29.7 C
Jakarta

Bagaimana Kita Menyoroti Isu Taliban Fiktif di KPK?

Artikel Trending

EditorialBagaimana Kita Menyoroti Isu Taliban Fiktif di KPK?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pemecatan 75 pegawai KPK karena tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) berbuntut panjang. Sebuah dokumenter dari WatchDoc Documentary menegaskan bahwa sejumlah pegawai yang dinonaktifkan tersebut adalah non-Muslim. Dengan demikian, isu Taliban jelas tidak lagi relevan. Dan kemudian tampak jelas bahwa semakin hari, jika dibiarkan, isu tersebut akan berdampak buruk pada sesuatu yang paling primordial: integritas pemerintah.

Terorisme bukan isu mainan. Ia ada, benar-benar nyata. Poso, Papua, adalah dua contoh di antaranya. Tetapi kalau dijadikan isu permainan, masyarakat tidak akan percaya lagi. Apa dampak terburuknya? Melemahnya marwah pemerintah. Karena itu, kita harus menyorot isu Taliban yang menggema di KPK hari-hari ini. Presiden Jokowi sebelumnya menginstruksikan agar 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK tidak langsung dinonaktifkan. Benarkah di KPK ada kaum radikal?

Saat menulis kata ‘Kaum Radikal’ ini, kita perlu menyadari satu hal: ini topik sensitif. Boleh jadi ketika mendengar term tersebut, ada yang mengernyitkan dahi keheranan; siapa yang radikal dan mengapa dicap demikian? Dalam polemik TWK KPK, mungkin kita banyak setuju dengan sikap Lakpesdam PBNU. Jadi ini sekadar perspektif alternatif, untuk menelisik kembali fakta di lapangan. Siapa, melalui tes tersebut, yang berusaha dilemahkan? Bagaimana dengan isu Taliban?

Instruksi Presiden tentang TWK di satu sisi, dan tiadanya respons dari KPK di sisi lainnya, justru menimbulkan asumsi buruk dari sejumlah masyarakat pada pemerintah. Mereka menganggap integritas Presiden ditelanjangi KPK karena seolah lebih berkuasa dari pemimpin negara. Citra buruk tersebut tidak bisa dibirkan. Semua pihak kadung yakin bahwa TWK adalah trik murni kongkalikong oknum KPK dengan para koruptor kelas kakap. Lalu bagaimana kita menyoroti kasus ini?

Sebagai bagian dari kelompok teroris, Taliban itu ada. Dan di Indonesia, teroris itu jelas ada, meski Taliban atau tidaknya belum diketahui pasti. TWK sendiri merupakan alternatif pemerintah untuk melindungi negara dari pihak-pihak yang ingin menggerusnya. Artinya, sampai di situ, ‘Taliban’ dan ‘TWK’ tidak bisa kita pandang sebelah mata. Kita memang tidak bisa membiarkan oligarki menguat, tetapi kita juga patut selalu curiga dengan koneksi kaum radikal. Itu masalahnya.

Melihat “TWK” sebagai upaya filtrasi paham radikal bagi kalangan pegawai negara, membawa kita pada pemahaman bahwa TWK sendiri merupakan residu indoktrinasi yang masif. Dengan kata lain, maraknya penyebaran ideologi penentang Pancasila dan NKRI, terutama yang suka menyusup di jabatan strategis, menjadikan pemerintah waswas. Kekhawatiran berlebihan terhadap indoktrinasi itulah yang jadi residu: lahirnya TWK. Yang kena pun bukan hanya segelintir, tetapi bisa menyasar siapa pun.

BACA JUGA  Pertaruhan Pemilu 2024 dari Terorisme

Tetapi, jika kita menyorot isu Taliban fiktif tersebut dari “pertanyaan-pertanyaan TWK” di satu sisi dan “korban pemecatan” di sisi lainnya, kecurigaan publik menemukan relevansinya sendiri. Para koruptor adalah sama buruknya dengan terorisme. Meski tidak merusak negara dengan merebut-mengganti sistem pemerintahan, korupsi merusak negara dengan cara membangkrutkannya. Kita semua tentu mengutuk korupsi dan para koruptor.

Jadi bagaimana kita sebaiknya melihat isu Taliban fiktif di KPK yang sekarang sedang ramai diperbincangkan?

Ada dua cara yang bisa lakukan. Pertama, kita melihat bahwa TWK memang penting sebagai filtrasi. Sebagaimana maklum, paham radikal, apa pun afiliasinya: ISIS, Al-Qaeda, Taliban, dll, memang suka merasuk ke posisi strategis pemerintahan. Karenanya, TWK tidak bisa kita salahkan, karena itu merupakan respons terhadap radikalisasi itu sendiri. Kita harus setuju bahwa negara, terutama pegawainya, harus staeril dari ideologi-ideologi transnasional.

Kedua, kita melihat bahwa koruptor tidak boleh diberi ruang sejengkal pun. Mereka sama buruknya dengan teroris, sama-sama pengacau. Dalam perspektif ini, maka yang harus disalahkan bukan pemerintah. Presiden Jokowi sudah memberikan mandat mengenai 75 orang yang tidak lolos tes. Artinya, pemerintah tidak memihak koruptor. Yang harus kita kutuk adalah siasat para koruptor itu sendiri, serta semua pihak, siapa pun itu, yang berkongkalikong dengan mereka.

Lalu bagaimana sikap kita setelah menyorot isu Taliban dari dua perspektif tersebut?

Bijaknya adalah menahan diri untuk menyudutkan. Kita menunggu isu ini hingga jelas, baru bisa ambil sikap. Apakah isu Taliban fiktif itu benar ada, dan apakah pertanyaan-pertanyaan TWK itu relevan, akan ada solusi terbaiknya. Kita hanya perlu sabar menunggu. Demikian karena para pembenci akan terus memelintir kebencian, dan kita harus selamat dari provokasi mereka. Kita harus berpikir positif bahwa tidak ada pemerintah yang ingin merusak negerinya sendiri.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru