32.5 C
Jakarta

Agama dan Perubahan dalam Dunia Arab: Transformasi Ataukah Penyesuaian?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahAgama dan Perubahan dalam Dunia Arab: Transformasi Ataukah Penyesuaian?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berbicara tentang agama dan masyarakat, kita mengetahui bahwa para orientalis dan Islamis cenderung menggunakan pendekatan idealis atau statis dalam meneliti Islam, sehingga memiliki pendapat yang sama bahwa agama adalah kekuatan paling signifikan yang membentuk masyarakat Arab. Fokus perhatian mereka pada teks-teks agama dan proyeksi tatanan normatifnya, mengakibatkan tumbuhnya pemahaman bahwa masyarakat adalah produk dari agama, yaitu sebagai sebuah variabel bergantung. Berdasarkan hal itu, muncullah pengertian bahwa “masyarakat Muslim” adalah sebuah masyarakat yang diatur oleh kehendak Tuhan. Tentunya, ini menjadi proposisi para ilmuwan Islam dan Muslim yang hampir tak terbantahkan. Perspektif statis dari proposisi-proposisi tersebut diajukan oleh seorang orientalis dan seorang Islamis yang mengambil berdasarkan teks-teks keagamaan, sehingga kian menegaskan bahwa Islam adalah kekuatan pembentuk masyarakat dan bukan sebaliknya.

Jika saya lihat dari sudut pandang lain, ulama tradisional dan kaum militant fundamental juga mengambil sudut pandang statis sebagai pijakan mereka. Pemimpin Ikhwanul Muslimin – Sayyid Qutb misalnya, mengatakan bahwa “rute akhir dari jalan Tuhan adalah Islam” yang karakteristik dasarnya adalah Islam tidak akan pernah melupakan, kapan pun dan di mana pun, kondisi alamiah manusia dan keterbatasan kemampuannya.

Salah satu persoalan perennial dalam sosiologi adalah apakah agama merupakan produk dari, penghalang bagi, ataukah agen utama perubahan? Jika dilihat dari sudut pandang Marxis melihat agama sebagai manifestasi atau fungsi kepentingan kelompok atau kelas tertentu. Dari perspektif ini, C. Wright Mills mengatakan bahwa ketika gagasan-gagasan keagamaan tidak bisa memperoleh afinitas dengan kepentingan-kepentingan anggota tertentu dalam strata khusus, maka gagasan tersebut akan disingkirkan. Namun, bagaimana pun juga, literature-literatur mainstream mengatakan bahwa agama hadir dalam sejarah sebagai sebuah dunia yang melestarikan atau sebagai sebuah kekuatan pengguncang.

Pada awalnya, mungkin saja agama adalah kekuatan revolusioner yang mampu menghancurkan tatanan lama dan menggantinya dengan tatanan baru. Seperti yang kita tahu, pada masa awal pembentukan, Islam sendiri menghadirkan revolusi semacam itu dan berhasil mengubah tanah Arab dari masyarakat kesukuan menjadi satu kesatuan ummah. Namun, tiga puluh tahun kemudian, setelah para khalifah berkuasa, negara baru ini mulai memanipulasi agama dan suku demi mewujudkan tujuan-tujuannya. Inilah gejala yang disebut oleh Adonis sebagai kultur statis (Tsabit), yang naik menjadi paham utama dengan mengorbankan kultur dinamis (mutahawwil).

Pemikiran-pemikiran politik dan religius berupaya melegitimasi tatanan dan merekonsiliasi agama juga filsafat. Menurut saya, bertahannya kultur ini dibarengi dengan kemapanan khalifah, bertanggung jawab terhadap pemosisian kreativitas sebagai bidah, serta ketidaksetujuan dan oposisi sebagai kekacauan sosial. Sebetulnya, akan sangat keliru ketika kita menganggap bahwa kreativitas dan oposisi terhadap pemerintah adalah sesuatu yang asing bagi pemikiran Islam. Perseteruan antara kekuatan statis dan dinamis selalu terjadi di sepanjang sejarah Arab, baik pada masa pertengahan maupun modern yang terwujud dalam berbagai macam bentuk dan orientasi. Tentunya, inilah hasil alamiah dari berbagai perselisihan dan konflik kepentingan yang tidak berujung dan menemukan titik terangnya. Sesuatu dalam diskursus Arab kontemporer disebut sebagai pergulatan kultural dan intelektual, serta perseteruan antara yang lama dan baru, atau tradisi dan modernitas yang semakin memperoleh momentumnya karena terjadinya bermacam perkembangan.

Menurut Ernest Gellner, di kota-kota besar Arab, Gellner dapat melihat adanya monoteisme yang ketat, skriptural, dan sangat taat pada tradisi. Sebaliknya, kaum Muslim di kawasan pedesaan cenderung menguatkan diri pada simbol-simbol dan praktik mistik. Namun, dalam satu kesempatan yang sama, Gellner memalingkan diri pada para orientalis dengan membedakan Islam, Kristianitas, Judaisme, dan agama-agama lain tanpa mempertimbangkan bahwa masing-masing agama ini hidup dalam masyarakat yang berbeda. Dibandingkan dengan agama lain, dia berpendapat bahwa Islam lebih tampak sebagai sebuah cetak biru mengenai tatanan sosial, memiliki dimensi yang lebih lengkap, dan memiliki eksistensi yang independen dalam jejak skriptural.

Alih-alih memandang agama sebagai sebuah kekuatan independen yang membentuk masyarakat Arab dan komunitas-komunitas lain di kawasan Timur Tengah, sehingga memunculkan perilaku religius aktual dan beragam tafsir tentang Islam yang muncul dalam situasi dan kondisi tertentu. Agama akan diselidiki sebagai sebuah fenomena sosial, karena kita akan bisa lebih memahami fenomena-fenomena semacam itu dengan memfokuskan diri pada para pemeluknya, terhadap sikap dan konsepsi mereka, peran dan praktik yang mereka ambil, ritual-ritual dan simbol-simbol yang didesain untuk mengekspresikan kepercayaan dan kepercayaan yang berlawanan dengan mereka.

Selain itu, kita juga harus bisa mengamati institusi-institusi dan gerakan-gerakan keagamaan yang muncul di tengah konfrontasi yang terus terjadi dalam masyarakat Arab kontemporer. Ketika hal itu dikontekstualisasikan dengan cara ini, kita akan bisa melihat bahwa agama juga bereaksi terhadap masyarakat dan menjadi bagian integral dari identitas dan orientasi-orientasinya.  Dalam hal ini, Islam tidaklah berbeda dengan agama-agama lain, kecuali dalam tingkat tertentu – di mana kondisi sosial dan ekonomi dalam alur historis tertentu memungkinkan terjadinya pembedaan semacam itu. Lebih jauh lagi, Islam merupakan agama yang sama dinamisnya dengan agama-agama besar lainnya, juga mengalami perubahan secara konstan, merefleksikan pengaruh kekuatan-kekuatan lain.

Apakah gerakan keagamaan bisa menjadi gerakan revolusioner?

Kaum reformis agama selalu berpikir bahwa mereka harus memerangi lembaga keagamaan, jika ingin mengobati penyakit yang menimpa dunia Muslim. Mereka juga menyerukan perdamaian antara tradisi dan modernitas dengan cara mengadaptasikan agama dengan tantangan-tantangan baru, termasuk tantangan ilmiah dan teknologi. Kaum reformis agama ini berseru untuk kembali kepada sumber-sumber Islam. Hal ini tentunya dilatarbelakangi karena mereka menggunakan pendekatan ahistoris dan beranggapan bahwa nilai-nilai lama ini bisa diaplikasikan pada persoalan-persoalan baru, tanpa memedulikan perbedaan besar antara realitas sosial dan politik masa lalu, juga masa kini. Akibatnya, gerakan keagamaan, baik yang berambisi untuk meraih kekuasaan maupun yang hanya ingin memainkan peran sebagai instigator mengangankan adanya aplikasi syariah secara sempit.

Oleh karena itulah timbul persoalan, dapatkah gerakan keagamaan berubah menjadi gerakan revolusioner? Mari kita kembali kepada makna revousioner itu sendiri. Biasanya, kita mendefinisikan gerakan revolusioner itu sebagai gerakan penyelamatan yang secara teori dan praktik mampu mengubah masyarakat, mengganti tatanan dominan dengan tatanan yang baru. Sedangkan, dalam konteks masyarakat Arab, hal ini akan melibatkan transformasi komprehensif untuk mengakhiri ketertinggalan, dependensi, perbedaan kelas, otoritarianisme, dan alienasi. Mari kita lihat sisi positifnya, yaitu langkah ini sama saja dengan membangun sebuah masyarakat baru di atas prinsip-prinsip demokratis dan mampu menentukan nasibnya sendiri.

Namun, saya ingin menyatakan bahwa perkembangan historis saat ini menunjukkan gerakan keagamaan tidak bisa berubah menjadi gerakan revolusioner atau transformative. Tentu saja ada kendala utama yang menghalangi terwujudnya potensi tersebut, yaitu kecenderungan alienasi yang ada dalam agama. Menurut saya, hal ini justru semakin menjerumuskan umat Bergama dalam kelemahan dan ketidakberdayaan, agama diubah menjadi kekuatan yang tidak bisa dilepaskan dari sistem ciptaan para pemegang kekuasaan. Realitas yang kita hadapi sekarang ini adalah realitas negara-bangsa, bukan pemeluk agama yang tersebar dalam komunitas-komunitas yang berbeda dan saling berjauhan. Kurangnya kongruensi antara dua model organisasi sosial dan politik ini yang membuat agama menjadi sebuah kekuatan yang menyebabkan alienasi, bukan kekuatan yang membebaskan. Kita semua tahu bahwa dalam konteks kehidupan kontemporer, satu hal yang tidak dimiliki agama, yaitu visi dan program masa depan.

Anna Zakiyyah Derajat, Penulis buku “Lelaki dan Seribu Puisi di Tubuhnya dan mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Instagram: @annazakiyyahderajat

 

 

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru