26.3 C
Jakarta

Antara Pakaian Syar’i dan Syar’u

Artikel Trending

KhazanahOpiniAntara Pakaian Syar’i dan Syar’u
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam perspektif Islam, pakaian menempati posisi yang sangat signifikan terhadap pembentukan pribadi muslim yang taqwa. Urgensi pakaian ini nampak ketika Islam memerintahkan  agar setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menutup aurat. Karenanya menurut jumhur ulama mengenakan hijab adalah suatu kewajiban bagi seorang wanita muslimah. Banyak arti dari kata jilbab yang sebenarnya merupakan kosa kata bahasa Arab. Jilbab merupakan bentuk jamak dari jalaabiib yang artinya pakaian yang luas. Artinya adalah pakaian yang lapang dan dapat menutupi aurat wanita kecuali muka dan telapak tangan hingga pergelangan tangan saja yang ditampakkan.5 Ada pula Al-Biqa’i (dalam Thohari, 2011) yang menyebutkan beberapa arti dari kata jilbab yaitu baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi badan wanita.

Ada beberapa perintah tentang anjuran untuk berhijab dalam al-quran diantaranya pada Qs. al-Ahzab ayat 59 disebutkan  “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ulama Tafsir kontemporer asal, Quraish Shihab mengemukakan pendapat yang berbeda dengan kebanyakan ulama dalam masalah ini. Penulis tafsir al-Mannar itu berpendapat bahwa Al-Quran tidak menentukan secara tegas dan rinci tentang batas-batas aurat, sehingga hal itu dianggap sebagai masalah khilafiyah. Tafsir Quraish Shihab tentang ayat-ayat hijab banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Thahir bin Asyur dan Muhammad Said Al-Asymawi, dua tokoh berpikiran liberal asal Tunis dan Mesir, yang berpendapat bahwa jilbab adalah produk budaya Arab. Bagi  Quraish Shihab kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.”

Dalam pendapatnya ini Qurais Shihab lebih menekankan bahwa pendidikan, sikap dan prilaku seorang muslim itulah lah yang akan menjadi tabir (hijab) bagi diri seorang Muslimah, dan itulah yang akan menjadi identitas seorang Muslimah untuk dikenali dan memberikan pengaruh positif bagi diri Muslimah tersebut sehingga tidak mudah diganggu, dan tidak mengundang pengaruh negatif kepadanya.

Hal ini kemudian menimbulkan apologi-apologi Seperti kalimat “lebih baik berpakaian biasa tapi hatinya baik, dari pada berpakaian muslimah tapi hatinya tidak baik”. Diakui atau tidak, jilbab ini tidak hanya melulu soal agama tetapi bergulir dalam ranah sosial hingga politik. Kita bias lihat fenomena para pelaku tindak pidana yang mulanya tidak berjilbab, tiba-tiba saja mengenakan jilbab. Sebut saja Wa Ode,Neneng Sri Wahyuni, Nunun Nurbaiti, Angelina Sondakh, sopir mautApriyani. Mereka dalam kesehariannya tidaklah mengenakan jilbab, tetapi begitu mereka tersandung kasus tiba-tiba saja mereka mengenakan jilbab.

BACA JUGA  Pilpres, Momentum Berbaik Sangka Sesama Bangsa

Sesuai dengan hadis Ibnu Umar ra yang berkata: Rasūlullāh saw bersabda: “Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.. Disinilah esensi tafsir dan pendapat Quraish Shihab tentang hijab atau jilbab diletakkan. Pendapat Quraish Shihab inilah yang kemudian meng-counter maraknya fenomena Jilboobs yang tetap eksis dan tetap relevan untuk dibahas meskipun dewasa ini trand hijab syari sangat marak dikalangan masyarakat.

Jilboobs, akronim dari Jilbab dan boobs (dada) ini menjadi istilah yang makin ramai diperbincangkan di media sosial pada awal Agustus 2014. Sebagian orang sudah mendengarnya sejak setahun silam, yakni merujuk pada cara berpakaian wanita berkerudung yang masih menggunakan pakaian ketat membentuk tubuh, terutama di bagian atas atau dada. Dalam tulisan Abd.Ghofar Al-Amin berjudul Jilboobs, Fenomena Lama Yang Ngetren Kembali, mengulas bahwa berpakaian mengenakan jilbab tapi memperlihatkan lekuk tubuh tertentu bukanlah fenomena baru. Melainkan sudah sejak era 1998 hingga 2004, bahkan terkenal dengan istilah yang menjadi fenomena di masa itu, yakni Atas Kerudung, Bawah Warung. Mengutip Abd.Ghofar Al-Amin, “Kerudung” adalah penutup kepala, sementara “Warung” berarti tempat berjualan, tempat memajang dagangan, di mana calon pembeli bisa melihat bahkan pegang sana-sini dengan sepuasnya tanpa harus membayar. Bagian kepala memang ditutupi, tapi bagian bawah “terbuka” dan bisa dinikmati oleh siapa saja.

Jilbab memang memiliki dua dimensi kefungsian, yaitu materi dan rohani, jilbab materi berupa penutupan tubuh. Sedangkan jilbab rohani adalah kondisi dimana perempuan di tengah kehidupan masyarakat tidak berusaha tampil dengan dandanan yang menarik perhatian, dalam artian bahwa jilbab rohani ini adalah pencegah dari penyimpangan dan kemerosotan akhlak dan perilaku. Kedua dimensi ini dikatakan saling terikat dan memengaruhi, jilbab materi berfungsi sebagai imunitas atau kekebalan yang bersifat preventif sehingga jilbab rohani pun akan terjaga dengan terjaganya jilbab materi.

Hal ini lah yang kemudian menjadi kritik bagi pengguna jilboobs untuk memperhatikan gaya berpakaian mereka agar tidak mengundang perhatian yang menonjol akibat pakaian yang terlalu ketat dan transparat walaupun dalam balutan yang dianggapnya syar’i padahal justru terlihat sar’u (senonoh/fulgar)

kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang digunakan memukul orang (ialah penguasa yang zhalim) (2) wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang selalu maksiat dan menarik orang lain untuk berbuat maksiat. Rambutnya sebesar punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium wanginya, padahal bau surga itu tercium sejauh perjalanan yang amat panjang”
(HR. Muslim)

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru