31 C
Jakarta
Array

Cara Mengungkapkan Rasa Cinta Kepada Al-Qur’an

Artikel Trending

Cara Mengungkapkan Rasa Cinta Kepada Al-Qur'an
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di pedesaan berkepulauan Madura saya dilahirkan. Sayang, saya belum bisa rewind secara total momen masa kanak-kanak yang polos. Beragam tanya terbersit dalam benak. Bagaimana saya mengenal atau diperkenalkan dengan Islam? Kenapa saya harus muslim? Bahkan, pertanyaan yang paling nyentrik adalah mengapa saya tersesat di tengah-tengah orang yang mencintai Al-Qur’an. Kala itu saya tahunya, Islam itu apa yang orangtua saya anut. Al-Qur’an itu kitab suci yang diperlakukan secara berbeda, terutama oleh teman-teman saya yang kebetulan beragama Islam. Titik.

Berbicara Islam secara tidak langsung berbicara Al-Qur’an. Saya masih ingat kali pertama belajar membaca Al-Qur’an. Belajar mengeja alpabetis Arab. Belajar tajwid, tatacara membaca panjang-pendek kalimat dalam Al-Qur’an. Hingga mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an tiga puluh juz. Waktu itu saya belum belajar memahami, apalagi menafsirkan. Karena, tafsir (exegesis) adalah tangga tertinggi setelah membaca dan menghafal Al-Qur’an. Saya sadar belum bisa membaca teks Al-Quran secara tartil. Karena itu, saya ditekankan belajar membaca dulu.

Cara Pandang Orientalis

Ada sekian cara masyarakat berinteraksi dengan Al-Qur’an yang dianggap aneh oleh kalangan orientalis. Salah satunya, keyakinan atas sakralitas Al-Qur’an. Masyarakat Madura seringkali mencium mushaf Al-Qur’an saat mushaf kenak injak, walau tidak disengaja. Mencium Al-Qur’an adalah sikap yang mengisyaratkan akan kecintaan terhadap Al-Qur’an, sehingga tidak rela kalau Al-Qur’an diperlakukan seperti teks yang lain.

Realitas mencium Al-Qur’an juga pernah saya alami. Bahkan, siapapun yang menginjak Al-Qur’an secara tidak sengaja dan tidak menciumnya jelas ia sudah berdosa. Beginilah klaim sebagian pihak yang agak fanatis. Saya belum menemukan mencium Al-Qur’an dapat menghapus dosa. Masyarakat tidak menerima melihat Al-Qur’an diperlakukan secara tidak sopan, karena, bagi mereka, Al-Qur’an adalah sesuatu yang sakral dan suci. Tentunya, sakralitas ini yang membedakan antara Al-Qur’an dengan teks lain, sehingga cara memperlakukannya tidaklah sama.

Di samping itu, masyarakat mengungkapkan rasa cintanya kepada Al-Qur’an dengan cara membacanya, walau tidak memahami pesan-pesan yang dikandungnya. Suasana semacam ini banyak ditemukan pada bulan Ramadhan. Seakan tidak sah puasa seseorang tanpa mengkhatamkan Al-Qur’an. Masyarakat berlomba-lomba membaca sehingga waktu Ramadhan dipenuhi dengan suasana Qur’ani, baik membacanya secara individu ataupun secara tadarus (bersama-sama), baik dengan pengeras suara ataupun dengan cara lirih.

Membaca Al-Qur’an diyakini sebagai ibadah yang menghasilkan royalti pahala. Bahkan, ada riwayat yang memperinci bilangan royaltinya disesuaikan dengan kuantitas huruf yang dibaca. Give away semacam ini mampu memotivasi masyarakat gemar membaca Al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an seakan menjadi bagian dari dirinya sendiri: memperlakukan dan mencintainya seperti mencintai dirinya sendiri. Mungkin ini cinta yang sebenarnya. Tidak peduli waktunya dihabiskan dengan Al-Qur’an. Karena, membaca Al-Qur’an mampu mengantarkan seseorang merasakan kepuasan batin dan ketenangan jiwa yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

Menghafal; Bukti Mencintai Al-Qur’an

Kecintaan membaca Al-Qur’an biasanya mendorong seseorang menghafalkannya. Seakan mustahil menghafal Al-Qur’an yang berlembar-lembar. Namun, motivasi yang kuat dibarengi dengan ikhtiar yang maksimal akhirnya seseorang mampu menyandang identitas “hafidz“, penghafal Al-Qur’an. Menjadi hafidz, pasti memiliki keistimewaan tersendiri. Sederhananya, bila kekasih kita hafidz, maka seakan kita memandangnya seperti memandang Al-Qur’an, bahkan menyentuhnya tak ubahnya menyentuh Al-Qur’an. Dan seterusnya.

Pada tempat lain, Al-Qur’an diperlakukan secara istimewa dengan cara memahaminya atau menafsirkannya. Dimulai dari sahabat Ibnu Abbas, tabiin Mujahid, hingga mufasir berikutnya seperti ath-Thabari, as-Suyuthi, Ibnu Katsir, Fahruddin ar-Razi, dan masih banyak yang lainnya. Sekian mufasir ini menghidangkan tafsir Al-Qur’an secara berbeda-beda. Ada yang menghidangkan dalam pendekatan riwayat seperti Ibnu Katsir dan ath-Thabari. Ada pula yang melalui pendekatan nalar seperti Fahruddin ar-Razi atau mufasir Nusantara, semisal Hamka, Bisri Musthafa, atau Quraish Shihab.

Kreativitas orang Islam dalam memperlakukan Al-Qur’an mampu menarik perhatian orang Barat yang memeluk agama di luar Islam atau lebih dikenal dengan sebutan “orientalis”. Walau orientalis melihat Al-Qur’an tidak sama dengan orang Islam, tetap kita apresiasi. Karena, itu pemahaman yang mereka dapatkan dari penelitian, bukan keyakinan yang kosong atau taken for granted, menerima sesuatu begitu saja. Orientalis melihat Al-Qur’an sebagai teks yang terlepas dari pengarangnya (author), sehingga dipandang pantas menyisipkan kritik. Selain itu, teks Al-Qur’an dalam triadik diposisikan sejajar dengan penafsir (exegete). Maka, dengan demikian, Al-Qur’an terbuka ditafsirkan sesuai konteknya, sehingga teks tidak stagnan, melainkan terus-menerus dinamis.

Nah, Al-Qur’an sebagai kitab pedoman agama Islam pada kenyataannya disambut dengan cara yang beragam. Ada yang mencintainya dengan cara menghormatinya, membacanya, dan menghafalnya. Ada juga yang memperlakukannya dengan memahaminya dan menafsirkannya. Itulah cara mengungkapkan rasa cinta kita kepada Al-Qur’an.[]

Shallallah ‘ala Muhammad.

 

[zombify_post]

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru