Harakatuna.com, Jakarta – Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2020-2024. Peraturan ini dibuat dalam rangka membentengi negara dari ancaman ekstremisme yang mengarah pada tindakan terorisme.
Menanggapi hal itu, akademisi Universitas Indonesia (UI), Muhammad Syauqillah menjelaskan bahwa, peraturan tersebut merupakan panduan operasional yang memuat unsur-unsur yang tercantum dalam UU No. 5 Tahun 2018.
“RAN PE menjadi terobosan dalam penanganan terorisme, produk peraturan yang ada masih bersifat kebijakan, belum pada tataran implementatif, mengingat problem terorisme dan ekstremisme di Indonesia membutuhkan penanganan cepat dan tepat,” ujar pria yang akrab disapa Syauqi ini, Selasa (16/2/2021).
Ketua Program Studi Kajian Terorisme UI ini juga menyampaikan bahwa RAN PE adalah peraturan yang tepat dan sangat operasional.
“Bagi kalangan aparatur pemerintahan dimudahkan untuk mengindentifikasi masalah-masalah dan solusi yang ada seputar penanganan ekstrimisme dan terorisme,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Syauqi menekankan, kolaborasi masyarakat menjadi salah satu point penting dalam peraturan tersebut. Di dalamnya memuat landasan keterlibatan masyarakat luas untuk ikut berpartisipasi dalam mencegahan dan penanganan aksi terorisme.
“Dalam RAN PE masyarakat diberikan ruang keterlibatan. Jadi tidak perlu khawatir jika kemudian RAN PE menjadi alat bagi pemerintah untuk menekan oposisi atau kritikus,” bebernya.
Hal tersebut, menurut Syauqi, sangat beralasan. Sebab, dalam konteks undang-undang ini, penanganan terorisme dan ekstremisme di tingkat pemerintah daerah (Pemda) selama ini masih terbatas karena aturan.
“Sehingga dengan adanya RAN PE menjadikan pemda memiliki acuan hukum dalam penganggaran penanganan terorisme dan ekstrimisme,” pungkas Syauqi.