31.3 C
Jakarta

MMI dan Kedok-kedoknya

Artikel Trending

Milenial IslamMMI dan Kedok-kedoknya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mulanya, saya ingin memberi judul begini: Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Sang Dedengkot. Maksud hati, saya akan mengulas organisasi yang oleh Amerika Serikat dicap sebagai Specially Designated Global Terrorists (SDGTs) itu, mulai dari doktrin hingga geopolitiknya. Tetapi, saya pikir judul tersebut menegasikan para dedengkot yang lain. Padahal, di dunia, komunitas Muslim ekstremis-teroris, semuanya, adalah dedengkot khilafah. MMI bukanlah satu-satunya ‘sang’.

Kita, semua, atau sebagian, pasti sudah lelah dengan pembahasan mengenai HTI. “HTI sudah lama bubar, ngapain dibahas mulu. Mending bahas gimana cara bikin bangsa Indonesia maju tuh,” kata seorang warganet mengomentari tulisan bertopik HTI dan doktrin khilafahnya. Abu Bakar Baasyir, sang sesepuh teroris, juga sudah lama mendekam di penjara. MMI yang didirikannya pada tahun 2000 lalu juga ditinggal, meski di belakang, indoktrinasi terus berjalan. Dan itulah masalahnya.

Di dunia virtual, MMI mempunyai kanal YouTube, yang pengikutnya hampir lima ratus. Jumlah tersebut memang tidak seberapa dibanding Khilafah Channel milik para agen HTI. Unggahan terbarunya berjudul “Tausiyah: Mujahid Siap Jihad Lawan PKI” yang Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah MMI. ‘Mujahid’ memiliki posisi yang sakral dalam Islam. Dan justru sebab sakralitas tersebut, mereka memanfaatkannya untuk meraup massa—pengikut setia.

Konten terbaru MMI itu berkaitan erat dengan isu yang kini tengah dimainkannya: RUU HIP. Sekalipun MPR sudah mendatangi PBNU dan sepakat RUU HIP dihapus, penting diuraikan di sini bahwa serangkaian aksi masif MMI sudah terjadi. Per Juni, mereka melakukan kajian rutin di Bantul, DIY, unjuk rasa di Kota Yogyakarta dan Surakarta. Pada Minggu (7/6), di Bantul, DIY, MMI mengeluarkan seruan menghadapi Jokowi, yang dianggap menjadikan Ekasila sebagai landasan kenegaraan.

Empat hari sesudah itu, Kamis (11/6), di Kota Mataram, Lombok, NTB, MMI menyebarkan video berjudul “PKI Gaya Baru di 2020”, yang kembali dipersoalkan pada Minggu (14/6) di Purworejo, Jawa Tengah. Pada tanggal yang sama, mereka menggelar aksi jihad karimah bersama Laskar Mujahidin Yogyakarta. Masif, bukan?

MMI & HTI Sama Bahaya

Ketika pada Senin (20/6) kemarin, MMI menggelar aksi unjuk rasa penolakan RUU HIP di Titik Nol Kilometer Malioboro, Kota Yogyakarta, dan setengah bulan sebelumnya terlibat politik praktis peresmian Partai Gelora bersama Ormas Islam Lombok Timur, NTB, bersama FPI dan HTI, ditambah lagi menginstruksikan dukungan untuk H. Irianto di Pilkada Sragen, Jawa tengah, maka jelas bahwa sekalipun beda kulit dengan HTI, ideologi mereka tidak berbeda—sama-sama berbahaya.

Sekarang HTI memang sudah tidak ada. Tetapi para aktivisnya melebar kemana-mana, dan mustahil menyangkal keberadaannya. Mereka masuk menyelinap kepada organisasi yang masih eksis, lalu lambat laun menampakkan diri bersama mereka dalam rupa kesamaan bendera. Maka dimaklum, bila, bendera FPI menjadi bendera hitam-putih Hizbut Tahrir. MMI juga demikian, tidak ada bedanya. Polarisasi HTI, setelah tiga tahun dibubarkan, justru semakin sempurna.

Menyatunya kelompok radikal perusak NKRI dan agen-agen khilafah itu merupakan preseden buruk, memanipulasi isu-isu terkini demi kepentingan mereka sendiri. Yang aslinya benci Pancasila mendadak menjadi pembela. Dengan segenap kedok liciknya, mereka membuat umat merasa bahwa merekalah sang pahlawan. Jokowi difitnah, pemerintah semuanya dianggap membiarkan komunisme bangkit. Sementara itu, dalam dramanya, merekalah pelindung negara.

BACA JUGA  Konsistensi Perjuangan Melawan Radikalisme

Sayangnya, kedok licik tersebut mudah sekali dicium dengan melihat fakta di lapangan. Tuntutan aksi unjuk rasa tidak sesuai koteks permasalahan, dan kerumunan massa tidak lebih dari sekadar ikut-ikutan. MMI tidak ubahnya HTI yang melakukan segala cara untuk memuluskan agendanya. Termasuk bila harus dengan memprovokasi umat dengan kebencian dan hoax. Baik MMI maupun HTI, dalam hal ini, bisa dipahami. Apapun akan dilakukan, yang penting dagangan khilafah laku.

Semua organisasi sejenis MMI, HTI, dll, intinya, mustahil membela Pancasila benaran. Dan ini sudah saya bahas rinci sebelumnya. Semua adalah kedok belaka, licik, semata untuk melemahkan wibawa pemerintah. Aslinya, MMI terang-terangan menolak Pancasila. Ideologi negara yang mereka akui, satu-satunya, adalah khilafah tahririyah.

Khilafah Tahririyah

Makmun Rasyid, penulis buku HTI Gagal Paham Khilafah, mengistilahkan gaungan khilafah yang diusung Hizbut Tahrir sebagai Khilafah Tahririyah. Demikian karena istilah ‘khilafah’ sendiri, bukanlah term negatif-berbahaya. Secara substansial, ia berarti ‘pemerintahan’. Yang namanya pemerintahan, maka sifatnya general, tidak terpaku kepada satu sistem. Ketika Hizbut Tahrir berniat mendirikan khilafah, maka khilafah di situ sudah dieksploitasi, spesifik kepada sistem mereka sendiri.

Itulah Khilafah Tahririyah, khilafah yang diusung oleh para dedengkot Hizbut Tahrir. Khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah itu ada, tapi bukan khilafah ala mereka. Sistem pemerintahan yang dipakai Nabi adalah teokrasi, sementara keempat khalifah setelahnya memakai sistem demokrasi—meski saat itu sebutan ‘demokrasi’ sendiri belum ada. MMI tidak akan mengulas bagian fakta ini, kedok mereka adalah membelokkan pemahaman umat demi mimpi kekuasaannya.

Kedok-kedok Majelis Mujahidin—belakangan kata ‘Indonesia’ dihapus agar mansyarakat mengira ia berbeda dengan yang didirikan Abu Bakar Baasyir—merupakan alternatif ketika Khilafah Tahririyah itu mustahil diterapkan di negeri ini. Dengan kata lain, jika mendirikan khilafah itu tidak memungkinkan, bagi mereka, setidaknya membuat kekacauan sistem demokrasi sudah merupakan prestasi luar biasa.

Di sinilah bisa diambil kesimpulan, bahwa larutnya polemik RUU HIP, sekalipun hari ini telah jelas-jelas dibatalkan, adalah bagian dari mengacaukan negara. Bila negara kacau, MMI cs merasa sukses. Bila pemerintah tidk lagi berwibawa di hadapan rakyat, mereka senang. Khilafah Tahririyah tidak lagi perlu diperdebatkan, karena ia jelas-jelas palsu, tidak berasal dari Islam melainkan merupakan basis pergerakan Hizbut Tahrir. Kedok licik MMI wajib diwaspadai dan tidak dipercaya. Berbahaya.

Kenapa kita tidak henti-hentinya mengulas khilafah? Karena para aktivisnya juga tidak pernah berhenti memprovokasi kita. HTI bisa saja hancur, tetapi itu badan hukumnya saja, bukan ideologinya. MMI dulunya memang afiliasi Al-Qaeda, bukan ISIS. Tetapi, mau ISIS atau Al-Qaeda, mau HTI atau MMI, bukankah mereka sama-sama manipulator agama?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru