31.4 C
Jakarta

Ahmadiyah: Antara Teologi dan Tantangan Kebebasan Kita

Artikel Trending

KhazanahTelaahAhmadiyah: Antara Teologi dan Tantangan Kebebasan Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Tujuh hari terakhir pada bulan Ramadan, kabar tidak mengenakkan datang Pemerintah Kabupaten Garut yang melakukan tindakan inkonstitusional dengan menutup masjid di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut pada 6 Mei 2021.

Peristiwa itu bermula pada tanggal 25 April sekelompok orang yang bukan warga Nyalindung mendatangi lokasi masjid yang sedang dibangun oleh Jemaah Ahmadiyah (Pikiran Rakyat). Mereka meminta agar pembangunan tersebut dihentikan. Selanjutnya, pada tanggal 29 tanggal 6 Mei pemerintah daerah dengan semena-mena menutup masjid tersebut.

Dalam persoalan ini, aparat pemerintah justru yang harus mempertanggungjawabkan terhadap kebijakan yang dilakukan kepada kelompok Ahmadiyah. Bahwa dalam persoalan ini mengganggu ekspresi keberagamaan seseorang. Lantas dengan persoalan teologi yang bertentangan dengan Islam mayoritas Muslim lainnya. Dua ranah yang berbeda yang harus dipahami dan sikap yang paling penting menghargai keberagamaan orang lain.

Kelompok Ahmadiyah selalu menerima perlakuan kurang baik dari beberapa oknum. Bahkan di telinga kita, mendengar kata “Ahmadiyah” saja seperti mengernyitkan dahi. Lalu sikap tersebut berdampak pada perilaku yang kerap kali tidak mengenakkan.

Persoalannya tidak hanya pada keterbukaan mindset untuk menerima kelompok Ahmadiyah bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki kebebasan untuk memeluk agama. Akan tetapi penolakan secara final bahwa kelompok Ahmadiyah sesat, menyimpang dari ajaran Islam, justru hal itu yang membuat nalar kita berfikir bahwa kelompok Ahmadiyah sah-sah saja ketika diperlakukan tidak baik, diusir dari tanah kelahirannya.

Padahal seharusnya pola pikir yang terbangun berdasar pada konsesus dalam pada 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Konsep Teologi Ahmadiyah

Pertentangan dalam konsep teologi tentu sering terjadi. Jika menilik pada ajaran-ajaran yang lain, seperti misalnya Kristen. Kita memahami bahwa Yesus (red:Nabi Isa) bagi umat Muslim adalah utusan Allah, tidak lebih daripada itu, bahkan menjadi kafir hukumnya apabila ada seorang Muslim mengatakan bahwa Nabi Isa adalah Tuhan.

BACA JUGA  Perceraian: Jalan Terbaik Perempuan Keluar dari Lingkaran Setan Terorisme

Berbeda dengan konsep teologi umat Kristen, yang menganggap bahwa Yesus adalah adalah Tuhan. Kedua agama ini justru memiliki konsep teologi berbeda. Lalu, apakah kita sebagai umat Muslim akan menghukumi kafir? Secara konsep teologi Islam, maka orang yang tidak percaya kepada Allah adalah kafir.

Mungkin contoh diatas terlalu melebar, sebab keduanya adalah agama yang berbeda. Sedangkan pada konsep teologi Ahmadiyah jika dibandingkan dengan NU, Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya, secara teologi mereka bertuhan kepada Allah Swt.

Namun, secara praktik kelompok Ahmadiyah memposisikan Mirza Ghulam sebagai nabi. Pada posisi inilah yang menjadikan Ahmadiyah kontroversial. Secara internal masyarakat Muslim yang memiliki keyakinan utuh terhadap rukun Islam, rukun Iman, tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad Saw. Membuat posisi kelompok Ahmadiyah ditolak secara massal oleh masyarakat Muslim di Indonesia.

Apalagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah pada tahun 1980 yang kemudian diperkuat dengan fatwa lagi pada tahun 2005 ,yang berisi bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat, menyesatkan dan sudah keluar dari Islam.

Kesesatan yang ada pada kelompok Ahmadiyah sebab konsep teologi yang berbeda tidaklah menjadi alasan yang dibenarkan untuk mengambil hak dan kebebasan sekelompok masyarakat dalam menjalankan ibadah menurut keyakinannya itu.

Tidak bisa dibenarkan dalam persoalan relasi sosial untuk menghukum, menghancurkan rumah para kelompok Ahmadiyah, mengambil hak kehidupan yang melekat pada dirinya dengan alasan sesat pada ajaran yang diyakininya. Sebab persoalan konsep teologi, terletak pada keyakinan yang ada pada dirinya dalam memaknai Islam.

Konsep kemanusiaan harusnya tetap dijalankan kepada seseorang tanpa melihat agama dan keyakinan. Setiap orang berhak hidup dengan agama dan kepercayaannya, tanpa dibatasi pemikirannya, tanpa dipaksa keyakinannya. Selagi ia tidak menciderai hak orang lain dalam menjalankan kehidupan. Maka kita juga tidak berhak menciderai hak hidupnya hanya karena alasan agama yang diyakini. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru