26.2 C
Jakarta

212 Mart: Kaum Radikal Bersatu dalam Mafia

Artikel Trending

Milenial Islam212 Mart: Kaum Radikal Bersatu dalam Mafia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Kaum radikal itu adalah manipulator agama. Para manipulator agama berkerja untuk mencari cuan. Mereka membuat narasi agama suci dengan ayat-ayat suci. Mabuklah orang-orang di haribaannya dengan menginvestasi apa yang mereka miliki.

Harta, tahta, bahkan nyawa. Sudah banyak harta yang mereka korbankan untuk kaum radikal manipulator agama. Sudah banyak nyawa binasa akibat penggelapan ajaran agama. Semuanya bersumber dari penipuan berkedok agama.

ISIS dan al-Qaeda menipu umat atas nama agama. Padahal ia hanya dijadikan barang murah untuk menjadi pendekar dan pembunuh sesama. Perempuan pun ikut serta tak mau kalah. Di matanya berlinang susu dan nikmat surga. Padahal ia hanya ditipu untuk menjadi “boneka seks” dan “perahiman” dari hasrat penis kaum radikal: ISIS dan al-Qaeda.

212 Mart: Mafia Berkedok Agama

Tak banyak dari kita yang paham. Atau pura-pura tak paham. Semuanya mengendap dalam ketidaktahuan. Sunyi tak berarti tak berbunyi. Tapi bebunyian kadang menipu hati nurani. Seperti aktivitas kaum radikal yang berbunyi untuk bersatu atas nama kejayaan umat: 212 Mart—minimarket Persatuan Alumni (PA) 212. Tapi ujungnya mereka menipu hati nurani umat.

Banyak umat yang tertipu. Contohnya di Samarinda. Ada 13 warga hingga hapir 600 orang korban penipuan dengan iming-iming investasi 212 Mart, untuk membantu umat berdasar syariah. Awalnya tak aneh. Namun setelah berjalan dua tahun, penyumbang dana mulai curiga dengan operasional koperasi. Indikasinya, banyak gerai yang tutup. Ada tagihan dari supplier tidak terbayar, tagihan ruko dan gaji pegawai tak bayar. Laporan keuangan asal-asalan.

Akhirnya mereka kapok dan melaporkan bahwa semua itu adalah kedok penipuan berbasis agama. Kerugian dari tipu-tipu investasi 212 Mart, mencapai Rp 2 miliar rupiah. Koperasi 212 Mart ilegal itu terduga melakukan penipuan, penggelapan, dan pengumpulan dana secara ilegal. Koperasi yang tidak terdaftar di dinas terkait ini, kini berurusan dengan Kasat Reskrim Polresta Samarinda (CNBC 05/5/21).

Jaringan 212 Mart cukup luas dan sudah hadir di banyak kota di Indonesia. Nama 212 Mart diambil dari gerakan aksi damai yang pernah heboh hampir 5 tahun yang lalu. Tepat pada 2 Desember 2016 muncul gerakan aksi damai dari jutaan umat Islam. 212 Mart ini terinspirasi dari gerakan damai aksi 212 (CNBC 07/5/21).

BACA JUGA  Masyarakat Harus Jadi CCTV dalam Pencegahan Terorisme

Bahasa agama adalah kunci. 212 Mart menjual jargon kunci sangat agamis: ‘Amanah. Berjamaah, Izzah’. Ustaz Abdul Somad (UAS) pun ikut mengendors 212 Mart ini dengan menarasikan bahasa agama pakai hadis Nabi. Simbol berjamaah, menurut UAS, kita harus berbelanja secara berjamaah. Amanah, artinya jangan menjelekkan, barangnya berkualitas, tidak ada tipu. Bagi UAS, Nabi mengajarkan, siapa yang menipu bukan golongan kami. Izzah, bagi UAS, berarti ada kebanggaan. Bangga produk muslim terpercaya. Bagimana bila akhirnya 212 Mart tidak jujur, menipu, dan sama sekali memalukan umat Muslim?

Dari para pengendors bahasa agama, umat jadi terpantik berbisnis. Hingga akhirnya umat bergabung-berinvestasi dan mabuk bahasa agama. Sayangnya pengendors terlalu lugu sehingga ditipu kaum mafia berbulu syariah investasi. Kaum mafia agama ini memanfaatkan momentum politik untuk menipu umat berjargon agama yang pupulis.

Bertobatlah dari Bahasa Agama

212 Mart mafia berkedok agama. Benar saja, permainan narasi keagamaan faktanya merugikan umat itu sendiri. Kasus Aksi bela Islam dan kasus penipuan 212 Mart, dan pengeboman oleh kaum mafia agama ini merupakan bukti riil (Harakatuna 6/5/2021). Bahwa atas nama agama, orang menjadi picik. Bahwa atas nama agama, orang jadi kaum mafia berhati iblis. Bahwa atas nama agama, orang menjadi bukan manusia.

Tak ada cara upaya lain selain mendongkel para mafia ini. Operasi mereka harus berhenti manakala orang masih teler dengan simbol agama yang populis. Tipu muslihat mereka harus tersingkap. Agar mareka yang masih sempoyongan bahasa agama tersadar dan bertobat.

Menjadi muslim yang kritis bukan berarti tak taat. Melainkan ia meragu dan mencari atas apa yang mereka yakini. Sebaliknya, menjadi muslim penghamba, yang membabi buta atas nama agama, selamanya ia jadi penghuni jurang kegelapan, yang tercincang oleh para mafia agama yang dekil radikal.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru