagai upaya memperkokoh dan menjaga kesatuan nasional serta menguatkan benteng perlawanan terhadap rongrongan radikalisme.

Bela Negara

Sumber daya manusia yang siap membela negara merupakan salah satu unsur dalam nilai kekuatan perlawanan bangsa (Kemenhan, 2015). Bela negara merupakan kewajiban seluruh warga negara Indonesia, tanpa batasan profesi dan usia. Bela negara dimasukkan di kurikulum mulai TK hingga perguruan tinggi.

Faisal (2015) memaparkan bahwa program bela negara memiliki landasan UUD 1945 dan UU No 3 tentang pertahanan. Dengan demikian program ini akan menjadi program berkelanjutan.

Program membentuk kader bela negara sebanyak 100 juta kader akan dilakukan melalui program ketahanan negara di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pada tahun ini, akan dimulai di 47 kabupaten/kota yang berada di 11 Kodam. Pendidikan merupakan kombinasi dari TNI, Polri, dan instruktur keilmuan lainnya.  

Konsep bela negara ini tidak ada batasan umur. Bagi warga yang umurnya 50 tahun ke atas atau ke bawah akan disesuaikan saja porsi latihannya. Namun demikian, pemerintah memastikan bahwa program Bela Negara berbeda dengan program wajib militer. Menhan menandaskan bahwa jika masyarakat tidak ikut serta dalam bela negara, maka dipersilakan untuk angkat kaki dari Indonesia.  

Hasanudin (2015) mengkritisi wacana program bela negara ini dalam beberapa aspek. Pertama, program belum dibarengi dengan ketersediaan sarana dan prasarana. Jumlah kader yang menjadi target adalah 10 juta orang per tahun atau 833.000 orang per bulan.  

 Kedua, dasar hukum tentang Bela Negara belum lengkap. Dasar baru ada dalam UUD 1945 Pasal 30 Ayat 1. Selanjutnya dalam Ayat 5 dijelaskan, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang. Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9 Ayat 3 juga disebutkan, ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan UU. Hingga saat ini  Indonesia belum memiliki UU Bela Negara, apalagi peraturan-peraturan pendukungnya seperti perpres atau keppres.  

Ketiga terkait anggaran. Pemerintah di sisi lain malah mengurangi anggaran TNI dalam pengadaan alutsista. Kebutuhan alutsista selalu kurang. Hal ini turut mempersulit tercapainya Restra II pembangunan MEF (Minimum Essensial Force) kekuatan TNI pada 2019. Pemerintah mestinya melakukan skala prioritas terkait pertahanan negara.

BACA JUGA  Puasa: Momentum Menahan Diri dari Nafsu Ekstremisme-Terorisme

Optimalisasi Program 

Rencana program bela negara sejak awal menimbulkan polemik di ranah publik.  Pemerintah penting melakukan kajian dan evaluasi agar optimal. Sosialisasi dan jaring aspirasi penting ditempuh guna evaluasi program. Secara substansi bela negara sangat dibutuhkan. Beberapa hal penting dilakukan pemerintah guna mempersiapkan dan menguatkan program ke depannya.

Pertama, kejelasan skema pembiayaan. Program-program pertahanan selama ini masih jauh dari harapan terkait kemampuan penganggaran. Misalnya terkait alutsita, sarana TNI lainnya,  dan kesejahteraan prajurit TNI.  Pemerintah mesti segera membahas secara rinci dengan DPR terkait pembiayaan, apalagi program ini sifatnya berkelanjutan setiap tahun.

Kedua, integrasi dan sinergisitas dengan kurikulum pendidikan yang ada. Kemenhan merencanakan program bela negara masuk dalam kurikulum pendidikan. Integrasi penting agar tidak menambah beban Kemendiknas dan peserta didik. Penambahan kurikulum penting dihindari dan sebaiknya memasukkan dan kurikulum yang ada dan relevan.

Ketiga, penyediaan sarana dan prasarana penunjang. Selama ini sarana dan prasarana TNI di daerah-daerah masih memperihatinkan, apalagi jika dibandingkan dengan Polri. Sarana dan prasarana ini penting disediakan secara layak terlebih dahulu agar optimal. Fasilitas penting juga menggunakan Polri, pemerintahan, dan lainnya tanpa mengganggu instansi tersebut. Jaminan berupa asuransi juga penting diberikan kepada peserta kader bela negara mulai dari pendidikan hingga pelaksanaan. 

Keempat, kejelasan regulasi serta konsep kurikulum dan pelatihan. Payung hukum berupa UU Bela Negara penting disiapkan pemerintah dan DPR. UU Pertahanan belum cukup untuk menyusuna peraturan teknis terkait bela negara, baik PP hingga Keppres. Konsep kurikulum juga mesti dimatangkan dan tidak terkesan asal jadi kejar tayang. Tim Pakar dan praktisi pertahanan penting dilibatkan.

Kelima, sinkronisasi dengan sektor terdampak dan terkait. Usia produktif dipastikan paling banyak menjadi target perekrutan kader bela negara. Untuk itu penting dilakukan koordinasi dan sinkronisasi agar tidak menimbulkan gejolak sosial ekonomi. Misalkan saja terkait sektor ekonomi. Pertanyaan yang mesti dijawab adalah bagaimana dengan kerja jika terlibat pendidikan dan pelatihan. 

Bela negara secara konseptual adalah kebutuhan penting yang tidak terbantahkan. Minimal bisa diawali dengan penguatan spirit dan pemahaman bela negara kepada setiap warga negara. Khsusunya guna menangkal dan melawan manuver ekspansif radikalisme. Namun kesiapan segala hal tidak boleh sembarangan agar justru tidak kontra produktif. Antisipasi permasalahan klasik mesti disiapkan, seperti potensi korupsi dan penyalahgunaan program.

Oleh: Ribut Lupiyanto

Penulis, adalah Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru