32.9 C
Jakarta

Al-Qur’an vs Politik: Cacat Nalar Agen HTI (1/2)

Artikel Trending

Milenial IslamAl-Qur’an vs Politik: Cacat Nalar Agen HTI (1/2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Al-Qur’an adalah kitab sastra terbesar. Demikian kata sastrawan yang menggiati kajian Al-Qur’an. Ulama fikih memiliki pandangan lain. Bagi mereka, Al-Qur’an adalah sumber hukum terbesar. Apa pun kesan yang diperoleh para pengkajinya, adalah konsekuensi dari ke-dzuwujuh-annya. Tetapi, apakah itu juga berlaku bagi mereka yang bermain-main di area politik?

Tunggu dulu. Al-Qur’an tidak semurahan itu. Jika tujuan pengkajian, apalagi hanya pengutipan, berpusat terhadap agenda buruk di baliknya, maka itu jelas tidak bisa dibenarkan. Jika demikian yang terjadi hari, menjadi tugas wajib bagi kita untuk mengkonter gerakannya. Lebih-lebih jika gerakan itu merongrong eksistensi negara kita. Wajib kita uraikan cacat dalilnya.

Al-Qur’an dan Politik, adalah judul dari seri diskusi daring para aktivis khilafah, para dedengkot HTI, yang disiarkan di kanal YouTube mereka: Fokus Khilafah Channel. Diunggah pada 11 Mei, bertepatan dengan 18 Ramadhan lalu, hingga kini sudah ditonton ribuan kali. Seperti biasa, diskusi dipandu oleh Farid Wajdi, dan yang menjadi narasumber adalah Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI.

Diskusi tersebut adalah bukti, bahwa pencabutan badan hukum HTI tidaklah efektif sama sekali. Para agen HTI selalu istiqamah menyebarkan paham khilafah, membungkus kegiatan politik dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an. Meskipun maklum, bahwa bagi sesiapa pun yang masih berpikiran jernih, tidak terpapar ideologi apa pun, argumentasi mereka mentah dan cacat nalar (fallacy).

Tulisan ini berusaha menguraikan kecacatan argumentatif tersebut. Saya tidak bermaksud menyudutkan suatu pemikiran tertentu, karena setiap pemikiran (baca: doktrin) apa pun memiliki ruang kebebasan sendiri. Tetapi dalam rangka benteng diri, upaya ini memang mesti dikerahkan. Para agen HTI mengindoktrinasi masyarakat, kita yang mendedoktrinasinya. Impas.

Pembahasan mereka memang sudah berulang-ulang, dan itu-itu saja yang didakwahkan. Al-Qur’an tidak lebih dari alat an sich, untuk tujuan politik mereka, dengan melakukan politisasi. Tafsir apa pun diabaikan. Kitab Suci ditafsirkan secara harfiah, tanpa uraian konteks apa pun. Dari situ kemudian sulit untuk menyimpulkan, bahwa mereka paham betul kandungan Al-Qur’an, apalagi tafsirnya.

Al-Qur’an, Politik, dan Politisasi Al-Qur’an

Para raja Bani Umayyah generasi awal suka sekali mencaci keluarga Nabi di mimbar-mimbar Jum’at. Ayat Al-Qur’an digunakan sebagai argumentasi, untuk menghina para lawan politiknya. Kebiasaan buruk tersebut baru mereda ketika masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Dari zaman ke zaman, penggunaan ayat secara tidak benar seringkali hadir, sebab sakralitas ayat itu sendiri.

Eksistensi Kitab Suci adalah sebagai penuntun yang hak, namun tidak jarang juga dipelintir untuk menghakkan sesuatu yang batil. Dalam hal ini, semua orang bertanggung jawab. Kita tidak bisa mengelak dengan mengatakan, yang demikian hari ini sudah tidak ada lagi. Faktanya, alih-alih dibaca-dihayati, Al-Qur’an justru digunakan untuk kepentingan politik, atau disebut politisasi.

Ketika Ismail Yusanto ditanya oleh moderator, apakah cukup, dalam bernegara, yang diterapkan hanya nilai saja dan tidak perlu menjadikannya hukum mutlak, ia menjawab, ‘siapa yang berhak menentukan substansi dalam Al-Qur’an? Bukankah substansi tersebut nanti reduktif?’, lalu mantap ia mengatakan: “Ujung-ujungnya ya tidak mengambil Al-Qur’an sama sekali.” [Menit 13:55]

BACA JUGA  Tahun 2024 Adalah Tahun Kebangkitan Terorisme, Kok Bisa?

Apa itu artinya Ismail Yusanto menyangsikan eksistensi maqashid al-Qur’an? Atau memang karena ia sebenarnya tidak paham apa-apa tentang diskursus maqashid tersebut? Sekarang bisa ditanya balik, apakah Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang dirumuskan Nabi sebagai konstitusi Madinah itu menerapkan Al-Qur’an ceplok sebagai hukum atau justru mengambil nilai universal (maqashid)-nya?

Ismail Yusanto benar, ketika mengutip hadis Nabi, bahwa ada dua hal yang harus dijadikan pegangan agar selamat, yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Akan tetapi, ia keliru ketika memahaminya secara harfiah. Ia tidak bisa dipahami bulat-bulat. Kitab Suci terlalu sakral apalagi jika harus diterjunkan ke ranah politik praktis. Ada tafsir yang tidak bisa dikesampingkan, agar tidak terkesan mempolitisir ayat.

Bahwa Allah, melalui Kitab Suci, mengatur sistem kepemerintahan, yang dengan demikian juga sistem politik, itu benar adanya. Tetapi politik dan politisasi adalah dua hal yang berbeda. Politik itu suci, sedangkan politisasi itu najis sama sekali. Politik Islam selalu berlandaskan ajaran Al-Qur’an, sedangkan politisasi memanipulasinya.

Pengabaian Tafsir

Bukti bahwa tafsir adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dalam konteks memahami ayat, ialah lahirnya karya-karya tafsir, dari zaman ke zaman, dalam berbagai pendekatan. Memahami Al-Qur’an bulat-bulan adalah bukti kurangnya pengetahuan, kurangnya akal. Tafsir pun tidak bisa sembarangan. Nabi melarang tafsir sembarang, nalar tak berdasar, apalagi terjemahan saja.

Kendati begitu, tafsir adalah tafsir, bukanlah Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah sakral mutlak, sedangkan tafsir tentatif relatif, sebagai konsekuensi dari relevansi Kitab Suci sepanjang zaman. Al-Qur’an adalah agama (ad-din), sedangkan tafsir adalah pemikiran keagamaan (al-fikr ad-dini). Sebenarnya yang Ismail Yusanto maksudkan itu agama atau pemikirannya?

Jika yang dimaksud penerapan ke dalam hukum adalah Kitab Suci itu sendiri, maka cacat nalar dirinya kentara sekali. Kita bisa berargumen balik sebagaimana pertanyaan ia sendiri: atas dasar apa ia memahami ayat lalu menerapkannya menjadi sistem bernegara tanpa berpaku terhadap tafsir apa pun? Ia tidak menyadari keluputan ini, yang menunjukkan bahwa konsep khilafah itu sendiri sebenarnya sangat absurd.

Ia hanya pahal satu hal, membagi secara serampangan kategori Muslim menjadi tiga, yang ketiga-tiganya sangat partisan. Pertama, Muslim yang mempersepsikan Kitab Suci secara utuh dalam berbagai aspek, yaitu kalangan mereka para dedengkot khilafah. Di sini Ismail Yusanto memosisikan dirinya, mengklaim diri sebagai Muslim yang paling berpegang teguh kepada Al-Qur’an.

Kedua, Muslim yang mempersepsikannya sebagai kalamullah, tetapi tidak wajib dan tidak ada kewajiban menerapkannya sebagai hukum. Ismail Yusanto menuduh siapa pun yang tidak setuju khilafah masuk golongan ini. Ketiga, Muslim yang sama sekali mengabaikan Al-Qur’an. Klasifikasi ini juga cacat dengan satu interupsi: memangnya benar mereka yang menentang penerapan khilafah adalah Muslim yang tidak mengimani Kitab Suci? Sungguh, ini tuduhan sinisme.

Antara Muslim dan politik memiliki hubungan yang erat, seerat hubungannya dengan Kitab Suci itu sendiri. Tetapi, dalam tanda kutip, tidak membenarkan Al-Qur’anisasi politik. Itulah agenda para dedengkot khilafah. Itu akan diulas pada bagian selanjutnya. Insyaallah.

Bersambung…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru