31.2 C
Jakarta

Al-Quran Berbudaya, Ikut Quran Atau Budaya?

Artikel Trending

Asas-asas IslamAl-Qur’anAl-Quran Berbudaya, Ikut Quran Atau Budaya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Al-Quran adalah sumber ajaran Islam juga pedoman hidup bagi manusia yang menjadi landasan adanya hukum-hukum dalam agama agar tatanan hidup lebih rapi dalam bersikap. Selain itu, Quran juga menjadi landasan problematika isu-isu keagamaan yang sangat marak, bahkan acap kali banyak dari golongan-golongan Islam yang menyuarakan “Kembali pada Quran dan Sunnah” tanpa mendalami seperti apa karakteristik atau penyikapan dari Quran dan Sunnah itu sendiri atau bisa dikatakan hanya melihat kulitnya tanpa tau maknanya. Al-Quran diturunkan tidak hanya berupa ayat-ayatnya yang unik nan indah tapi juga sebab turunnya, meski tidak semua ayat-ayat Quran mengandung asbabunnuzul. Ke-otentikan atau keaslian Quran juga kerap kali menjadi perdebatan dalam forum-forum diskusi maupun dengan Authornya sendiri, bahkan sempat diragukan apakah Quran itu memang sebuah kebenaran?

Metode-metode penafsiran pun sempat diperdebatkan dikalangan para ulama dan cendekiawan, tentunya ada yang pro dan kontra di dalamnya, serta kalangan manusia yang mengkaji Quran pun beragam dan dengan niat yang beragam pula. Seandainya kelebihan dan kekurangan Quran itu terungkap tidak akan menetap kecacatannya dalam Kitab Furqan tersebut, karena pemiliknya bukan dari kalangan yang diciptakan melainkan dari Dzat Yang Esa.

Quran hadir untuk menjawab problematika zaman yang kian panas maupun dingin. Permulaan turunnya ayat-ayat tersebut juga berangkat dari sebuah kebiasaan, kebudayaan dan tradisi yang tidak adil, bisa dikatakan ayat-ayat Quran adalah sebuah hakim yang mengadili ketidak-adilan budaya dan tradisi juga sebagai arah kehidupan, lalu apakah Quran di infiltrasi oleh budaya pada waktu itu? Jawabannya iya. Tentu demikian, Quran terkontaminasi oleh keadaan-keadaan yang terjadi pada masa turunnya termasuk budaya negaranya. Perkembangan budaya dan tradisi yang kita lihat saat ini sangat jauh berbeda dari kebiasaan terdahulu, tidak mungkin pula  terjadi perkembangan negara jika perkembangan ilmunya tidak meningkat diatasnya. Terlebih sistem akal manusia sangat dibutuhkan untuk suatu perkembangan (Al-Baqarah: 266), disini pun dapat dikatakan bahwa insan masa kini lebih banyak menata pola pikirnya dibanding insan terdahulu (Jahiliyyah), bedanya hatinya dipakai dengan benar atau tidak, ini pun tergantung pada pribadi insan masing-masing.

Kontaminasi budaya terhadap ayat-ayat Quran tidak selamanya mengikuti. Oleh karena itu, para mufassir selalu menyaring dari makna-makna ayat-ayat Quran tersebut dengan mengaitkan pada kebiasaan, kebudayaan, dan tradisi yang sedang dijalani, agar problematika yang terjadi pada saat ini dapat terjawab dengan baik. Al-Quran tidak pernah mengatakan bahwa keotentikannya tidak dengan infiltrasi dan kontaminasi, justru yang menjadi titik temu kebenaran dari Quran itu sendiri dengan adanya infiltrasi dan kontaminasi tersebut. Keterlibatan budaya atau penyusupan di dalam Al-Quran juga mempengaruhi sikap berpikir bagi yang membaca maupun yang mengkajinya.

Dikatakan bahwa infiltrasi dan kontaminasi adalah sebuah titik temu kebenaran Al-Quran karena mampu menjawab sikap yang harus diambil dalam segi ibadah mahdhah (ibadah yang ditetapkan oleh dalil secara langsung) maupun ibadah ghairu mahdhah (ibadah yang ditetapkan oleh dalil tapi tidak secara langsung).

Secara garis besar, mayoritas manusia hanya mengulik kepada apa yang dikenakan diluar dan berpaku pada satu argumentasi, tanpa tau bagaimana sebenarnya maksud dari Quran itu sendiri. Memang sangat erat kaitan Quran dengan sejarah, sehingga mengikuti sesuatu yang menjadi sejarah dan tidak dipermasalahkan pula ketika cara-cara atau gaya kehidupan terdahulu digunakan di masa sekarang, yang menjadi masalah adalah mengatasnamakan cara atau gayanya adalah perintah dari Quran. Quran sendiri mempunyai ayat-ayat yang sifatnya elastis, bisa ditarik ulur sesuai kebutuhan zaman, sehingga ketertiban selalu terjadi menyesuaikan zamannya, tidak pula dengan penafsiran yang sembarangan tanpa metode dan pendekatan yang dapat ditafsirkan dengan seenak jidat.

BACA JUGA  Saat Ramadhan, Ini Waktu Utama untuk Membaca Al-Qur'an

Saat ini ketergantungan budaya terhadap Quran sangat mengikat erat, dimana hal-hal budaya dapat tertib apabila dikaitkan dengan Quran. Terlebih menganggap semua hal duniawi mempunyai hukum rimba dan hukum Tuhan, tentu tanpa sumber ajaran agama, hukum rimba binatang masih berlaku di arena kehidupan, dimana yang lemah akan selalu tertindas dan tidak layak hidup, sementara yang kuat akan selalu merajalela memangsa yang berada dibawahnya, tidak ada yang namanya maslahat, sopan santun, ramah sosial. Seperti halnya budaya terdahulu yang tidak sedikitpun mengindahkan bayi perempuan dengan dianggap sebagai malapetaka, menganggap wanita hanyalah budak permainan, serta yang memakai cadar, jilbab besar bagi perempuan dan celana cingkrang bagi laki-laki, hal tersebut bukanlah sebuah penilaian untuk menuju akhlak Quran melainkan adalah budaya di negara lain, bahkan di negara yang tinggi popularitas perzinahannya.

Disini perlu pemahaman ekstra, dimana saya yakin manusia tidak bodoh memilih antara yang benar dan yang salah. Tetapi yang menjadi masalah ialah kurangnya pendalaman terhadap sesuatu yang dikaji. Abuddin Nata mengatakan bahwa ‘karakteristik ajaran Islam dalam bidang ilmu kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, tetapi juga selektif, yakni tidak begitu saja menerima seluruh jenis ilmu dan kebudayaan, melainkan ilmu dan kebudayaan yang sejalan dengan Islam (MSI,2014). Pada surah Al-A’raf ayat 199:

خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”

Dalam Tafsir Al-Wajiz menjelaskan ‘Wahai para Nabi mudahlah terhadap sikap-sikap manusia, dan janganlah kamu terbebani dengan apa yang meretakkanmu, dan suruhlah mereka dalam kebaikan: yang sesuai dengan pemahaman, syari’at, perkataan dan perbuatan, serta berpalinglah dari perbuatan yang jahil: seperti orang-orang bodoh dan kebodohan. Maka janganlah kalian melakukan perbuatan yang kurang akal dan berdebat dalam kebathilan.

Beragam budaya memang kerap kali membingungkan banyak orang. Terlebih yang menjadi perdebatan adalah budaya barat dan budaya arab. Namun, ayat ini mengajarkan agar kita tetap menerapkan kebaikan meskipun terlihat hal demikian bukanlah hal yang pantas.

Sunni Alimah Balqis, Mahasiswa IAIN Samarinda, Kalimantan Timur

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru