33.8 C
Jakarta

Abnormalitas Normalisasi UEA-Israel (Bagian I)

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahAbnormalitas Normalisasi UEA-Israel (Bagian I)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada bagian awal buku Culture and Imperialism, Edward W. Said mengatakan “appeals to the past are among the commonest of strategies in interpretations of the present (berpaling ke masa lalu merupakan salah satu strategi paling umum untuk menafsirkan masa kini)”. Said menggambarkan masa lalu sebagai kepingan sejarah yang tidak berjarak, meskipun barangkali ia perlahan mulai menjauh dari masa kini. Oleh Said, masa lalu dibiarkan menjadi perkara yang tidak pasti. Ketidakpastian itulah yang memungkinkan dilakukannya pembacaan atas masa lalu sebagai sesuatu yang selesai sekaligus sesuatu yang masih berlanjut.

Berpijak ke masa lalu untuk menyusuri jejak-jejak peristiwa dan menyatukan kembali dalam sebuah ikatan harmoni tentu bukan hal yang mudah. Di sana kita akan menjumpai berbagai rintangan terjal dan jalan berliku. Tapi kita mesti melewatinya. Karena dari sana kita bisa mengawali perjumpaan kembali bersama rangkaian episode masa lalu dan masa kini yang kesemuanya saling terhubung dan jalin-menjalin.

Apa yang dipertontonkan oleh Uni Emirat Arab dan Israel terkait apa yang mereka sebut sebagai “Kesepakatan Abraham” pada beberapa hari lalu, adalah kepingan baru dari peristiwa yang tak lepas dari masa lalu. Kedua negara sepakat untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik dan membuka kerja sama melalui pertukaran kedutaan.

Dari pada UEA, Israel lebih memahami masa lalu mereka sebagai sebuah bangsa yang selalu rentan dan tak henti mengalami penentangan sejak awal mula mendeklarasikan diri menjadi negara, yaitu pada tahun 1948. Segala kedigdayaan yang dimiliki Israel dan dukungan penuh AS tentu tak membuatnya benar-benar aman. Oleh sebab itu, keberhasilan yang dicapai Israel dengan merangkul tetangga-tetangga Arabnya akan menjadi prestasi luar biasa, baik secara domestik—khususnya bagi tercapainya kepentingan-kepentingan politis-pragmatis PM Israel saat ini, Benjamin Netanyahu, yang pemerintahnnya telah berkali-kali mengalami krisis politik akibat dugaan korupsi—atau secara geopolitik di Timur Tengah, di mana Israel selalu membutuhkan legitimasi melalui dukungan sebanyak mungkin negara untuk menguasai Palestina seutuhnya.

Justru yang sangat aneh adalah UEA, negara yang tidak memiliki “masa lalu” dengan Israel tiba-tiba menyongsong normalisasi hubungan diplomatik. Dalam Kesepakatan Abraham ini, UEA tidak berpaling dulu ke masa lalu untuk menafsirkan apa yang seharusnya dilakukan di masa sekarang dan di masa-masa sesudahnya. Setidaknya, UEA tidak benar-benar belajar bahwa apa yang pernah dilakukan oleh beberapa negara Arab pada era sebelumnya dalam membangun berbagai kesepakatan dengan Israel, nyatanya selalu kandas di tengah jalan. Sejak awal, Israel tidak pernah benar-benar menjaga kesepakatan apapun. Dan kini, UEA malah mengulanginya kembali?

(Tidak) Belajar dari Kesepakatan Sebelumnya

Meskipun tidak sepenuhnya mengejutkan, normalisasi hubungan diplomatik antara UEA dan Israel jelas sangat bermasalah. Bukan karena hal ini berhubungan dengan masa depan Palestina, tetapi menjadi terlalu “unik” karena UEA adalah satu-satunya negara Arab yang menormalisasi hubungan dengan Israel sementara ia tidak memiliki batas-batas teritorial dan juga tidak memiliki sejarah kelam peperangan dengan Israel. Artinya, UEA tidak memiliki masalah berupa kontak langsung, baik secara geografis ataupun kontak militer. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar, apa yang sedang dipertaruhkan oleh UEA di meja perundingan untuk ikut dalam irama “permainan” Israel? Di sinilah kita bisa membaca sisi abnormalitas di balik upaya normalisasi.

Hingga kini, UEA adalah negara Arab ketiga yang melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel setelah Mesir dan Yordania. Tapi bedanya, Mesir dan Yordania memiliki batas teritorial langsung sekaligus sangat rumit dengan Israel. Dan keduanya juga pernah terlibat dalam perang habis-habisan dengan Israel. Bisa dibilang, hubungan baik mereka dengan Israel dicapai karena sebelumnya mereka pernah berdarah-darah, sementara realitas telah banyak berubah dan mereka harus melindungi kepentingan nasiolnya masing-masing dari pada sekedar mengedepankan idealisme yang barangkali secara kalkulatif sangat absuurd, terlebih dalam kondisi saat negara-negara Arab sulit untuk diharapkan bisa bersatu.

Sederet perjanjian damai telah dilakukan antara sejumlah negara Arab dengan Israel. Mulai dari Camp David 1978, yang dimotori oleh presiden AS ke-39, Jimmy Carter di Washington yang kemudian melahirkan Perjanjian Damai Mesir-Israel 1979, lalu Perjanjian Oslo 1993 (Palestina-Israel) hingga Perjanjian Yordania-Israel 1994. Dalam setiap perjanjian damai tersebut selalu mencerminkan harapan penyelesaian konflik sekaligus rasa frustrasi yang mendalam. Karena pada akhirnya, semua perjanjian damai yang digulirkan hanya perdamaian di atas kertas dan di meja perundingan. Selebihnya, akhir dari “perdamaian” tersebut lebih banyak menyasar tumbal dan perpecahan baru. 

Dalam buku Kharif Al-Ghadhab: Qishshah Bidayah Wa Nihayah ‘Ashr Anwar Sadat, Mohamed Hassanein Haikal menyebutkan dua peristiwa paling penting yang terjadi pada abad ke-20. Pertama, saat Neil Armstrong melakukan perjalanan bersejarah ke bulan dengan membawa harapan besar bagi pengembangan sains. Sedangkan yang kedua, saat Anwar Sadat melakukan perjalanan bersejarah ke Israel dengan membawa keyakinan besar untuk mewujudkan penyelesaian konflik Arab-Israel.

Bagi Israel, kunjungan Anwar Sadat ke Knesset (parlemen Israel) sama seperti mendaratnya Neil Armstrong di bulan. Keduanya sama-sama membawa kabar gembira dan akan selalu dikenang.  Tapi sayangnya, kunjungan Sadat ke Israel malah menjadi kuburan bagi mayatnya sendiri. Akibat kunjungan penuh berani untuk mewujudkan perdamaian Arab-Israel, Sadat dibenci bangsa Arab dan dituduh sebagai pengkhianat, meskipun di Barat ia dipuja. Akhirnya pada 6 Oktober 1981, Anwar Sadat diberondong beberapa kali tembakan pada sebuah parade militer di Kairo oleh sekelompok radikalis yang berhasil menyusup ke tubuh militer.

Tak hanya Anwar Sadat yang meninggal dalam memperjuangkan perdamaian. Yitzhak Rabin, PM Israel kelima juga meninggal pada 4 November 1995 karena dibunuh oleh aktivis dari kalangan sayap kanan yang menolak Perjanjian Oslo 1993.

Wallahua’lam…

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga. Redaktur sastraarab.com

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru