33.2 C
Jakarta

Allah yang Memuliakan Manusia dan Mereka yang Menghujatnya

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanAllah yang Memuliakan Manusia dan Mereka yang Menghujatnya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Manusia adalah hewan yang berpikir (hayawan nathiq). Kurang lebih begitu kalimat familiar yang terekam jelas dalam studi Ilmu Logika (Ilm Manthiq). Kalimat ini mengeluarkan cakupan hewan yang tidak berpikir (hayawan ghair nathiq). Sebut saja, hewan jinak dan hewan liar. Hewan tidak mempunyai pikiran yang dapat mengendalikannya bersikap bijak. Hewan bertindak atas kendali nafsunya, bukan bimbingan akalnya.

Manusia terlahir fitrah, suci, bak tabularasa. Manusia tidak membawa dosa warisan. Hanya budaya dan pengalaman hidup yang dapat membentuk masa depan mereka. Karena itu, perkembangan masing-masing mereka beraneka ragam: ada yang kaya, ada yang miskin; ada yang terhormat, ada yang hina; ada yang pintar, ada yang bodoh; dan seterusnya. Status sosial yang berbeda ini pada hakikatnya ditentukan oleh akalnya sendiri. Siapa yang berpikir bijak akan mengantarkan hidupnya meraih kesuksesan, sementara siapa yang berpikir picik akan menggiring hidupnya terdampar dalam kegagalan.

Orang yang bijak selalu berusaha menggunakan pikirannya merenungkan segala pengetahuan yang terhampar luas di jagat raya. Orang bijak selalu menggunakan waktu produktifnya guna meraih hikmah, sehingga dapat memberi manfaat bagi orang banyak. Orang yang bijak selalu disiplin karena disiplin merupakan bentuk menghargai waktu. Berbeda, orang yang picik akan selalu memuaskan nafsunya, sehingga waktunya hanya dihabiskan pada sesuatu yang tidak berdaya guna. Orang yang picik tidak memiliki masa depan yang cemerlang, cara berpikirnya sempit, dan tidak produktif. Tidak ada perkembangan hidup yang ia dapatkan. Hidupnya stagnan dan menoton, sehingga kesannya menjemukan.

Perkembangan Indonesia bukan ada pada para pendahulu yang menggagas negara ini meraih puncak keemasan. Perkembangan Indonesia ada pada generasi berikutnya, sehingga generasi yang pintar dan terbuka akan membawa Indonesia menuju gerbong kemajuan. Generasi emas yang diharapkan adalah sosok pemuda. Karena, pemuda harapan bangsa. Soal pemuda, Soekarno berkata tegas, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncang dunia!” Tentunya, pemuda yang dimaksud Soekarno ini adalah seperti yang disebutkan dalam adagium: “Pemuda tidak berkata, ‘Ini bapakku‘. Tetapi, pemuda itu berkata, ‘Inilah aku.‘”

Sebagai harapan bangsa, sumber daya pemuda hendaknya dijaga. Jangan sampai generasi emas sulit ditemukan, bahkan tidak ada. Biasanya hilangnya masa depan bangsa ketika pemuda itu tergerus dekadensi moral. Tidak lagi terlihat pemuda yang berakhlak mulia. Pemuda tergerus politik kotor yang dapat menutup pikirannya melihat kebenaran secara objektif. Pemuda yang sudah hilang akhlaknya hanya gemar bertakbir sana-sini, menuhankan kebenarannya sendiri, dan menghujat sembari mengkafirkan saudaranya sendiri, baik seagama maupun beda agama. Bila benar, generasi pemuda tidak lagi terlihat, maka tinggal menunggu waktu bangunan negara yang berdiri tegak roboh dan persatuan akan berpecah belah.

Akal sebagai anugerah Tuhan baru disyukuri bila digunakan berpikir. Bagaimana jika akal dibatasi untuk merenungkan kebesaran Allah Swt? Tentu, itu termasuk menutup diri mensyukuri nikmat Allah yang tiada bertepi. Tidak bersyukur termasuk kufur, karena menutup akal pikiran sehingga menjadi dungu. Disebutkan dalam Qs. Ibrahim/14: 7, yang berbunyi: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. Dalam tafsir Taisir al-Karim ar-Rahman as-Sa’adi memahami ayat ini bahwa yang semestinya disyukuri oleh manusia adalah nikmat. Maka, bila mereka kufur, niscaya nikmat itu akan ditarik kembali oleh Allah. Tanda hilangnya kenikmatan akal menyebabkan seseorang “dungu”—meminjam istilah Rocky Gerung.

BACA JUGA  Tafsir Lingkungan di Tengah Kebijakan Penguasa

Seseorang yang menggunakan akal sehatnya berpikir secara logis, niscaya tidak akan menyakiti saudaranya sendiri, baik seiman maupun beda, baik satu alur politik maupun beda, karena siapapun ia dan apapun agama yang ia anut, mereka tetap manusia yang harus dihormati, dimuliakan, dan diperlakukan secara manusiawi. Tidak boleh dihujat, karena beda keyakinan. Tidak boleh dihina, karena beda pemahaman. Bahkan, tidak boleh dikafirkan, karena beda penafsiran. Kebenaran bukan hanya satu. Kebenaran itu beragam. Peganglah kebenaran yang Anda yakini dan berikanlah orang lain membenarkan apa yang mereka pahami. Islam tidak mengajarkan pemeluknya berselisih. Islam adalah agama damai (salam), cinta (hubb), dan kasih sayang (rahmah). Bukan muslim, bila sikapnya tidak berpotensi mencintai dan mengasihi.

Allah Swt. menegaskan dalam Qs. al-Isra’/17: 70, yang artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Ayat tersebut menceritakan kemuliaan manusia dibandingkan makhluk lain. Dalam tafsir Ma’alim at-Tanzil al-Baghawi memahami kemuliaan manusia (bani Adam) dengan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas. Menurutnya, manusia dimuliakan oleh Allah dengan cara dia makan yang berbeda dari makhluk lain. Manusia makan dengan tangannya, sementara makhluk lain makan dengan mulutnya. Namun, bagi pakar tafsir yang lain, manusia dimuliakan dengan akalnya. Pendapat terakhir ini terkesan lebih logis. Karena, akal memang menjadi pembeda (deferensia) manusia dan makhluk lain. Oleh karena itu, Allah mengutamakan manusia dibandingkan makhluk lain. Pakar tafsir berselisih pendapat kembali. Ada yang berkata, “Manusia diutamakan atas makhluk lain selain malaikat.” Ada lagi yang berpendapat, “Manusia dimuliakan atas makhluk lain dan juga atas para malaikat.”

Karena kemuliaan yang dikaruniakan Allah, para malaikat merasa iri dan komplain kepada Allah sebagaimana terekam dalam Qs. al-Baqarah/2: 30, yang berbunyi: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Dengan bukti kemuliaan manusia dibandingkan makhluk lain, seharusnya manusia bersyukur bahwa kemulian ini adalah anugerah. Manusia yang bersyukur selalu berupaya menggunakan akal pikirannya secara sehat, sehingga tidak mudah kafir-mengkafirkan, tidak gemar menuhankan pendapatnya sendiri, tidak suka menyesatkan pendapat yang berbeda, dan selalu menjaga kehormatan orang lain seakan menjaga kehormatan dirinya sendiri. Jangan menyakiti kalau Anda sendiri tidak mau disakiti. Jangan membenci dan menghina, kalau Anda sendiri tidak mau dibenci dan dihina. Jangan mengkafirkan, jika Anda sendiri tidak mau disebut kafir. Apa yang dirasakan orang lain adalah apa yang Anda rasakan. Kebahagiaan-kesedihan orang lain sama persis dengan kebahagiaan-kesedihan yang Anda rasakan. Mulailah belajar merasakan apa yang dirasakan orang lain, sehingga Anda menjadi sosok yang bijaksana.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru