32.7 C
Jakarta

Akar Ekstremisme dan Deradikalisasi Kemasyarakatan

Artikel Trending

KhazanahOpiniAkar Ekstremisme dan Deradikalisasi Kemasyarakatan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejak tahun 2017, sejumlah warga negara Indonesia yang terjerumus ekstremisme ISIS dipulangkan dari Timur Tengah. Mereka telah melihat pertempuran, mereka telah menerima pelatihan meliter, mereka telah gagal memasuki Suriah dan Irak melalui pintu Turki hingga berujung dideportasi. Lebih dari 200 orang Indonesia dipulangkan secara paksa kemudian dilakukan rehabilitasi dan dikembalikan ke keluarga mereka masing-masing.

Menurut data yang dilaporkan oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) ada sekitar 574 sampai akhir bulan september 2017 sekaligus dengan WNI yang terbunuh. Pertanyaan yang paling mendasar untuk diajukan adalah, bagaimana jika ektremisme diintegrasikan ke dalam kultur masyarakat yang ada di Indonesia.

Kaum Returnis

Meski banyak dari korban ekstremisme yang kembali ke rumahnya (mungkin) hanya ingin melanjutkan kehidupan normal, seperti telah dilakukan 60 persen dari orang Indonesia yang berlatih di perbatasan Asghanistan-Pakistan dengan para mujahidin 1980-an.

Dua ulama Indonesia yang diasingkan seperti Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir memfasilitasi perjalanan ke kamp-kamp militer, di sana diberikan ajaran Salafi dari ulama abad ke-13 misalkan Ibn Taymiyah, diresapi dengan interpretasi militan-jihadis yang dianut oleh Abdullah Azzam, Osama bin Laden dan yang lainnya (Cameron Sumpter, 2018)

Indonesia pada masa itu masih kondusif dari radikalisme di kalangan aktivis Muslim. Semenjak tahun 1982 hingga 1983, pemerintahan Orde Baru dibawa kekuasaan Presiden Suharto memperkenalkan kebijakan yang memaksa organisasi-organisasi Islam untuk mengadopsi filosofi dasar nasionalis-Pancasilais (bukan Islam) sebagai satu-satunya dasar ideologi negara meski banyak yang menentang hingga menghabiskan kurang lebih 33 korban jiwa.

Sehingga di tengah sisa-sisa kehancuran Suharto yang rapuh di Indonesia pada tahun 1999. Konflik komunal di kepulauan Maluku menyebar hingga ke Sulawesi Barat. Para jihadis tidak membuang-buang waktu untuk menyusup dan terlibat dalam konflik tersebut. Kekerasan terorganisir berkembang menjadi terorisme dan akhirnya kampanye pengeboman tanpa pandang bulu terhadap simbol-simbol Barat dimulai dengan ledakan dahsyat di kawasan kehidupan malam di Bali.

Orang Indonesia yang melakukan perjalanan ke Suriah dan Irak selama lima tahun terakhir memang lebih tertarik pada keberhasilan dan daya pikat kekhalifahan yang memproklamirkan diri, hal ini memikat lebih dari 300 wanita Indonesia untuk mencoba melakukan perjalanan tersebut daripada berusaha meningkatkan keterampilan untuk bertempur di tanah air.

Terbukti pada bulan juni 2017 dua pria yang pernah tinggal selama lima bulan di Suriah bernama Syawaluddin dan Ardial Ramadhana menikam seorang petugas kepolisian hingga tewas di Medan. Keduanya itu dikaitkan dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), sebuah organisasi payung bagi pendukung ISIS di Indonesia (Chaula Rininta Anindya, 2017).

BACA JUGA  Kebinekaan dan Langkah Mendesak Meredam Panasnya Konflik Elektoral

Memulihkan Ekstremisme

Organisasi penting yang terlibat secara aktif dalam proses penanganan narapinada teroris adalah Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) yang didirikan pada tahun 2018. Sejak saat itu secara aktif melakukan program pelatihan dan intervensi di penjara-penjara yang bertujuan untuk membebaskan para terpidana teroris.

Penawaran usaha kecil seperti pinjaman uang diberikan oleh YPP sebagai modal usaha untuk menjalani kehidupan, pengalaman YPP dengan jaringan ekstremisme dan pelepasan menawarkan sumber daya yang berharga. Saat ini yang menjadi titik sumbu pusat perhatian adalah kebijakan pemerintah Indonesia dan organisasi masyarakat sipil untuk mengurangi ancaman yang ditimbulkan oleh para pejuang ekstremisme di Indonesia.

Keluarga sebagai penanganan yang paling efektif menurut YPP. Sebab, aksi terorisme sejak tahun 2008 sampai sekarang dilakukan oleh mantan narapidana terorisme. Dari situ, menurut YPP, ada yang tidak benar dengan proses deradikalisme yang dilakukan oleh pemerintah ketika menghilangkan peran penting keluarga. Peran internal keluarga untuk aktif melawan tindakan radikal menjadi sangat penting, terutama peran para ibu.

Karena banyak di negara-negara Barat menggunakan kekerasan sebagai penanggulangan terorisme penggunaan pesawat bersenjata oleh Amerika Serikat dalam pemberantasan teroris, pendekatan tersebut jelas kontraproduktif karena mendorong korbannya semakin mengadopsi paham radikalisme.

Program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah sejak 2006 yang dijalankan oleh antiterorisme Densus-88 menawarkan cara mengembalikan seseorang yang terpapar ekstremisme kembali menjadi normal. Program ini sejalan dengan YPP, program deradikalisasi dari organisasi masyarakat sipil atau organisasi masyarakat non-profit. Menghimbau kepada pemerintah untuk menjalankan program deradikalisasi yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai kebangsaan di penjara serta pemberian modal ekonomi bagi mantan narapidana terorisme.

Setidaknya, ada dua hal yang bisa saya simpulkan dari YPP untuk deradikalisasi terorisme:

Pertama, bisa membantu narapidana terorisme dengan program-program pembentukan kemampuan-kemampuan sosial, seperti vokasi dan pelatihan kerja. Program-program ini tidak memaksa narapidana ini mengubah ideologinya, melainkan berusaha memicu perubahan secara individu.

Kedua, pemerintah perlu melibatkan organisasi masyarakat sipil secara lebih mendalam dalam program deradikalisasi yang ada. Karena itu, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil harus mulai menjembatani masalah saling tidak percaya di antara mereka. Wallahua’lam.
Jamalul Muttaqin
Jamalul Muttaqin
Penulis Lepas

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru