26.1 C
Jakarta

Bagaimana Menalar Islam Pasca Polemik Prancis?

Artikel Trending

KhazanahTelaahBagaimana Menalar Islam Pasca Polemik Prancis?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Polemik menggambar Nabi Muhammad SAW berujung pada tragedi keganasan. Guru sejarah bernama Samuel Paty yang membawa karikatur Nabi Muhammad SAW, karya Charlie Hebdo ke sekolah di Prancis, dianggap melanggar norma agama. Maka dari itu tepat di Kota Conflas Sainte Horone, kepala guru itu dipenggal oleh kelompok ekstrem dengan brutal.

Apakah menggambar orang siapapun itu berbentuk penghinaan? Jika yang digambar fisik atau wajah Nabi Muhammad SAW, bagaimana kita bisa marah sedang kita tidak tahu seperti apa wajah Nabi yang sebenarnya? Bila pun kita memasang wajah tidak setuju atau marah, apakah membunuh sebagai bentuk protes itu bisa dibenarkan dalam hak asasi manusia dan agama? Di sinilah pentingnya kita menalar persoalan agama dengan jernih dan dalam.

Sesungguhnya kalau kita tidak malas membaca literatur keislaman atau keagamaan, maka kita akan menemukan sejarah persoalan yang sama. Bahwasanya seseorang Muslim pernah menggambar tubuh Nabi Muhammad SAW. Di tahun-tahun 1230-1240, di Persia, begitu semarak orang-orang Muslim menggambar sosok Nabi Muhammad SAW. Apakah dengan menggambar Nabi pada masa lalu yang bahkan dilakukan oleh seorang muslim di bunuh? Tidak.

Mengapa tidak? Karena selain hal demikian sebagai pengejewantahan seni, keindahan, juga untuk mengawetkan peristiwa sejarah. Jika seseorang marah pada gambar yang belum ia ketahui wujud asli yang digambar, mengapa tidak berlaku pada ilustrasi dalam film-film Nabi yang bahkan sampai hari ini masih diputar dan dinikmati. Adalah sebuah kedangkalan nalar jika kita marah pada sesuatu yang tidak diketahui. Bahkan bilapun kita memakai argumen keagamaan yang tidak membolehkan.

Di banyak penjelasan, hadis-hadis yang mengharamkan menggambar seperti diriwatkan dari Sa’id bin Abi Al-Hasan (HR. Bukhari, no. 2073) dilarang menggambar sesuatu yang bernyawa. Tapi membolehkan menggambar sesuatu yang tidak bernyawa seperti pepohonan dan lainnya. Hadis ini kalau dilihat asbab wurudnya, maka kita akan menemukan esensi larangan tersebut. Bahwa keharaman menggambar pada masa itu dimaksudkan agar tidak menyembah apa-apa yang menjadi kebiasaan umat terdahulunya: menyembah berhala. Menyembah patung, dan segala apa yang dianggabnya takjub, termasuk apa yang ia gambar sendiri. Dengan demikian hadis itu ada.

Jika kita melihat pada sumber otoritatif seperti kitab suci Al-Qur’an, larangan menggambar tidak ditemukan. Bahkan kita akan menemukan sebaliknya, yaitu sesuatu keindahan semesta alam, Al-Qur’an merekam dengan sangat indah. Keindahan-keindahan dan keagungan dicipta oleh Tuhan dan dilukiskan di dalam Al-Qur’an. Maka sangat logis, jika Nabi dan Makhluk ciptaannya lainnya, bahkan mungkin yang membunuh guru sejarah itu menyukai sebuah keindahan.

Menalar Islam dengan Kedamaian

Dengan demikian, sungguh menjadi penting menalar agama dengan kedamaian. Nabi, Al-Qur’an, dan agama datang membawa pesan kedamaian. Ia datang untuk mengasihi bukan membenci, apalagi membunuh brutal. Hal itu terbukti dari dan dalam nama-nama dan makna-makna istilah Islam yang terkadung dalam Al-Qur’an.

Islam melarang keras membunuh. Al-Qur’an menegaskan membunuh satu orang tanpa alasan yang baik dan benar (sekadar membela diri dari musuh) seperti membunuh manusia semuanya. Sebaliknya, menjaga dan melindungi kehidupan satu orang seakan memberi kehidupan manusia seluruhnya (QS. Al-Maidah/ 05:32). Tapi, Islam menekankan pada sikap dan perbuatan kasih sayang dan cinta damai pada aspek apapun. Al-Qur’an menegaskan bahwa perdamaian itu baik (QS. Al-Nisa’/4: 128) pun dalam kondisi perang.

BACA JUGA  Pesan untuk Anak Muda: Tren Kampanye Tiktok Perlu Disikapi dengan Kritis

Tesis Islam adalah bermakna “kedamaian” dan itu lebih populer ketimbang makna “agama” (Ismail Lutfi Fathani, 2006). Maka dari itu, sesungguhnya misi Islam adalah menebar kedamaian. Bukan bermisi kekerasan, pembunuhan, dan kebencian atasnama agama, nabi dan Tuhan.

Sekian banyak hadis menyebutkan sebagai seseorang muslim, “orang lain harus selamat dari kejahatan lisan dan tangannya”. Jika seseorang muslim bertemu dengan orang muslim lainnya, mereka dianjurkan mengucapkan salam. Begitu juga dengan non-muslim, mereka juga dianjurkan bersapa dan bersalam. Karena keduanya adalah doa keselamatan. Jika ada masalah atau persoalan, dianjurkan berdialog dan musyawarah. Karena dengan jalan demikian, menghindarkan dari celaan, fitnah, dan lainnya.

Sikap-sikap seperti pengucapan salam, dialog, dan musyawarah mempunyai arti penting dalam agama dan kehidupan. Baik dalam yang terkatakan dengan lisan maupun dalam peragaan. Bukan malah menghacurkan sesuatu yang dianggap menyimpang. Bukan malah membunuh secara brutal dengan hanya bertujuan agar Allah, nabi dan agamanya makin Agung. Bukan malah menyerang dengan maksud agar bumi Allah hanya dihuni orang-orang yang dianggap Islami. Semuanya di atas itu tidak membutuhkan pembelaan, karena sejak dari sananya Allah, nabi dan agamanya sudah Agung. Yang membutuhkan pembelaan adalah nalar kita, bagaimana cara selalu menebar pesan kedamaian.

Metode Manalar

Metode dan argumen Islam sering dan banyak dijadikan pandu dan pijakan adalah hadis. Tapi mengapa muslim khususnya sunni tidak mendahulukan Al-Qur’an untuk memahami persoalan Islam dan malah mendahulukan hadis? Tentu saja hadis-hadis tidak boleh diragukan keabsahannya. Tapi tujuan pertanyaan di atas dimaksudkan  bagaimana merumuskan metodologisnya sebagai acuan melihat persoalan.

Jika dilihat dari hierarkisnya, maka sumber rujukan Islam sebenarnya berpulang pada dua sumber/katagori: pertama, Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber ajaran. Kedua, ijma’ dan qiyas sebagai alat menggali hukum (ajaran) dari sumbernya.

Sumber ajaranpun dibagi menjadi dua katagori: Al-Qur’an sebagai sumber primer, dan Hadis sebagai sumber “semi primer”. Karena Hadis posisinya sebagai penjelas dan perinci dari Al-Qur’an. Hadis baru boleh digunakan ketika Al-Qur’an tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai suatu persoalan-persoalan.

Tapi, penggunaan hadis harus dalam sinaran Al-Qur’an. Tidak boleh lebih dahulu dan juga tidak boleh bertentangan. Maka ketika ada persoalan terlebih dulu dicari pada Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an tidak menjelaskan secara eksplisit dan implisit, baru mencarinya dari hadis. Hadis pun harus diverfikasi, baik dari sanad maupun matannya (Aksin Wijaya, 2020).

Atas dasar itu, segala argumen dan akar metodologis yang dipakai baik dari kelompok ekstrem, fundamentalis, konservatis terlihat mengabaikan hierarkis di atas. Mereka mangabaikan suatu metode yang penting dalam pijakan menalar Islam. Metode berpikir sungguh amat sangat mempengaruhi cara menalar, bersikap, dan segala hal yang melingkupi kehidupan, agama dan beserta lainnya.

Jika kita salah menalar, maka esensi Islam terkelupas dan hangus dengan sendirinya. Agama Islam yang sebenarnya ramah dan santun bisa jadi agama yang marah dan brutal. Maka dari itu, kita harus mengubah nalar agamaisasi kekerasan menjadi agamaisasi kedamaian. Jika Anda melihat praktik pemenggalan kepala guru di Prancis, pada 16 Oktober 2020 kemarin, maka Anda akan tau bagaimana si pembunuh menalar agama.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru