26.7 C
Jakarta

Ambiguitas Gerakan Islamisme di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahPerspektifAmbiguitas Gerakan Islamisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Islamisme adalah terminologi yang dijelaskan oleh Bassam Tibi untuk menguraikan adanya gerakan kelompok muslim yang menjadikan Islam sebagai ideologi. Memposisikan Islam sebagai ideologi nantinya bisa disejajarkan dengan idoelogi-ideologi lain seperti komunisme, kapitalisme, sosialisme, dan ideologi besar dunia lainnya.

Sejarah gerakan Islamisme di Indonesia telah dimulai sejak awal kemerdekaan bangsa ini. Gerakan seperti ini sempat macet di era Orde Baru lantaran rezim yang otoriter sehingga gerakan Islamisme sulit untuk berkembang. Namun ketika tirai demokrasi di buka, gerakan ini muncul ke permukaan dengan beragam bentuk dan tujuan. Pada akhirnya kelompok-kelompok yang selama Orde Baru bersembunyi kemudian bisa terdeteksi.

Ideologi Islam yang diusung oleh kelompok islamisme ditujukan untuk mengganti sistem negeri ini. Mereka beranggapan bahwa Islam adalah agama yang memiliki ajaran menyeluruh, tidak terkecuali dengan politik. Pemahaman tersebut diterjemahkan dalam bahasa politik yang mewujud ideologisasi Islam. Semua sistem, bentuk, nilai, aturan, dan semacamnya akan diisi oleh ajaran qur’an dan sunnah. Mereka menganggap bahwa Islam din wa dawlah sehingga tidak ada keterpisahan antar keduanya. Islam harus dijadikan landasan ideologis serta menjadi norma kolektif bagi masyarakat Indonesia.

Mereka juga menolak demokrasi lantaran tidak sesuai dengan Islam. Alasannya adalah demokrasi berasal dari Barat dan tidak sesuai dengan Islam. Demokrasi menyamakan suara warga kelas bawah dengan kyai, tokoh agama, dan tokoh negara. Slogan ‘satu orang satu suara’ tidak sesuai dengan ajaran Islam. Demokrasi dianggap sistem jahiliyah yang bertentangan dengan hukum Tuhan.

Akan tetapi dari realitas yang terlihat hingga hari ini, nyata-nyatanya mereka menikmati proses demokrasi yang telah dibuka sejak era reformasi. Di sinilah letak ambiguitasnya. Di satu sisi mereka menolak demokrasi, di sisi lain mereka menerima demokrasi di ranah kultural. Argumentasi mereka adalah apabila tidak masuk dalam sistem tersebut, bagaimana mungkin bisa mengubah Indonesia menjadi khilalafah Islamiyah. Jadi keikutsertaan dalam proses demokrasi adalah bentuk perjuangan yang ditujukan untuk mewujudkan khilafah Islamiyah.

Menolak demokrasi sebagai teori namun menerimanya sebagai praktek adalah pandangan umum yang biasa dilihat oleh publik. Mulai dari hal terkecil yaitu pemilu, mereka semua ikut andil dalam memilih pemimpin, kecuali eks HTI yang nyata-nyata menolak Pemilu danb bersikap golput ketika pemilu datang. Mereka bisa menikmati kebebasan berekspresi dan berserikat juga dalam wadah demokrasi. Mereka juga bisa mengkritik pemerintah secara terbuka dengan beragam cara, misalnya demonstrasi dan kritik secara terbuka.

BACA JUGA  Merawat Kesinambungan Spirit Kebaikan-kebaikan Ramadan

Demonstrasi merupakan salah satu cara untuk mengkritik pemerintah apabila dinilai menylewengkan kekuasaan atau tidak sesuai dengan aturan. Melalui mekanisme demonstrasi, para penganut Islamisme bisa mengkampanyekan ideologi politik keislaman yang mereka pahami. Mekanisme ini juga memungkinkan untuk menyuarakan aspirasi politik Islamisnya untuk menerapkan sistem Islam dalam skala regional maupun nasional.

Islamisme di Ormas

Selain demonstrasi, cara lainnya adalah dengan memilih partai Islam bukan partai sekular. Pandangan semacam ini sering dijumpai oleh aktivis-aktivis FPI dan sejenisnya ketika menjelang pemilu. Bagi FPI partai sekular merupakan partai syetan yang mengusung ideologi sekularisme. Partai ini tidak memiliki kepentingan untuk umat Islam sehingga tidak perlu untuk dipilih. Sementara partai Muslim, terutama partai yang mengusung ideologi Islamisme, wajib dipilih karena bagi FPI sesuai dengan syariat Islam.

Ketika partai Islam dan calon yang dipilih menjadi kepala daerah atau anggota dewan, para aktivis akan mengajak bekerjasama untuk mewujudkan Perda syariat Islam di daerah. Undang-Undang otonomi daerah memungkinkan berdirinya perda syariat yang melalui mekanisme demokrasi. Para aktivis dan politikus akan memperjuangkan bentuk syariat secara formalistik untuk diterapkan menjadi undang-undang.

Semua itu adalah bagian keterlibatan mereka dalam demokrasi yang selama ini mereka tolak karena tidak sesuai dengan Islam. Kebebasan berserikat dan berpendapat yang dijamin dari sistem demokrasi nyata-nyatanya mereka manfaatkan untuk kepentingan kelompoknya. Seharusnya mereka perlu menyadari bahwa kebabasan ini belum tentu bisa didapatkan apabila sistem lain yang diterapkan di Indonesia. Oleh karenanya, langkah yang seharusnya dilakukan adalah memperkuat masyarakat sipil untuk aktif dalam pembangunan negara ini, bukan menunjukkan penentangannya atas demokrasi.

M. Mujibuddin SM
M. Mujibuddin SM
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru