32.9 C
Jakarta

Bangsa Kita Gaduh, Hati-hati! Ada yang Lagi Cari Untung dari Setiap Polemik

Artikel Trending

Milenial IslamBangsa Kita Gaduh, Hati-hati! Ada yang Lagi Cari Untung dari Setiap Polemik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Leon Alvinda Putra, Ketua BEM UI, sudah beberapa hari menjadi santer pembicaraan publik. Bermula dari meme ‘The King of Lip Service’ yang diarahkan ke Presiden Jokowi, reaksi terhadapnya menciptakan berbagai kata kunci trending di Twitter. Trending mengarah kepada BEM UI, pro-kontra, mengarah pada pemerintah, dukungan-kritik, serta mengarah pada pribadi Leon sendiri. Ruang publik gaduh. Tetapi ada yang terabaikan di tengah riuh, yaitu, mereka yang siap pasang badan untuk cari untung.

Berdasarkan pengamatan, ada dua komentator mengenai kegaduhan tersebut. Pertama, kalangan separatis. Mereka memanas-manasi warganet bahwa rezim hari ini sangat anti-kritik. Jelas itu tidak sepenuhnya benar, karena sebagian buzzer bertindak di luar kontrol. Pemerintah juga tidak dapat peruntungan, justru rugi karena semakin tercemar di masyarakat. Ade Armando, oleh kalangan pertama ini, digeneralisasi sebagai representasi pemerintah. Warganet pun jadi antipati pada pemerintah.

Kedua, kalangan radikalis. Propagandanya tidak perlu ditanyakan lagi, pasti moncongnya mengarah pada upaya mencitraburukkan pemerintah. Misal, mereka katakan: demokrasi hanya bikin gaduh, rezim ini mesti diganti, dan narasi sejenis yang seolah-olah heroik. Kalangan ini tidak hanya berasal dari satu organisasi dan ideologi. Mereka bisa berasal dari simpatisan HTI, eks-laskar FPI, maupun para kader PKS secara individual. Narasinya sporadis tetapi tujuannya sama; memojokkan.

Melihat masifnya narasi dari kedua kalangan tersebut, semua pihak harus waspada. BEM UI bukan musuh, maka tidak selaiknya dianggap berbahaya. Mereka, boleh jadi, hanya perlu diberi masukan tentang kritik yang proporsional. Buzzer juga harus kontrol diri, agar tingkahnya tidak semakin memperburuk citra pemerintah. Musuh yang sebenarnya adalah invisible man, aktor-aktor tak kasat mata yang selalu cari kesempatan memprovokasi masyarakat dengan pemerintah.

Hati-hati menjadi perlu karena ada yang selalu cari momen, cari untung, pada setiap polemik. Masyarakat yang mudah tersulut emosinya adalah umpan empuk, yang dengannya kesatuan-persatuan akan berada di garis terburuk. Untuk semua kegaduhan dan polemik bangsa, apakah kita akan menyumbang perpecahan?

Polemik Bangsa

Kenapa pemerintah harus selalu diutamakan? Di sini perlu disinggung bahwa membela pemerintah tidak melulu identik dengan menjadi koalisi. Pemerintah merupakan tonggak, di mana negara ini terurus dan terjaga dan, karenanya, membela pemerintah artinya kita tengah mengambil peran dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan. Pada sisi yang lain, kegaduhan suatu bangsa melahirkan kesenangan tersendiri di tangan musuh.

Maka, keteledoran mesti diantisipasi. Pada saat-saat seperti ini, semua pihak tidak sadar dan merasa sama-sama benar. BEM UI, umpamanya, mungkin merasa sesumbar sebagai wakil suara rakyat. Sementara buzzer yang menanggapi juga tidak mau kalah, melakukan segala cara termasuk mengusut rekam jejak masa lalu untuk melemahkan mental lawan. Tanpa ada yang menyadari bahwa seiring polemik tersebut, yang cari kesempatan mengompori sangat banyak.

BACA JUGA  Aplikasi Prinsip Wasatiah dalam Menyikapi Hisab-Rukyat Ramadan

Lagi pula, bangsa mana yang tidak punya masalah? Pemimpin mana yang selamat dari kritik warganya? Ihwal kritik-mengkritik merupakan kelumrahan, dan polemik bangsa merupakan tantangan ke arah yang lebih baik. Kita tidak boleh terprovokasi untuk menyerang satu sama lain antara pihak yang sama-sama punya komitmen kebangsaan yang kokoh. Musuh sejati adalah mereka yang ingin menggerus persatuan, atau mengganti pemerintahan dengan propaganda.

Setiap masalah ada pemecahannya. Menghina, seperti dikatakan juga sebelumnya, bukan solusi, dan tidak akan pernah jadi solusi. Dalam konteks polemik bangsa, gaduh antarsesama, kita harus menyadari satu fakta bahwa perpecahan bangsa kita adalah cita-cita kalangan para pembenci.

Kemana Pengusung Moderasi?

Ini penting untuk diutarakan meskipun bagi sementara kalangan, mungkin akan dianggap sebagai kritik yang pedas. Orang-orang moderat, dalam keadaan seperti sekarang yang mengarah pada perpecahan, harus ambil bagian untuk menengahi. Muslim moderat, kata Khalid Abou El Fadl dalam bukunya, The Great Thef, harus terlibat aktif di ruang demokrasi. Alanagkah buruk jika pada suatu waktu mereka menarasikan moderasi, tetapi terhadap kegaduhan, mereka justru diam.

Di Facebook, atau di platform lainnya, sejumlah kalangan moderat, yang tiap hari mengampanyekan moderasi, dan mengklaim sebagai yang paling bersumbangsih pada masalah kebangsaan, bersikap secara sarkartis semata. Tidak ada yang berani ambil posisi: membela salah satu, atau bahkan menjadi penengah. Yang demikian jelas merupakan sikap ketidakjantanan yang mencoba cari aman di kedua sisi. Moderasi, di mata mereka, hanya jika berkenaan dengan radikalisme-ekstremisme.

Sementara terhadap persoalan kebangsaan secara umum, tidak ada reaksi. Padahal, moderasi tidak sesempit itu. Mereka seharusnya peka melihat ancaman bahwa di tengah kegaduhan dan polemik, moderasi harus diwacanakan juga sebagai problem solver. Dalam konteks polemik BEM UI, buzzer, dan pemerintah, harusnya pengusung Islam moderat menyejukkan suasana agar kegaduhan tidak berlanjut. Namun, siapa yang peduli untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk? Tidak ada.

Pada aspek kelihaian pihak sebelah memanfaatkan situasi untuk menambah kadar perpecahan, orang-orang yang mengklaim moderat itu harus belajar lagi tentang moderasi. Tidak ada gunanya moderasi disuarakan melalui forum-forum diskusi, jika pada tataran implementasi, mereka sendiri gagal. Kegaduhan seperti hari ini tidak boleh dibiarkan.

Apa dampak terburuknya? Begini: jika buzzer terus-menerus memojokkan aspirasi, alih-alih memberikan didikan justru mengulik rekam jejak dan membunuh mentalnya, maka yang terjadi adalah: musuh bangsa ini semakin bertambah kekuatan. Mereka punya kawan baru untuk menyerang pemerintahan. Jika sudah seperti itu, apakah buzzer bisa mengatasi? Atau, apakah moderasi masih laku? Maka hati-hatilah! Sebab selalu ada yang cari untung dari setiap polemik dan kegaduhan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru