32.7 C
Jakarta

Bahaya Laten Ideologi Islamisme di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahPerspektifBahaya Laten Ideologi Islamisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Persoalan ideologi memang tak kunjung selesai diperbincangkan di Indonesia. Ideologi negara Indonesia sejatinya sudah final, sejak pertama kali Indonesia berdiri. Namun, tantangan dari berbagai macam ideologi terus bermunculan, salah satunya ideologi Islamisme yang belakangan ini masif kelompok-kelompok Islam terlena oleh radikalisme agama.

Islam sebagai ideologi telah muncul ke permukaan dengan beragam bentuk. Ada yang ingin mendirikan negara Islam, ada yang ingin menciptakan sebuah perundang-undangan berdasarkan syariah Islam, ada juga yang ingin mendirikan khilafah. Semua berlabuh pada satu ideologi yaitu Islam. Perlu diketahui bahwa dengan melihat keragaman ideologi Islam seperti itu maka sejatinya Islam tidak memiliki pandangan baku tentang konsep bernegara.

Sejak pertama kali diskursus tentang pendirian negara Islam muncul di abad 19 telah melahirkan seperangkat konsep untuk mendirikan negara Islam. Tokoh-tokoh seperti al-Maududi, Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, Taqiyuddin an-Nabhani, adalah sedikit orang yang ingin mendirikan negara Islam dengan bermacam bentuk. Tokoh-tokoh fundamentalis tersebut suka mengadopsi paham-paham radikali yang menyebabkan seseorang berpotensi melakukan kekerasan atas nama agama.

Indonesia telah bersepakat bahwa negara menggunakan dasar Pancasila. Nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila dipandang sebagai representasi Indonesia. Di dalamnya semua orang beragama diayomi, dilindungi, dan dihormati. Ini merupakan sebuah konsekuensi logis ketika hidup di negara plural seperti Indonesia.

Lantas apakah para pendiri bangsa pada masa itu tidak cukup paham keislamannya, sehingga membuat mereka tidak memilih Islam sebagai ideologi? Pertanyaan ini bisa dijawab apabila dikembalikan pada konteksnya. Dikatakan bahwa diskursus terkait dengan negara Islam masih menjadi polemik. Indonesia lebih memilih pandangan bahwa Islam tidak mengajarkan tentang negara Islam. Islam hanya mengajarkan tentang nilai-nilai yang diterapkan dalam bernegara. Nilai ini bersifat universal, sehingga tidak menciderai keberagaman bangsa Indonesia.

Bahaya Ideologi Islamisme

Namun, yang terjadi adalah semakin berkembangnya ideologi Islamisme yang digerakkan oleh ormas non-mainstream. Kesempatan politik didapat ketika Orde Baru telah memainkan peran penting dalam menghalangi laju politik Islam di masa itu. Akibatnya, kontrol atas gerakan bawah tanah tidak bisa, sehingga menyebabkan semakin berkembangnya jaringan ideologi Islam radikal tidak hanya di akar rumput. Melainkan di ranah pendidikan.

Di saat Indonesia memasuki babak baru era reformasi, geliat Islamisme muncul ke permukaan. Wajah Islam di era reformasi merupakan kalkulasi yang dihasilkan dari sistem politik Indonesia di masa Orde Baru. Keadaan seperti ini sulit untuk diubah kembali. Hal ini dikarenakan persoalan ideologi merupakan hasil internalisasi word-view tentang Islam din wa dawlah yang sulit untuk diubah hanya dengan satu dua kali pertemuan.

BACA JUGA  Mensterilkan Generasi Muda dari Jeratan Paham Radikal

Oleh karena itu, ideologi Islamisme merupakan salah satu bahaya laten ideologi di Indonesia yang harus dilawan.
Persemaian ideologi Islamisme sudah masuk dalam ranah pendidikan anak. Hal ini sangat berbahaya apabila kelak ia dewasa. Kasus yel-yel anak soleh yang menjadi perbincangan beberapa waktu lalu telah mengindikasikan bahwa anak-anak sudah diajarkan tentang sikap intoleran terhadap sesama warga negara. Meskipun tidak secara eksplisit dikatakan untuk mengatakan demikian.

Namun, narasi dalam yel-yel tersebut mengindikasikan bahwa orang non muslim adalah kafir. Narasi seperti ini sangat membahayakan apabila ia bertemu dengan orang non muslim. Apalagi sampai saling mengkafirkan sesama muslim, sebagaimana muslim yang taat kepada negara divonis kafir, sedangkan yang tidak taat, seperti memberontak negara malah divonis muslim. Intoleransi ini harus segera tuntas dari negeri yang plural dan islami.

Peran Pesantren

Menurut M. Makmun Abha (Menggagas Peradaban Moderat Berbasis Pesantren; 2014), kaum santri mampu memahami pesan universal Islam yang menyerukan hidup tanpa saling menyalahkan, saling membunuh, dan bahkan saling mengkafirkan. Dan apabila masih terjadi gesekan dan konflik akan diselesaikan dengan cara yang penuh hikmah dan melalui musyawarah.

Pesantren sebagai lumbung kehidupan santri mengajarkan untuk menjadi muslim yang berakhlak dalam berislama. Di tingkatan lebih dewasa juga tidak lepas dari adanya internalisasi nilai-nilai Islamisme. Saat ini, pesantren sebagai habitus muslim moderat di Indonesia ditiru oleh kalangan Islamis. Mereka mendirikan pesantren sejak dini hingga tingkatan atas dengan muatan ajaran yang mengarah pada upaya radikalisasi.

Keberadaan pesantren seperti itu bisa dipahami apabila mengaitkan dengan kebebasan pembuatan kurikulum di pesantren swasta. Negara tidak memiliki pengawasan yang tegas perihal materi yang diberikan di pesantren swasta. Akibatnya, pesantren-pesantren ini dengan mudah untuk memilih keilmuan sesuai dengan apa yang ingin diajarkan kepada para santrinya.

Oleh karena itu, sudah saatnya negara hadir untuk memberikan batasan-batasan yang pasti tentang kurikulum dalam dunia pendidikan. Meski ini sulit untuk diterima namun langkah konkrit pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, tetap ditunggu oleh segenap pihak. Tujuannya tidak lain untuk mempertahankan wajah pluralitas negara Indonesia dan mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Karena Indonesia bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan dari anak-cucu kita.

M. Mujibuddin SM
M. Mujibuddin SM
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru