31.3 C
Jakarta

Anak dan Deradikalisasi di Era Digital

Artikel Trending

KhazanahPerspektifAnak dan Deradikalisasi di Era Digital
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di era perkembangan dunia digital, peluang anak terpapar paham radikalisme semakin besar. Dari beberapa berita yang beredar, kita tahu yang disebut teroris bukan hanya orang dewasa yang melakukan perlawanan kepada pemerintah secara terbuka, namun sebagian diantaranya adalah anak-anak yang masih muda.

Dilansir oleh republika.co.id Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengungkapkan beberapa hasil survei yang menyatakan anak-anak Indonesia rentan terpapar radikalisme. Ia mencontohkan, Setara Institut melalukan survei di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Pertama, hasilnya cukup mengejutkan karena 2,4 persen siswa di penelitian ini tergolong intoleran aktif dan radikal. Sementara 0,3 persen bertoleran menjadi teroris. Ini yang harus diwaspadai.(15/5)

Kedua, kata dia, berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) terhadap 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri ternyata hasilnya cukup mencengangkan karena lembaga ini menemukan sebanyak 48,9 persen siswa bersedia terlibat aksi kekerasan yang terkait agama dan moral. Retno juga mengutip survei yang dirilis 2011 lalu menunjukan sebanyak 63,8 persen siswa bersedia terlibat dalam penyegelan rumah ibadah penganut agama lain. Kemudian pada 2017 ada satu penelitian menarik yang dilakukan oleh mahasiswa S2 Universitas Paramadina yang melakukan eksperimen pada 75 siswa-siswa SMA dengan diberi bacaan radikal dan ternyata hasilnya cukup mengejutkan karena terjadi peningkatan anak terpengaruh melakukan aksi radikalisme.

Hasil penelitian ini, menjadi acuan kongkret bahwa anak rentan terpapar radikalisme hingga mudah membentuk pemahaman teroristik yang bisa menebar kekerasan di mana-mana. Paham yang melekat dengan kekerasan demikian mulai menyasar di lingkungan sekolah, dan semakin berkembang seiring perkembangan teknologi alias era digital.

Radikalisme Digital

Merekrut pelaku teror amatir tidak terkecuali anak-anak adalah strategi baru kelompok radikal baru-baru ini untuk mewariskan paham intoleran dan paham negara khilafah kepada penerusnya. Selain merekrut wanita yang dijadikan sebagai istri untuk melakukan bom bunuh diri, mereka kian masif merekrut anak-anak di bawah umur.

Dibandingkan orang dewasa, anak-anak memang mempunyai keunggulan tersendiri. Anak-anak yang sudah diindroktinasi dapat menjadi mesin pembunuh bagi ribuan nyawa tak berdosa. Sikap lugu dan polos mereka acap kali mengecoh petugas keamanan yang berjaga. Padahal dibalik semua itu, mereka menyimpan ancaman serius bagi umat manusia.

Pada perkembangannya, kelompok radikal mulai menyasar media sosial sebagai tempat indroktinasi masal. Dengan leluasa, mereka menyebarkan paham radikal melalui dunia maya. Peluang terjadinya radikalisasi tidak hanya dialami anak di lingkungan rawan konflik saja, namun anak-anak di daerah tenang sekalipun mempunyai peluang besar terpapar paham radikal.

Dengan berbagai macam situs dan akun palsu, bukanlah hal sulit merekrut anak-anak melalui media sosial. Bujuk rayu serta paham mereka tertanam di beberapa situs di media sosial. Parahnya, anak-anak begitu leluasa memainkan internet tanpa adanya filter dan pengawasan khusus dari pihak tertentu. Kondisi seperti ini, memudahkan kelompok radikal mengajarkan teknik perakitan bom dan pemetaan wilayah yang menjadi target sasaran aksi teror.

BACA JUGA  Melawan Narasi Ekstremisme Melalui Media Islam Moderat

Perubahan strategi yang dilakukan kelompok radikal ini dapat dibilang cukup berhasil. Dilansir dari brilio.net setidaknya ada 4 kasus terorisme yang dilakukan oelh anak-anak, diantaranya. Pertama, Pengeboman di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Surabaya. Pengeboman ini melibatkan seorang perempuan yang membawa dua orang anak. Dengan tas yang berisikan bom, mereka membawanya masuk ke dalam GKI.

Kedua, Serangan di Gereja Katolik Santo Yosep, Medan. Pelaku aksi teror di Gereja Katolik Santo Yosep, Medan ini adalah seorang anak berinisial IAH. Ia berusaha menyerang dan melukai sang pastor dengan menggunakan pisau. Ketiga, Pelemparan bom molotov ke halaman Gereja Oikumene Sengkotek, Kalimantan Timur. Pelaku utamanya adalah JS, pimpinan kelompok Jemaah Ansharut Daulah (JAD) Samarinda dengan mengajak anak-anak.

Keempat, Kelompok teroris Boko Haram dari Nigeria. sejak awal hingga pertengahan tahun 2007, kelompok teroris Boko Haram telah menggunakan 83 anak sebagai pengantin bom bunuh diri. Mereka melibatkan anak-anak agar aksinya dapat berjalan dengan lebih mudah. Terhitung hingga saat ini, aksi tersebut telah menewaskan lebih dari 20.000 orang.

Strategi

Merekrut anak sebagai anggota kelompok radikal memang tidak bisa langsung dimanfaatkan dampaknya. Namun, mereka bisa saja berubah menjadi singa yang menakutkan di masa depan nantinya. Bayangkan, jika anak-anak sejak dini sudah diindroktinasi dengan paham radikal, maka wajah bangsa ini kedepannya akan menjadi garang dan mudah marah terhadap suatu permasalahan. Bangsa ini juga akan terjebak ke dalam masalah-masalah internal yang disangkut pautkan dengan permasalahan agama.

Maka, langkah deradikalisasi yang diambil tidak hanya terfokus kepada tindakan hukum sebagai ancaman bagi kelompok radikal. Namun, perlu juga dilakukan berbagai pendekatan halus dan terus menerus untuk menyisir habis paham radikal. Literasi digital juga perlu dilakukan sebagai pelindung dari konten radikal.

Deradikalisasi perlu dioptimalkan lewat dua hal. Pertama, deradikalisasi digital, artinya, mencegah paham radikalisme yang berkembang di media massa maupun media online seperti media sosial. Kedua, deradikalisasi sekolah, artinya, mencegah paham tersebut harus melibatkan keluarga, dan guru untuk melakukan pengawasan sebagai bentuk kontrol atas tercegahnya radikalisme, dan terorisme secara kompleks.

Selain itu, upaya pemblokiran situs-situs yang terindikasi sebagai situs radikal perlu dilakukan. Kemudian pemerintah juga perlu membuat tandingan narasi digital, yaitu dengan menyebarkan konten-konten perdamaian dan persatuan bangsa.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru