33.2 C
Jakarta

Apakah Agama Membenarkan Budaya Sogok- Menyogok?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamApakah Agama Membenarkan Budaya Sogok- Menyogok?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Agama melarang sogok menyogok (Rayswah), bahkan mengutuk bukan saja pelaku yang menerima, tetapi juga pemberi dan perantaranya. Banyak sekali teks keagamaan yang menjelaskan masalah ini. Namun apakah yang dimaksud dengan sogok?

Kalau anda mendefinisikan sebagai “pemberian atau penerimaan guna memperoleh atau memberi sesuatu yang tidak sah”. Apakah memberi guna memperoleh sesuatu yang menjadi hak, tidak termasuk sogok?

Contoh sederhana adalah anda membutuhkan dan berhak pula memiliki surat pengenal diri ataupun Ktp, kenaikan pangkat dalam jenjang kepegawaian atau apa saja yang menjadi hak anda. Tetapi petugas yang menanganinya bersikap sedemikian rupa dengan cara menunda-nundanya. sehingga urusan menjadi tersendat-sendat, ketika itu anda merasa perlu mengeluarkan sesuatu yang melicinkan. Nah, apakah ini dibenarkan?

Sebelum merujuk pandangan para pakar, terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa dalam contoh diatas, si petugas dinilai oleh Agama telah melakukan sesuatu yang haram, terlarang dan terkutuk. Ia dinilai melakukan penganiayaan, walaupun tidak menerima sesuatu.  Lebih-lebih jika menerima penundaan pembayaran utang. Bagi yang mampu adalah sebuah penganiayaan. Karna nabi bersabda, bahwa keadilan adalah memberi hak melalui prosedur yang mudah lagi cepat. “permudahlah dan jangan persulit”. Pesan Nabi. Tetapi tidak jarang ada yang menyatakan dalam sikapnya: “Mengapa harus mempermudah jika ada jalan mempersulit?”.

Dalam kitab Subul Al-Salam karya Muhammad bin isma’il Al-Kahlani (1059-1182 H), demikian pula dalam kitab Nail Al-Authar  karya Al-Imam Al-Syakani (1172-1250 H), dibawah subjudul Rasywah (sogok), kedua pengarang tersebut mengemukakan pendapat yang membolehkan pemberian dalam rangka memperoleh hak yang sah. Rupanya keadan saat itu mirip yang kita alami sekarang. Tampaknya pada saat itu telah menjamur pula budaya sogok- menyogok, sehingga menyulitkan penuntut hak untuk memperoleh haknya, maka lahirlah pendapat yang membolehkan tadi.

BACA JUGA  Hukum Berniat Puasa Ramadhan di Siang Hari

Tetapi Al-syaukni setelah mengemukakan pendapat tersebut, mengingatkan bahwa pada dasarnya Agama tidak membenarkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari seseorang, kecuali dengan hati yang tulus. Nah, tuluskah hati orang yang memberi pelicin itu?. Di samping itu bukankah sikap seperti ini menumbuh suburkan praktik  suap-menyuap dalam masyarakat?  Bukankah dengan memberi, walaupun dengan dalih memperoleh hak yang sah, seseorang telah membantu si penerima melakukan sesuatu yang haram lagi terkutuk, dan dengan demikian ia memperoleh pula sedikit atau banyak, sanksi keharaman atau kutukan itu?

Bahkan hadiah bagi seseorang yang berwenang, apabila sebelumnya ia tak biasa menerimanya dinilai sebagai sogokan terselubung.

Masyarakat melahirkan suatu budaya yang asalnya munkar (tidak dibenarkan) dapat menjadi ma’ruf (dikenal dan dinilai baik) apabila berulan-ulang dilakukan banyak orang. Yang ma’ruf pun menjadi munkar apabila tidak lagi dilakukan orang.

Sogok-menyogok tampaknya, adalah munkar yang telah dianggap ma’ruf, kalau begitu, yang salah adalah kita, sehingga secara bersama kita harus memperbaikinya, dan rasanya tak perlu menunggu yang lain untuk memulainya. Allah bersama kita.

Thoyib AhmadiAlumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru