32.8 C
Jakarta

#AllEyesOnPapua: Mari Menjaga Papua Tanpa Khilafah

Artikel Trending

Milenial Islam#AllEyesOnPapua: Mari Menjaga Papua Tanpa Khilafah
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kasus Papua baru-baru ini kembali mencuat. Kasus ini bukan persoalan KKB, melainkan tentang kasus hutan yang akan merampas tanah milik warga Papua dan menjadi lokasi sawit perusahan ternama milik negara asing. “Kalau hutan adat hilang, mau ke mana lagi kami pergi?”, sebut warga Papua penuh kegetiran.

Sudah Luka Lama

Sejak tahun 2017, warga Papua khususnya suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, memang berduka. Mereka hari-harinya seperti sudah putus asa. Ruang hidup yang tersisa terus direbut paksa demi para pengusaha.

Sejak tahun 2017, suku Awyu telah melayangkan protes dengan melaporkan ke jalur hukum. Sayangnya, jalan itu buntu. Baru pada tahun 2023, kasus mereka diproses oleh PTUN Jayapura. Tapi lagi-lagi, harapan mereka kandas, karena gugatan mereka kalah di pengadilan.

Ini juga terjadi pada suku Moi. Sejak tahun 2021 mereka main gugat-menggugat dengan pihak perusahaan sawit. Tapi pada akhirnya, suku Moilah yang kalah, sementara perusahaan sawitlah yang menang, sebab dimenangkan PTUN Jakarta.

Hari ini, mereka mencoba peruntungan lagi dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mereka tidak memiliki energi untuk melawan. Satu-satunya energi hanyalah berdoa dan meminta keadilan memihak kepada mereka. Bukan kepada kekuatan gurita modal.

Karena Mahkamah Agung adalah harapan terakhir bagi Papua, maka banyak pihak ingin membantu mereka. Tagar #AllEyesOnPapua membanjiri akun-akun media sosial di Indonesia. Tagar itu merupakan bentuk protes alias sebagai dukungan atas perjuangan panjang suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya dalam mempertahankan tanah mereka.

Protes dan dukungan juga hadir lewat aksi penggalangan petisi di laman Change.org. Hingga 11-6-2024, petisi berjudul “Hutan Seluas Separuh Jakarta akan Hilang. Mahkamah Agung, Cabut Izin Sawit PT IAL!” sudah ditandatangani oleh lebih dari 232 ribu orang. Begitu juga petisi berjudul “Bebaskan Tanah Papua dari Investasi Perusahaan Sawit” sudah ditandatangani oleh lebih dari 38 ribu orang.

Bukti Rasa Sayang

Petisi, protes dan dukungan kepada Papua sekadar untuk mendapatkan rasa keadilan bagi mereka. Petisi itu untuk mempertahankan puluhan ribu hektar tanah adat atau ulayat milik warga Papua. Jutaan orang peduli terhadap Papua karena ingin melihat sesama saudara kandung Ibu Pertiwi sama-sama bahagia. Dan tidak terjajah oleh perusahaan sawit yang tidak menguntungkan warga Papua.

BACA JUGA  Serangan Moskow dan Bukti Kekejaman Teroris di Bulan Ramadan

Sayangnya, hingga kini, rakyat Papua masih tetap kalah. Tanah mereka sudah lama terampas. Puluhan ribu hektar tanah adat milik mereka sudah lama dibuka paksa. Tanah mareka sudah disulap menjadi perkebunan sawit yang membahayakan ruang hidup dan masa depan anak cucu mereka. Lebih dari 36 ribu hektar tanah adat milik suku Awyu di Boven Digoel, akan dibabat habis untuk perkebunan sawit milik PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Perusahaan ini diduga milik perusahaan di Singapura.

Kasus di atas hanyalah sedikit kasus yang terjadi di Papua. Sudah banyak kasus perampasan lahan seperti yang menimpa suku Awyu dan suku Moi ini. Sayangnya, yang lain tidak bisa maju menempuh jalur hukum. Yang lain hanya bisa meratapi nasib dan berpasrah kepada takdir yang bakal dan telah menimpa.

Tidak Butuh Sistem Islam

Namun, apa pun yang terjadi ke warga Papua kita harus terus mendukung. Dan tidak boleh melucuti segala optimisme mereka dengan cara memaki dan membully dengan bahasa “SDM rendah”.

Begitu juga tidak perlu berasumsi bahwa Indonesia adalah negara gagal, dan karena itu harus diganti sistemnya. Tidak perlu. Sebab, ini dari dulu sering dikatakan oleh aktivis khilafah. Bahwa katanya, segala kerusakan di Indonesia adalah akibat dari sistem dan kepemimpinan yang berparadigma sekuler demokrasi kapitalistik neoliberal. Bukan kepada kepemimpinan Islam yang bersistem islami.

Sistem Islam yang aktivis khilafah tawarkan sekadar hanya rayuan gombal semata. Fokus mereka hanyalah ingin mengganti sistem dan memperburuk citra Islam. Indonesia sudah baik negaranya, meski juga masih memiliki kekurangan karena ulah oknumnya.

Indonesia seharusnya memang bisa memfungsikan dirinya sebagai pengurus dan penjaga masyarakat. Indonesia memang sudah waktunya mewujudkan kemaslahatan semua, termasuk menjaga kelestarian alam semesta. Semua itu lambat laun terwujud. Karena itulah tidak boleh mengganti sistem Pancasila ke sistem khilafah.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru