25.3 C
Jakarta

Babak Baru Hubungan Arab Saudi dan Amerika Serikat

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahBabak Baru Hubungan Arab Saudi dan Amerika Serikat
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Relasi antara Saudi-Amerika telah terjalin lama sejak 1950 an, keduanya seringkali terlibat kerjasama yang saling menguntungkan, diantaranya adalah Amerika sangat menggantungkan import minyak dari Saudi pun sebaliknya Saudi memiliki ketergantungan terhadap import senjata dari Amerika. Namun beberapa tahun terakhir relasi keduanya yang sejak lama berlangsung hangat dan mesra kini memasuki babak baru dan terancam mencapai titik terburuk sepanjang sejarah hubungan kedua negara.

Dibawah kepemimpinan putra mahkota Muhammad bin Salman (MBS), Saudi mengubah haluan kebijakan luar negerinya terhadap Amerika pada masa pemerintahan Joe Biden. Di era MBS dan Biden memimpin, kedua negara acapkali terlibat ketegangan yang mengakibatkan relasi keduanya renggang. Ada beberapa kasus yang memantik hubungan keduanya kian renggang, dalam konteks perang Saudi-Yaman misalnya, Amerika tidak mau lagi mengirimkan bantuan senjata ke Saudi dengan dalih ingin menghentikan perang yang mengakibatkan bencana kemanusiaan di Yaman. Saudi menganggap keengganan Amerika mengirimkan bantuan senjata sebagai bentuk ketidakberpihakan Amerika terhadap Saudi yang selama ini telah menjadi mitra utama di kawasan Timur Tengah.

Dalam konteks kasus pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi, Joe Biden menerbitkan laporan intelejen yang menyebutkan adanya keterlibatan sejumlah pejabat Saudi termasuk keterlibatan putra mahkota Muhammad bin Salman dalam pembunuhan Khashoggi. Meskipun pihak kerajaan mengklaim mereka tidak memiliki keterlibatan dengan kasus pembunuhan ini. Ketidakberpihakan Amerika terhadap Saudi dalam kasus Khasoggi bahkan cenderung menyudutkan lagi-lagi membuat relasi keduanya semakin memanas.

Hubungan Saudi-AS Kian Memburuk

Melihat gelagat Amerika yang semakin tidak bersahabat, pangeran MBS pun tidak tinggal diam. Beberapa laporan menyebutkan MBS menolak komunikasi via sambungan telepon dari presiden Joe Biden ketika situasi Rusia-Ukraina tengah memanas. Lewat sambungan telepon, Biden hendak mengutarakan keinginannya agar Saudi memproduksi minyak dalam skala besar dalam rangka upaya pemberian sanksi kepada Rusia, namun alih-alih mendengarkan dan mengamini keinginan Biden, MBS justru bersikap sebaliknya dengan tidak mengangkat sambungan telepon dari gedung putih, bahkan belakangan beredar kabar Saudi melakukan komunikasi dengan Putin membincang masalah minyak melalui forum OPEC.

Bahkan baru-baru ini televisi Saudi MBC milik pemerintah setempat menayangkan sketsa parodi bernada ejekan terhadap Joe Biden dan wakilnya Kamala Haris. Dalam tayangan sketsa tersebut terdapat dua orang yang memparodikan sosok Biden sebagai pengidap penyakit demensia dan gemar tertidur saat mengikuti rapat. Dalam sketsa video tersebut sang aktor yang memerankan Biden keliru menyebutkan negara, harusnya menyebut krisis di Rusia malah yang disebut adalah krisis Spanyol dan Afrika, Biden juga diparodikan lupa terhadap nama presiden Rusia dan menyebut Kamala Haris yang berdiri disampingnya sebagai first lady atau istri pertama.

Sketsa yang berisi konten parodi bernada ejekan terhadap orang nomor satu di Amerika sontak mendapat reaksi beragam, ada yang menganggap konten parodi tersebut memalukan dan tidak sedikit pula yang menganggap konten tersebut merupakan bentuk perlawanan Saudi terhadap Amerika. Banyak pengamat menilai bahwa cacian yang dilakukan Saudi melalui parodi sketsa menggambarkan relasi kedua negara sedang tidak baik-baik saja dan cenderung jatuh pada titik terburuk sepanjang sejarah. Amerika dibawah pemerintahan Biden mengalami penurunan harga diri di mata dunia, Biden dianggap sebagai pemimpin terlemah sepanjang sejarah kepemimpinan Amerika, bahkan Biden sendiri mendapatkan ejekan dari negara yang selama ini menjadi sekutu utama di Timur Tengah.

Harapan Berakhirnya Hegemoni Barat

Hubungan Saudi-Amerika dibawah rezim Biden memasuki babak baru yang tidak saling menguntungkan, renggangnya hubungan kedua negara memantik bergesernya peta gepolitik dunia sekaligus harapan akan berakhirnya hegemoni barat yang diwakili oleh Amerika. Perang Rusia-Ukraina menemukan momentum untuk mengakhiri hegemoni Amerika atas dunia, karena sejatinya perang ini adalah perang antara Rusia melawan Amerika beserta aliansinya di Eropa.

Aliansi Rusia, China, Iran, Suriah diharapkan menjadi penyeimbang kekuatan di dunia untuk mengimbangi kekuatan Amerika agar tidak lagi berbuat semena-mena terhadap negara lain. Unjuk kekuatan Rusia diharapkan menjadi simbol kekuatan dunia agar tidak lagi dimonopoli Amerika dan sekutunya, tentu dengan harapan terciptanya tatanan dunia yang seimbang.

Kini saatnya dunia memiliki poros kekuatan baru agar dunia tidak lagi dimonopoli oleh Amerika dan aliansinya, karena betapa kita menyaksikan banyak negara porak poranda utamanya negara di kawasan Timur Tengah akibat proyek ambisius demokrasi yang digulirkan oleh Amerika.

Akhmad Saikuddin, Pemerhati Dunia Arab dan Timur Tengah

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru