27.3 C
Jakarta

Adakah Redaksi Khusus Niat Puasa Ramadhan?

Artikel Trending

Asas-asas IslamIbadahAdakah Redaksi Khusus Niat Puasa Ramadhan?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kedudukan niat dalam ibadah menjadi pondasi dan pilar utama bangunan sebuah ibadah. Bila pondasi dan pilar ini tidak sesuai peruntukkannya maka konstruksi ibadah tak dapat terwujud. Niat juga menjadi wadah penghubung antara hamba dengan Allah swt. Niatlah yang membuka hijab pengabdian hamba kepada Allah.

Selain itu, niat juga menjadi tolok ukur kualitas dan legalitas suatu ibadah. Niat merupakan integrasi keislaman seseorang dengan kedewasaannya dalam memahami hal ihwal ibadah. Sehingga dari situlah ulama mensyaratkan sahnya suatu ibadah ketika seseorang itu Islam, tamyiz; dapat membedakan baik-buruk suatu perbuatan, mengerti apa yang diniatkan serta tidak melakukan kegiatan yang kontra produktif yang membuat niat itu jadi batal.

Dalam kitab Al-Waafi fii syarh al-Arbain al-Nawaawi susunan Mushtafa al-Bughaa halaman 12 saat mengomentari hadis Innamal a’maalu binniyat, Imam Abu Daud mengatakan bahwa hadis tentang niat itu seperdua dari agama. Dimensi agama lanjut Imam Abu Daud, ada dua; dimensi zahir dan dimensi batin, dimensi zahir seperdua dan dimensi batin dalam hal ini niat juga seperdua.

Sedang Imam Syafi’i dan imam Ahmad menyebutnya sebagai sepertiga dari ilmu. Begitulah pentingnya kedudukan niat dalam Islam. Dia adalah pokok dan substansi agama hingga Ibnu Mahdi menganjurkan agar hadis tentang niat ini dijadikan sebagai penghulu bab dalam setiap kitab. (Al-Ibadah fil Islam oleh Yusuf Al-Qardawi h.169)

DEFINISI NIAT

Niat secara etimologi adalah al-qashdu ( القـصد ) dan al-‘azam )  العـزم ) yaitu maksud dan keinginan yang kuat. Sedang niat secara terminologi menurut Al-Sayuthi adalah  الارادة المتـوجهة نحـو الفعـل لابـتغاء رضاالله تعالي وا متثـال حكـمه ialah suatu perbuatan dalam rangka memperoleh rida Allah dan melaksanakan hukum-Nya.

Sementara niat dalam Lisanul ‘Arab diartikan sebagai orang yang bertekad bulat dan berketetapan hati untuk mengarah pada sesuatu.

Dalam ilmu fikih niat selalu ditempatkan sebagai rukun pertama dari semua ibadah mahdhah maupun gairu mahdhah. Hingga Ibnu Nujaim al-Hanafi dalam kitabnya Al-Asybah wan-Nadzair menambahkan satu kaidah fikih utama yaitu لاثـواب الابالـنيـات tidak ada pahala tanpa disertai niat.

FUNGSI NIAT

Adapun fungsi niat diantaranya adalah; Pertama, sebagai pembeda antara ibadah dengan kebiasaan. Seseorang yang punya kebiasaan membaca koran, tanpa niat pun tak jadi masalah. Membaca koran diniatkan atau tidak diniatkan agar dapat informasi maka yang didapat tetap informasi. Berbeda dengan ibadah salat, kalau diniatkan karena Allah semata-mata maka akan berdampak pada pahala yang akan diberikan oleh Allah, tapi jika diniatkan selain Allah, maka salat itu menjadi perbuatan sia-sia tak ada dampaknya bagi yang melakukan dan Allah pun juga tak berhak atas pelaksanaan salat itu.

Fungsi kedua niat ialah sebagai pembeda tujuan dan maksud yang diharapkan. Jika seseorang berpuasa dengan niat diet agar mendapatkan tubuh yang ideal, maka tidak ada hak Allah terhadap orang yang berpuasa itu untuk diberi pahala. Namun jika ia berpuasa hanya mengharap rida Allah semata, maka Allah pun akan memberikan pahala sesuai kehendak-Nya.

Ketiga, niat berfungsi sebagai syarat diterimanya ibadah. Sebuah ibadah tanpa diniatkan karena Allah, maka ibadahnya tidak diterima oleh Allah swt.

Keempat, sebagai syarat mendapatkan pahala. Ibadah hanya akan mendapatkan pahala jika diniatkan karena Allah swt semata.

SYARAT SAH REDAKSI NIAT PUASA RAMADHAN

Dalam melaksanakan ibadah khususnya puasa di bulan Ramadhan ini maka perlu memperhatikan syarat sahnya redaksi niat puasa.

Uraian syarat-syarat sahnya redaksi niat puasa Ramadhan ini banyak mengutip dari kitab Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini Al-Dimasyqi al-Syafi’i. Kitab fikih yang sangat tersohor di kalangan pesantren di Tanah Air ini akrab juga dinamai Kifayatul Akhyar saja. Ia merupakan syarah dari kitab Ghayah al-Taqrib  atau terkenal dengan Matn Abu Syuja’ sebuah kitab yang ringkas, yang disusun oleh al-Qadhi Abu Syuja’, Ahmad bin al-Hasan bin Ahmad al-Ashbahani (434-500H). Sebutan al-Hishni kepada Syekh Taqiyuddin adalah nisbat kepada daerah asalnya “Hishni”, sebuah wilayah di desa Hauran, Damaskus.

Taqiyuddin merupakan gelar keilmuan Syaikh al-Hishni karena kepakarannya dalam fikih madzhab Syafi’i.

Uraian syarat-syarat sahnya redaksi niat puasa Ramadhan ini dielaborasi dan direkonstruksi dari bab salat dan bab puasa.

Syarat Sah Redaksi Niat Puasa

Adapun syarat sahnya redaksi niat puasa itu sebagai berikut:

Pertama, Al-Qashdu dan Al-‘Azmu ( القـصد والعـزم ). Syarat sah redaksi niat puasa mestilah diungkapkan dengan tujuan yang jelas. Di syarat pertama ini biasa digunakan redaksi ‘nawaitu’ (نـويـت ), menyengaja untuk melaksanakan sesuatu. Nawaitu itu sebagai redaksi al-qashdu dan al-‘azmu yang menegaskan bahwa memang seseorang itu akan melaksanakan puasa.

Kedua, al-Jazimah ( الجـازمة ). Syarat kedua ini merupakan ketegasan dari seseorang bahwa dia akan puasa besoknya karena sudah jelasnya waktu masuknya bulan Ramadhan. Syarat kedua ini biasa menggunakan redaksi ‘shauma gadin’ (صوم غـد ), yaitu akan puasa besok. Penggunaan kata gadin untuk menegaskan bahwa besok itu memang sudah merupakan hari pertama puasa, bukan lusa atau besok lusanya lagi.

Ketiga, tamyiz ( التـميـيز ). Redaksi Ada’an atau qada’an untuk membedakan bahwa puasa ini tunai (adaan) ataukah pengganti dari puasa yang tertinggal (qadaan). Syarat ketiga ini untuk membedakan puasa yang seseorang akan laksanakan apakah tunai atau pengganti. Namun khusus puasa Ramadhan secara umum dipakai ada’an (tunai), karena tidak boleh berniat qada’an (pengganti)  di bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan berarti puasa sepanjang hari selama bulan Ramadhan. Tidaklah dikatakan puasa Ramadhan kalau hanya 10 hari, selebihnya yang 20 hari dipakai untuk puasa qada’an. Untuk syarat ketiga ini redaksi yang biasa dipakai yaitu ‘an adaain’ (عـن اداء )’’ yang berarti puasa tunai (bukan qadaan).

BACA JUGA  Tiga Keutamaan Berbagi Takjil Saat Bulan Ramadhan

Syarat keempat, ta’arrudh (التـعـرض ). Pada syarat ini ditegaskan puasa yang akan dilaksanakan apakah fardhu atau sunnat. Al-Ta’arrudh untuk membedakan secara nyata bahwa puasa Ramadhan ini adalah fardhu ‘ain yaitu wajib ditunaikan setiap individu muslim dan muslimah yang telah memenuhi syarat. Untuk syarat yang keempat ini redaksi yang biasa digunakan adalah fardhu (فـرض )

Syarat kelima, ta’yin (  التـعـيـيـن). Syarat yang kelima ini maksudnya bahwa puasa itu mesti ditegaskan puasa apa yang akan dilaksanakan. Di dalam Islam hanya ada dua macam puasa; puasa wajib dan sunnah. Puasa wajib pun terbagi empat yaitu ada puasa Ramadhan, qadha Ramadhan, nadzar, dan kaffarat. Begitu pula puasa sunnat bermacam-macam juga; ada puasa Syawal, Senin-Kamis, Ayyamul biedh, tarwiyah, Arafah, Nisfu Sya’ban, dan puasa Daud. Begitu bermacam-macamnya puasa sehingga niat puasa itu harus dipertegas puasa apa yang akan dilaksanakan. Bahkan ada sebagian orang berpuasa dengan niat selain Allah, seumpana dia berniat puasa untuk mendapatkan ilmu sakti. Oleh karena itu Ta’yin ini dipakai untuk menegaskan bahwa puasa wajib yang akan dilaksanakan besok itu adalah puasa Ramadhan, bukan puasa wajib yang lain. Biasanya redaksi yang dipakai adalah syahru ramadhana haadziis sanati lillahi ta’ala ( شهر رمضان هـذه السـنة لله تعالي ).

Syarat keenam, tabyiit ( التـبـيـيـت). Yaitu niat puasa harus dikukuhkan setiap malam sebelum masuk waktu fajar (subuh). Pada syarat keenam inilah sehingga petugas salat tarwih atau imam tarwih biasa mengingatkan jamaah setiap malamnya dengan ungkapan “mari berniat berpuasa besok bulan Ramadhan karena Allah semata”. Dalam kitab hadis Bulugul Maram karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolany melansir sabda Nabi Muhammad saw;

وَعَـنْ حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيـنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَـلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّـمَ قَـالَ : { مَنْ لَمْ يُبَـيِّتْ الصِّيَامَ قَبـْلَ الْفَجْـرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ .رَوَاهُ الْخَمْسَةُ

Dari Hafshoh Ummul Mukminin bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” Hadits ini dikeluarkan oleh lima ahli hadis yaitu Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah.

Imam Ad Daruquthni bahkan meriwayatkan dengan teks yang lebih tegas yaitu;

لَا صِيَامَ لِمَنْ لَـمْ يَفْـرِضْهُ مِنْ اللَّيـْلِ

“Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat ketika malam hari.”

Paling lambat niat itu diungkapkan sebelum masuk waktu fajar. Atau kalau di Indonesia dikenal dengan istilah sebelum masuk waktu imsak (waktu mulai berpantang dari segala yang dapat membatalkan puasa).

Hadis di atas juga menegaskan bahwa jika seseorang berniat puasa Ramadhan di saat waktu fajar sudah masuk, maka puasanya tidak sah. Pengukuhan ini sangatlah penting untuk menegaskan bahwa puasa Ramadhan besok itu yang seseorang akan laksanakan yang belum tentu bisa dan mampu dilaksanakan pada hari-hari berikutnya, sehingga harus diniatkan setiap malam.

Dengan demikian syarat sah redaski yang utuh niat puasa Ramadhan sebagai berikut;

نـويـت صوم غـد عـن اداء فـرض شهر رمضان هـذه السـنة لله تعالي

“Saya berniat berpuasa besok untuk menunaikan puasa fardhu bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala semata”.

Para ulama pasca Syekh Taqiyuddin mengamini redaksi niat puasa Ramadhan seperti di atas. Bahkan Syekh Zainuddin al-Malibari pengarang kitab Irsyadul ‘Ibad yang hidup seratus tahun kemudian menilai bahwa redaksi seperti itulah yang akmal (paling sempurna).

Kendatipun demikian, sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa melafalkan redaksi niat puasa Ramadhan seperti di atas tidaklah menjadi syarat sahnya puasa. Karena pusat posisi niat sejatinya ada di dalam hati bukan di lisan. Tetapi, kalaupun di dalam hati, tetaplah redaksi yang utuh seperti di atas yang dibatinkan.

Sekali lagi, ulama menyarankan dalam rangka untuk kehati-hatian dan demi menegaskan niat dan tekad berpuasa Ramadhan, maka jauh lebih baik jika dilafalkan sekaligus juga dibatinkan.

Wallahu a’lam bissawaab.

Husain Alfulmasi, Dosen STAIN Majene, Sulawesi Barat

Referensi:

  1. Al-Sayūthī, ‘Abd al-Rahmān bin Abī Bakr. Al-Asybah wa al-Nazha’ir fi  al-Furū’. Beirut: Dār al-Fikr; 1995.
  2. Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini Al-Dimasyqi al-syafi’i. Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar.Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra, Semarang, t.th.
  3. Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Dar al-Hadits: Al-Qahirah; t.th.
  4. Zaenal ‘Abidin bin Ibrahin bin Ibnu Nujaem, Al-Asybah wa Nadzair; Dar al-Fikr: Dimasyqi; 1983.
  5. Imam An-Nawawi Al-Dimasyqi, Asy-Syafi’i, Riyadussalihin, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah: Beirut; 2003.
  6. Abu Ishaq Al-Syatiby, Al-Muawafaqat, Dar al-Hadits: Al-Qahirah, 2006.
  7. Abu Hamid Muhammad al-Gazali, Al-Mushtashfa fi ‘ilmi al-Ushul, Dar-al-Kutub al-‘Ilmiyah: Beirut; 1993.
  8. Zainuddin bin Abd. Aziz bin Zainuddin bin Ali Al-Ma’bari al-Malibari, Irsyad al-‘Ibad ila Sabil al-Rasyad, Cetakan Kedua, Dar-al-Kutub al-‘Ilmiyah: Beirut; 2011.
  9. Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi’i, Tanwir al-Qulub, Al-Hidayah: Surabaya; t.th.
  10. Mushtafa al-Buga, Al-Waafi fii syarh al-Arbain al-Nawaawi Al-Dimasyqi, Asy-Syafi’i, Dar- al-‘Ilmi wa al-Nur: Beirut; 2011.
  11. Yusuf al-Qaradawi, Al-‘Ibadah fi al-Islam, Maktabah Al-Wahbah: Al-Qahirah; t.th.
  12. Abu al-Fadhli Muhammad bin ‘Ali bin Hajr al-‘Asqolany, Bulugul Maram min Adillatil Ahkam, Dar-al’Ilmi: Surabaya, Indonesia.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru