27.1 C
Jakarta

Autentisitas Islam dan Tatanan Baru Dunia ala Kaum Fundamentalis

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuAutentisitas Islam dan Tatanan Baru Dunia ala Kaum Fundamentalis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul buku: Islam dan Islamisme terbitan Mizan, Penulis: Bassam Tibi diterjemahkan oleh Al-Fathri Adlin Tahun 2016. Tebal: 396 Halaman. ISBN: 9789794339688.

Menilik buku Islam dan Islamisme sama dengan menilik alasan munculnya kalangan  fundamentalis. Beberapa di antaranya ialah kesalahan di dalam memahami mana yang autentik dari Islam dan mana yang bukan autentik dari Islam. Kesalahan ini memicu klaim kalangan fundamentalis tentang autentisitas Islam yang kemudian dijadikan landasan untuk menciptakan tatanan baru atas dunia.

Bassam Tibi menjadi tokoh yang sampai saat ini masih getol untuk mengomentari dan mengkritik berbagai hal yang berbau politik dan fundamentalisme Islam. Tidak hanya itu, ia juga dinobatkan sebagai pemikir modernis era kontemporer. Meskipun banyak yang menempatkannya sebagai tokoh yang bergelut dalam pemikiran politik mengingat basic pendidikannya adalah Hubungan Internasional namun dari kacamata berbeda, Basam Tibi diposisikan sebagai cendekiawan yang konsen terhadap kajian keislaman.

Sudah lama Bassam Tibi bergelut dalam bidang fundamentalisme Islam sehinga tidak sedikit tulisannya yang mengarah pada kritik terhadap konservatisme beragama. Di sini saya ingin melihat tulisannya yang fenomenal di Indonesia, yakni Islam dan Islamisme.

Autentisitas Islam: Kaum Fundamentalis vis-à-vis Bassam Tibi

Menurut Tibi, kalangan fundamentalis Islam cenderung salah dalam memilih mana yang autentik dan tidak autentik dari Islam. Kesalahan ini dipicu karena tersendatnya transmisi ilmu pengetahuan di masa lalu. Kalangan fundamentalis Islam menganggap bahwa yang autentik dari Islam adalah warisan budaya Islam klasik yakni warisan budaya Islam di masa Nabi.

Tradisi ini diklaim sebagai tradisi Islam murni yang tidak bercampur dengan budaya asing. Mereka mengatasnamakannya sebagai syariah. Tetapi Tibi juga akhirnya mengkritik apa yang mereka anggap sebagai syariah, karena mereka sudah mengkaburkan perbedaan antara syariah dan fikih.

Segala aktivitas yang berkaitan dengan tata cara yang ditempuh Nabi di masa lampau dijadikan sebagai acuan untuk menghadapi masa kini. Dalam buku Islam dan Islamisme, Tibi langsung mengarahkannya pada konsep pemerintahan yang ada di masa Nabi, mengingat kalangan fundamentalis Islam hendak menjadikan tatanan dunia ini menjadi tatanan Islami melalui jalur-jalur politik.

Konsep pemerintahan yang terjadi di masa Nabi merupakan sesuatu yang autentik dari Islam sehingga yang autentik ini harus dihidupkan kembali di tengah-tengah yang tidak autentik (sistem yang diadopsi oleh dunia saat ini).

Sedangkan menurut Bassam Tibi sendiri, “bukan itu yang dinamakan autentisitas Islam. Yang autentik dari Islam ya dimensi keterbukaan”. Tibi melandasi ini karena dua alasan. Pertama, warisan Islam klasik di masa Nabi ialah warisan budaya yang terbuka yakni penyesuaian diri dengan budaya liyan (budaya Arab dan Suku Badui).

BACA JUGA  Peran Pesantren dalam Memberangus Radikalisme-Ekstremisme

Kedua, ia berangkat dari era keemasan Islam dimana faktor yang mendasari kemajuan Islam ialah penyesuaiannya dan peminjaman budaya dari Yunani dengan cara menerjemahkan kitab-kitab Yunani yang kemudian diadopsi untuk tatanan kehidupan.

Dari keterbukaan dan pengadopsian yang terjadi itulah, kalangan muslim fundamentalis akhirnya mengklaim bahwa itu bukanlah yang autentik dari Islam. Segala yang kita pakai saat ini bukan yang autentik dari Islam. Akhirnya, tujuan utama kalangan muslim fundamentalis ialah memurnikan kembali ajaran Islam yang telah ternodai oleh budaya asing.

Budaya ini disoroti dengan nama “sistem pemerintahan yang bukan khilafah dan tatanan yang bukan sesuai dengan keislaman”. Lalu bagaimana cara mereka memurnikannya? Mereka kembali lagi ke sejarah warisan Islam klasik. Warisan Islam klasik yang mereka maksud ialah warisan yang murni yang berasal dari Syariah Islam. Artinya suatu sistem pemerintahan Islami sebagai alat dalam memurnikan tatanan dunia menjadi tatanan yang sifatnya Islami.

Dengan demikian, Tibi hendak membedakan antara Islam dan Islamisme. Baginya, segala hal yang diusung oleh muslim fundamentalis itu bukanlah Islam, ia lebih pantas disebut sebagai Islamisme. Islam berbeda dengan Islamisme. Begitulah kata Tibi. Islam terkenal dan diakui sebagai suatu agama yang memiliki dimensi keterbukaan sehingga menjadikan para pemeluknya sebagai orang-orang yang terbuka dengan budaya lain. Dengan sikap terbuka ini, seorang Muslim dapat memajukan dan mengontekstualisasikan diri dengan realita dan kemajuan budaya lain.

Berbeda dengan Islam, Islamisme sangat melenceng dari ajaran Islam yang sifatnya tebuka. Ia merupakan gerakan politik yang hendak menguasai dunia dan memaksakan sistem Islami di pakai untuk titik tolak kehidupan di seluruh dunia. Alih-alih menciptakkan kedamaian, Islamisme malah dianggap Tibi sebagai genderang perang dunia. Sebagai profesor dalam bidang Hubungan Internasional, Tibi menganggap bahwa Islamisme ini sudah bukan lagi gerakan yang sifatnya nasionalis, tetapi ruang lingkupnya sudah mengglobal.

Dalam tesisnya yang termaktub dalam buku Islam dan Islamisme ini, Tibi cukup membuat pembaca terheran-heran. Pasalnya ia menyebut Islamisme sebagai Gerakan Totalitarianisme baru karena menginginkan perubahan dunia secara total dengan tatanan Islami.

Hal ini tentu bertolak belakang dengan tatanan dunia saat ini, dimana dunia sedang mengalami globalisasi, pasar bebas, dan pluralisme. Jika tatanan Islami tetap dipaksakan oleh kalangan Muslim fundamentalis, yang terjadi malah mengikis nilai-nilai humanisme global bahkan bertentangan dengan sunatullah bahwa dunia ini selalu berubah dan plural.

Wallahu A’lam.

Rosi Islamiyati
Rosi Islamiyati
Alumni Pascasarjana Filsafat Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru