26.7 C
Jakarta

Bahasa Al-Qur’an Dalam Kacamata Sarjana Barat

Artikel Trending

Asas-asas IslamAl-Qur’anBahasa Al-Qur'an Dalam Kacamata Sarjana Barat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sarjana Barat yang akrab kita kenal dengan Orientalis, menjadi “momok” yang sangat di waspadai oleh kalangan muslim. Bukan karena apa-apa, namun lebih pada kehati-hatian atas pengkajian bias mereka terhadap peradaban muslim, utamanya dalam kajian Al-Qur’an.

Saya tidak mengatakan semua hasil pengkajian mereka bermuara ke dalam hegemoni dan mendiskreditkan umat Islam. Ada juga kajian mereka yang objektif dan mendukung bagi keilmuan umat Islam. Karena itu kecermatan dalam segala hal haruslah kita perhatikan, apalagi dalam urusan Al-Qur’an, kitab sucinya agama.

Kewaspadaan seorang muslim dalam merespon hiruk-pikuk kajian keislaman sangatlah penting. Karena “kebencian” terhadap umat Nabi Muhammad SAW akan selalu ada, sebagaimana telah dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [12] : 120.

Satu dari sekian hal yang menjadi kecurigaan para Sarjana Barat adalah bahasa Al-Qur’an. Mereka menemukan kosa kata dalam Al-Qur’an yang mirip dengan bahasa selain bangsa Arab.

Misalnya, Alphonse Mingana (w.1937), seorang pendeta Kristen yang berasal dari Irak. Ia menyumbangkan pendapatnya bahwa Al-Qur’an telah dipengaruhi bahasa selain bahasa Arab. Dengan klasifikasi kurang lebih 5% berasal dari Ethiopia, 5% Persia, 10% Ibrani, 10% bahasa Yunani-Romawi dan 70% Syria.

Pengaruh bahasa Syria tersebut disimpulkan atas beberapa kesamaan kata yang ada di dalam Al-Qur’an. Pertama, yakni dengan berdasar pada nama-nama yang ada di dalam Al-Qur’an. Contohnya Sulaiman, Ishaq, Ya’kub, Isma’il, Nuh, Zakaria dan Maryam. Kedua, bersangkutan dengan istilah-istilah agama misalnya Kahin, Masih, Qissis, Din, Tagut, Rabbani, Qurban, Malaikut, Jannah, Malak, Ruh al-Quds. Ketiga, kata-kata umum seperti Qur’an, Husban, Muhaimin, Nun, Tur, Bariyah, Misk, Maqalid dan sebagainya. Keempat, perihal yang berkenaan dengan ortografi yang mengkhianati pengaruh Syria.. Kelima, konstruksi kalimat-kalimat dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Keenam, referensi sejarah yang asing seperti legenda Zulqarnain (Alexander The Great), Majusi, Nasara, Hanif dan Rum.

Montgomery Watt juga mengatakan bahwa Sarjana muslim kurang memperhatikan persoalan bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an. Karena sudah terpengaruh oleh dogma teologisnya. Di mana dalam beberapa ayat Al-Qur’an sudah di jelaskan bahwa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, misalnya pada Q.S. An-Nahl [16]: 103 yang artinya: “…. padahal ini (Al-Qur’an) adalah dalam bahasa Arab yang jelas.” Ayat lain yang sepadan juga dapat kita lihat pada Q.S. Asy-Syu’ara’ [26]: 195.

Dari berbagai kecurigaan Sarjana Barat, mereka sebenarnya mengalami complexity (kerumitan) dalam melakukan analisis untuk mendapatkan satu pernyataan yang jelas dan pasti. Ada yang mengatakan bahasa Al-Qur’an merupakan sebuah sastra buatan (artifisial) lebih dikenal puitis. Namun ada juga yang mengatakan merupakan sebuah syair terdahulu. Dengan kesimpulan akhir, mereka membuat pernyataan bahwa bahasa Al-Qur’an berada diantara bahasa yang puitis dan dialek orang-orang Makkah.

Terhadap kritikan tersebut, terdapat jawaban Sarjana muslim yang menurut Watt sudah mewakili berbagai kritik bahwa Al-Qur’an menggunakan bahasa selain Arab. Jawaban tersebut terwakili oleh Al-Suyuti (W. 1050) dan ‘Abd al-Rahman al-Tha’libi (W. 1468) yang mengatakan bahwa akibat bertemunya orang Arab dengan bangsa lain, maka berbagai kata non-Arab telah dimasukkan ke dalam bahasa Arab. Namun karena bahasa tersebut telah diarabkan, maka tetap sah bahwa Al-Qur’an berada dalam “lisan bahasa Arab yang jelas”.

BACA JUGA  Saat Ramadhan, Ini Waktu Utama untuk Membaca Al-Qur'an

Saya sendiri, lebih setuju dengan pernyataan Al-Suyuti dan ‘Abd al-Rahman al-Tha’libi. Adalah merupakan sebuah kewajaran apabila bahasa dari bangsa lain diserap ke dalam bahasa sendiri. Hal tersebut akibat hasil sosial mereka dalam kepentingan memenuhi kebutuhan hidup. Di mana mereka harus pulang pergi jauh hingga ke berbagai negara.

Dan perlu kita ketahui bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang telah disepakati oleh suatu komunitas tertentu. Jadi sah-sah  saja bila bahasa Al-Qur’an ada yang berasal dari bahasa lain yang telah diarabkan dan itu telah disepakati dan dikenal oleh masyarakat Arab.

Dengan berbagai pelik dan kegelisahan Sarjana Barat tersebut, saya tetap menilai positif dengan pendapat mereka. Baik dari segi teologis maupun objektifitas dalam menelaah bahasa Al-Qur’an. Lagipula saya lebih setuju bahwa bahasa Al-Qur’an merupakan kemu’jizatan dari Tuhan. Bahasa Al-Qur’an memiliki banyak makna sehingga dapat menjawab berbagai gesekan setiap zaman.

Rahasia Kemukjizatan Al-Qur’an

Tidak hanya itu, Al-Qur’an juga turun dalam tujuh dialek bahasa. Dimana dari perbedaan tersebut bukan karena ketidak konsistenan Al-Qur’an, namun lebih kepada kepentingan beragamnya umat. Syaikh Manna’ al-Qatthan dalam karyanya Mabaahis Fi Uluumil Qur’an menjelaskan bahwa dengan berbagai perbedaan tersebut justru terdapat hikmat yang sangat penting, yakni:

Pertama, agar mudah dibaca dan dihafal oleh kaum ummi (buta huruf). Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap kabilah memiliki bahasa tersendiri dan mereka tidak pernah menghafalkan syariat, apalagi membuatnya.

Kedua, kemukjizatan Al-Qur’an bagi fitrah bahasa bangsa Arab. Maksudnya yakni setiap orang Arab dapat membaca huruf dan kata-kata Al-Qur’an sesuai dengan dialek fitrah dan bahasa kaumnya. Dari sini bukan berarti kemukjizatan Al-Qur’an menjadi kabur. Tetapi hal ini terbukti ketika Allah menantang para ahli syair Arab untuk membuat syair yang semisal dengan ayat Al-Qur’an. Namun tak satu ayatpun mereka dapat menandinginya.

Ketiga, kemukjizatan Al-Qur’an dari segi makna dan hukum-hukumnya. Dengan perbedaan bentuk lafal pada beberapa huruf dan kata, terdapat kesimpulan bahwa hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an dapat selaras untuk setiap masa.

Kendati pun sebagaimana yang disampaikan oleh Ahsin Sakho Muhammad  dalam buku Oase Al-Qur’an, “Kalau bukan karena kebenaran Al-Qur’an, agama Islam ini sudah ditinggalkan oleh masyarakat, karena ulah sebagian umat Islam yang justru bertentangan dengan ajaran agamanya. Maka dalam melihat sesuatu kita harus meihat kebenaran satu ajaran, bukan melihat orangnya.”

Tri Pujiyanto, Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir/FUD/IAIN Surakarta

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru