26.1 C
Jakarta

Agnes Mo dan Nasionalisme

Artikel Trending

Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah viralnya pernyataan Agnes Mo dengan frase “tak berdarah Indonesia” yang disampaikan dalam wawancara dengan media Amerika Serikat, viral pula Reuni 212 yang baru terselenggara kemarin di Monas Jakarta pada 2 Desember 2019. Viralnya sebuah berita biasanya karena beberapa hal. Salah satunya, kesan sebuah berita yang cenderung negatif dan nyentrik seakan dapat mengusik ketenangan dan memporak-porandakan kemapanan.

Kecaman sebagian orang Indonesia bahwa Agnes tidak nasionalis seakan seperti sebuah pepatah “Kacang lupa kulitnya” merupakan sesuatu yang cenderung berlebihan. Sikap berlebihan ini biasanya menyentuh orang yang picik pikirannya. Orang picik biasanya terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan tanpa membaca dan memahami secara hati-hati apa yang dimaksud oleh sang penutur/penulis. Sikap picik ini sesungguhnya telah menyentuh sekian masyarakat Indonesia yang malas baca, cukup memperhatikan judulnya saja dan malas mendengarkan secara utuh, cukup mendengarkan secara parsial.

Lebih dari itu, sikap picik ini semakin terlihat sesaat setelah Agnes mengklarifikasi pernyataannya di kanal YouTube Deddy Corbuzier. Agnes menyampaikan, bahwa semua orang sudah tahu dirinya orang Indonesia, bahkan orang luar negeri lebih mengenal Agnes orang Indonesia, sehingga sering ditanya perkembangan Indonesia. Melihat pertanyaan orang luar negeri, Agnes merasa bangga menjadi bagian dari Indonesia. Tidak pernah Agnes menutupi sedikitpun. Saking bangganya dengan Indonesia, Agnes lebih memilih tidak menggunakan bahasa Indonesia untuk mengumpat, karena menjaga kehormatan bahasa nasional ini. Masihkah Agnes disebut tidak nasionalis?

Menjadi nasionalis, sebut Agnes, tidak harus digembar-gemborkan dalam bentuk ucapan. Agnes lebih memilih mengekspresikan sikap nasionalis ini dalam bentuk prilaku yang baik, tidak merusak kehormatan Indonesia, bahkan mampu membawa image Indonesia ke ranah internasional melalui karya-karya Agnes yang sudah diakui oleh belahan dunia. Sungguh sangat keliru tudingan bahwa Agnes tidak nasionalis. Agnes kemudian menegaskan tafsir pernyataan “tidak berdarah Indonesia” lebih mengacu pada faktor genetik. Memang benar, Agnes bukan keturunan Indonesia, melainkan Jerman, Jepang, dan Cina. Hanya dilahirkan di Indonesia. Masihkah Agnes tidak nasionalis?

Kebanggaan terhadap Indonesia dibuktikan dengan cara Agnes melihat budaya Indonesia yang beragam, sehingga Indonesia dikenal dengan negara pluralitas, bahkan keberagaman ini juga menyentuh keyakinan yang semuanya diterima selagi masih tetap menjunjung Sila Pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menolak paham pagan dan menjunjung paham monoteistik. Agnes yang beragama Kristen merasa tenang dan betah hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia, sekalipun mayoritas masyarakatnya adalah muslim. Masihkah Agnes tidak nasionalis? Lalu, siapakah yang tidak nasionalis?

Sikap yang tidak nasionalis sederhananya dapat terlihat dari cara memperlakukan Indonesia. Tidak nasionalis sesungguhnya sikap yang tidak dibangun dari rasa cinta, sehingga tidak peduli terhadap keutuhan negara, sekalipun ia orang Indonesia sendiri. Kecintaan terhadap negara dibuktikan dengan menjaga persatuan di tengah perbedaan dan melerai perselisihan di tengah keberagaman. Selain itu, kecintaan ini diekspresikan dengan mematuhi keputusan pemerintah, sekalipun berbeda dengan keinginan pribadi. Tidak pernah mengklaim pemerintah kafir dan thaghut.

Sekilas klarifikasi Agnes yang sangat lugas dan tegas secara tidak langsung mengkritik Reuni 212 yang berlangsung kemarin. Sesungguhnya reuni ini tidak murni ibadah untuk menegakkan nilai-nilai agama yang moderat dan pluralitas. Reuni ini sesungguhnya terkesan politis. Itu semua dibuktikan dengan pernyataan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab pada saat reuni berlangsung. Ada empat hal yang disinggung oleh Habib Rizieq: Pertama, ketidakhadirannya pada Reuni 212 karena masih dicekal oleh pemerintah. Kedua, meminta seluruh umat untuk menjaga tradisi Reuni 212. Ketiga, menyinggung kasus Ahok. Keempat, penodaan agama dan penistaan agama harus diadili secara hukum.  Sekilas poin-poin tersebut malah menanamkan kebencian terhadap pemerintah, menggores luka lama terkait kasus Ahok yang dipolitisasi, memonopoli kebenaran hanya milik orang Islam, dan memporak-porandakan Bhineka Tunggal Ika yang berarti bersatu dalam keberagaman. Masihkah Reuni 212 disebut nasionalis?

BACA JUGA  Siapa Pemimpin yang Layak Dipilih Tahun 2024? Tulisan Ini Akan Menjawabnya

Mengadakan reuni memang bukanlah sesuatu yang dilarang. Reuni hendaknya dipacu dengan spirit mengobati rindu karena sudah lama tidak bertemu, membangun tali silaturrahmi yang sudah kusut, dan menjaga ikatan persaudaraan tanpa memandang status agama. Tetapi, spirit reuni yang sesungguhnya sudah tidak terasa kembali di tengah-tengah Reuni 212. Reuni 212 hanya dibatasi bagi orang-orang yang beragama Islam dan menutup diri—bila enggan berkata “mengkafirkan”—agama yang lain. Reuni 212 sudah tidak memiliki kehangatan berwarga negara. Sebab, yang membentangi Reuni 212 adalah politik yang berafiliasi terhadap FPI dan menganut paham ISIS yang membenci pemerintah dan menghancurkan NKRI dengan sistem khilafah. Masihkah Reuni 212 disebut nasionalis?

Seandainya Reuni 212 dibangun dengan spirit nasionalisme tentu tidak akan terlontar provokasi kebencian terhadap pemerintah sebagai orangtua kedua dalam membangun hidup, bahkan tidak akan menyinggung kasus Ahok yang dapat melukai hati dan menyulut amarah sebagian pihak, lebih-lebih pendukung Ahok. Kasus Ahok sudah berlalu. Tidak penting disinggung lagi. Biar sejarah yang membuktikan—meminjam istilah Gus Dur. Reuni 212 bila dipikir-pikir tidak memiliki manfaat sedikitpun. Karena, reuni ini bertentangan dengan sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”. Masihkah Reuni 212 disebut nasionalis?

Jika Agnes dengan klarifikasinya membuktikan bahwa dirinya merasa bangga dengan Indonesia, karena dibangun dengan keberagaman budaya dan sikap pluralitas, tentu ia tetap disebut nasionalis. Agnes tidak pernah membangun image negatif terhadap Indonesia, malah membanggakan Indonesia dengan segudang prestasi yang ditorehkannya. Prestasi yang membanggakan ini sedikit banyak mengkritik spirit Reuni 212 yang tidak dibangun dengan sikap nasionalisme, namun dibangun dengan kepentingan politik.[] Shallallah ala Muhammad.

 

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru