28 C
Jakarta

Agama, Corona, dan Rumor Radikal di Kampung (2/2)

Artikel Trending

Milenial IslamAgama, Corona, dan Rumor Radikal di Kampung (2/2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saat tulisan ini dibuat, untuk melanjutkan seri sebelumnya, saya perlu menegaskan, sebagai catatan penting, bahwa di kampung, masyarakat meyakini: Corona tidak akan masuk ke tengah-tengah mereka. Rumor radikal yang saya maksud adalah sebatas representasi perilaku kolektif. Bagi mereka, apa yang dilakukan atau diucapkannya jelas tidak radikal. Mindset-lah yang membentuk perilakunya.

Sehari sebelumnya, saya menghadiri tahlil, kepada tetangga yang baru saja meninggal dunia. Sebagaimana anjuran pemerintah bahwa berkerumunan adalah aktivitas yang dilarang, penggunaan speaker tahlil juga diurungkan. Bacaan pemimpin tahlil pun tidak terdengar, sehingga tahlil tidak kompak, tidak kondusif. Seorang sepuh, di antara keramaian, kemudian berujar begini:

Duapa ma’ tako’ ka ènga’ jiya, ta’ la lambâ’. Sè sala rèya mun ngico’, mun ngala’ binina orèng. Mun ghun nga’ rèya ta’ sala. Lagghu’ ngangghuy”  (Buat apa takut dengan hal seperti ini (wabah Corona). Yang salah itu kalau mencuri, kalau merebut istri orang. Kalau hanya seperti ini (tahlil/kegiatan keagamaan) jelas tidak salah. Besok pakai speaker).

Ketidakpercayaan terhadap Corona di satu sisi, karena wabah tha’un bukan lagi kasus baru, dan ketidakpercayaan terhadap kebijakan-imbauan pemerintah di sisi lainnya, adalah perpaduan kompleks dari radikalisasi Corona di kampung. Tetapi di sini kita melihat, kadar radikalnya kecil sekali. Tidak memberontak karena memang tidak punya akses, namun tidak pernah percaya.

Lalu jika ditarik ke tataran esensial, semua tindakan radikalisme diawali oleh perasaan tidak percaya. Tidak percaya pemerintah, juga semua kebijakannya. Di tengah pandemi Corona, ketidakpercayaan tersebut mewujud pembangkangan terhadap kebijakan yang pemerintah buat. Jelas tidak seekstrem narasi khilafah, tetapi bukan mustahil akhirnya juga menyuarakan narasi yang mendegradasi persatuan.

Mindset Radikal

Dalam buku Kritik Ideologi Radikal, dikatakan bahwa track record radikalisme dimulai dari sesuatu yang kecil: ketidakpercayaan. Lambat laun, ia semakin kuat hingga basis pergerakannya pun berubah: ingin mengubah keadaan. Perubahan yang diinginkan jelas tidak benar-benar murni, tetapi dikuasai oleh narasi palsu pemurnian agama. Puritanisme adalah hierarki selanjutnya.

Dengan kata lain, mindset radikal adalah pangkal dari sikap kemudian tindakan, yang kesemuanya bersifat dinamis. Ia merupakan akumulasi kekecewaan yang menginginkan perubahan secara konkret. Masyarakat dari awal sudah di-setting rasa tidak percaya dengan Jokowi. Di kampung, ia distigmatisasi sebagai musuh Islam. Pandangan ini, di kampung, bukan rahasia lagi.

Imbasnya ketika Corona datang, ia dianggap tidak lebih sebagai taktik pemerintah dalam membatasi ruang gerak Islam. Seberapa pun rasionalisasi dilakukan, tidak akan menjur. Masyarakat di kampung bukan tidak membaca pemberitaan media tentang Corona di dunia. Tetapi karena perilaku mereka dipengaruhi mindset radikal, yang irasional pun menjadi pegangan yang meyakinkan.

Saya tidak mengatakan, yang menentang pemerintah harus dicap sebagai radikal. Tidak demikian. Orientasi radikalisme lebih luas dari itu. Yang hendak disampaikan di sini ialah dinamika radikalisme itu sendiri. Dalam tataran yang paling rendah, ia hanya rumor lucu. Tetapi jika ketidakpercayaan terus dipupuk, playing victim seolah Islam sedang ditindas, klimaksnya bukan sekadar rumor lagi.

BACA JUGA  Kemajuan Bangsa-Negara Tidak Lahir dari Sistem Khilafah

Corona bukanlah kunci dalam pembahasan ini. Kuncinya adalah ‘benih-benih radikal yang ada di masyarakat’, atau bagaimana ‘ruang gerak masyarakat diprovokasi untuk radikal’. Rumor tetaplah rumor, tetapi radikal juga selamanya radikal. Narasi buruk, tuduh-menuduh, kebencian, dan sejenisnya tidak boleh diberi ruang, lebih-lebih di tengah musibah Corona.

Sungguhpun demikian, rumor lucu nan radikal yang ada di masyarakat kampung adalah produk. Artinya, ia tak eksis dan bergerak sendiri. Ada yang menggerakkan. Ada yang membentuk opini khalayak, membangun mindset mereka. Tidak perlu diterangkan siapa pelakunya, yang jelas kalau bukan orang berpengaruh tidak akan bisa mengontrol perilaku mereka.

Produk Indoktrinasi

Pada akhirnya kita mesti berkonklusi; semua adalah produk indoktrinasi. Acara-acara keagamaan hari ini banyaak membahas Corona, mengulasnya dari berbagai aspek dan spekulasi. Entah karena memahami karakter masyarakat atau memang menyebarkan mindset-nya sendiri, semacam ada gerakan untuk meneguhkan spirit keagamaan di tengah Corona.

Sayangnya, spirit keagamaan yang dimaksud seringkali berfokus kepada menciptakan kebaikan (jalb al-mashalih), dan mengabaikan aspek menolak kerusakan (dar’u al-mafasid). Mengabaikan imbauan pemerintah dianggap sesuatu yang dianjurkan, sekalipun itu untuk kemaslahatan bersama. Tidak berhenti di situ, tuduhan-tuduhan buruk juga diarahkan kepada pemangku kebijakan.

Agama dan Corona menjadi topik yang saling tarik-menarik, berkembang di masyarakat dengan bumbu rumor-rumor lucu yang sebenarnya radikal. Saya menyadari, di kampung, Corona memang seperti tidak ada, karena belum ada kasus signifikan sebagaimana di ibukota. Perasaan saya pun tidak segelisah di perantauan, di mana kegiatan keagamaan yang melibatkan perkumpulan memang menjadi kegiatan yang mengkhawatirkan.

Di kampung, tidak ada shaf renggang, tidak ada tahlilan dilarang, apalagi Jum’atan diliburkan. Juga tidak bisa sekali-kali meminta masyarakat untuk melakukan hal tersebut, atau akan dianggap bermaksud melemahkan Islam. Kegiatan keagamaan berjalan sebagaimana biasa, tidak ada bedanya dengan masa sebelum Corona.

Lalu, kenapa rumor radikal menemukan tempat di perkampungan? Jawabannya adalah karena tiadanya kasus tadi. Oleh tokoh yang suaranya dijadikan panutan masyarakat, mereka dibawa kepada suatu keadaan merasa “tangguh terhadap Corona dan mengkonter pelemahan Islam”. Maka tidak keliru jika dikatakan, indoktrinasi telah mengontrol keadaan.

Masyarakat di kampung, secara keagamaan, bersifat dituntun, dituntun oleh otoritas keagamaan setempat. Otoritas tersebut yang kemudian dimanfaatkan para punggawa radikalisme yang bergerak di bawah tanah. Sekali lagi, masyarakat tidak akan merasa radikal, dan tidak akan terima dicap radikal. Kendati perilaku dan narasi mereka mengarah kepada radikalisme.

Agama, Corona, dan rumor radikal di kampung adalah potret keagamaan yang puritan dan lanskap radikalisme dalam tataran paling rendah. Masyarakat yang menjalani. Saya hanya berusaha mengamati. Agama dan Corona tidak boleh diradikalisasi.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru