29.7 C
Jakarta

2020: Menjadi Khalifah Milenial yang Pancasilais

Artikel Trending

KhazanahPerspektif2020: Menjadi Khalifah Milenial yang Pancasilais
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sudah sepekan lebih kita meninggalkan tahun 2019 dan memasuki tahun 2020. Kita perlu bermuhasabah diri dan bertanya; kontribusi apa yang sudah kita berikan kepada umat dan bangsa? Sebagai manusia, telah optimalkah kita memainkan peran kemanusiaan? Dari pertanyaan tersebut, tulisan ini ingin merefleksikan kembali eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Jika Rene Descartes mengatakan “aku berpikir maka aku ada”, maka penulis ingin tegaskan “manusia beramal maka ia akan bermakna”. Sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30), umat Islam dan seluruh umat Nabi Adam diamanatkan untuk menjaga keadilan, kesejahteraan, dan menghindari pertumpahan darah. Kualitas seseorang diukur dari amal perbuatannya. “Khoirun nasi ‘anfa’uhum linnasi”.

Sebelum Nabi Adam dan Siti Hawa turun ke bumi, keduanya terlebih dahulu menetap sementara di surga. Menurut M. Quraisy Shihab (2004: 30), peristiwa penurunan Nabi Adam dan Siti Hawa dari surga menyimpan sebuah hikmah dan amanat, agar Nabi Adam dan umatnya mampu membuat pancaran kehidupan surga yang serba sejahtera, adil, damai, dan sentosa di muka bumi ini.

Sebagai khalifah, muslim milenial Indonesia perlu menginternalisasi dan membumikan kembali nilai-nilai Pancasila. Secara substantif, ideologi bangsa kita sangat selaras dengan visi-misi khalifah. Bertuhan secara kaffah, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial, merupakan fondasi kehidupan yang harus ditegakkan agar terwujud kehidupan sejahtera layaknya surga.

Keadilan, dan Khalifah Pancasilais

Ketika ada oknum ekstrimis membenturkan Pancasila dan khilafah, secara tidak sadar, ia terjebak dalam pemikiran beragama yang formalistik. Pemaknaan khalifah/khilafah secara politis tidak akan menyelesaikan persoalan umat dan bangsa yang begitu kompleks. Pemikiran tersebut justru mendorong timbulnya praktik diskriminatif dan konflik horizontal bernuansa SARA.

Spirit khilafah harus ditransformasikan ke dalam seluruh kehidupan sosial. Artinya, ajaran Islam yang ditonjolkan adalah aspek moralitas dan etika sosialnya ketimbang anspirasi Islam yang legal formal nan simbolik (Paydar, 2013: vii). Khalifah mengemban visi ilahiyah, insaniyah dan kauniyah. Seorang khalafah harus menjalin hubungan harmonis dengan Tuhannya, sesama manusia, dan alam semesta (Mufid, 2010: 110).

Peran utama seorang khalifah adalah penegak keadilan. Menurut M. Dawam Rahardjo, konsep adil dalam Al-Qur’an mengandung makna yang multidimensional. Keadilan berintikan kebenaran, tidak menyimpang, tidak merusak dan tidak merugikan orang lain maupun sendiri. Keadilan yang dimaksud disini adalah “keadilan ilahiyah” yang tidak memisahkan antara keadilan dan moralitas (1996: 346).

Problem Akhlak

Akhir-akhir ini, kita banyak melihat fenomena perusakan lingkungan, beragam tindakan kekerasan, radikalisme, ujaran kebencian di media sosial dan sebagainya. Di era digital ini, manusia pada umumnya cendrung tidak bisa bersikap adil terhadap alam semesta dan sesama manusia. Arogansi ini telah membentuk ketidakstabilan dalam kehidupan sosial.

Muslim milenial sebagai khalifah memiliki peran untuk mentransformasikan kembali nilai-nilai Pancasila. Sebagai insan yang bertakwa, umat muslim harus mampu menyemai sikap kasih sayang baik antar sesama manusia dan alam semesta. Sebab, Nabi Muhammad—yang menjadi teladan bersama, diutus untuk menyempurnakan akhlak dan menebarkan kasih sayang, bukan sikap kebencian

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024

Dalam perspektif ekologis, muslim milineal sebagai khalifah perlu melestarikan kelestarian lingkungan dan ekosistem yang ada. Jangan sampai kita rakus dan mengeksploitasi alam sesuai hawa nafsu kita. Sebab, tindakan eksploitatif merupakan tindakan yang berlebihan atau israf. Perilaku yang tidak terpuji ini sangat tidak dibenci oleh Allah swt.

Metode Kerja

Dalam kerangka kerja ekologis, seorang khalifah dapat membudayakan tradisi kebersihan—sebagai bentuk ibadah, seperti kerja bakti, membuang sampah, tidak menebang pohon sembarangan, membersihkan sungai dan sebagainya. Dengan kita bersikap adil kepada alam, ekosistem akan berjalan dengan baik tanpa ada bencana. Kita dapat hidup tenang dan alam tidak akan pernah bosan untuk bersahabat dengan manusia.

Kedua, dalam perspektif sosiologis, seorang khalifah harus saling menghargai dan mencintai orang lain sekalipun berbeda. Perbedaan ras dan agama tidak patut menjadi alasan bagi kita untuk tidak berbuat adil. Seorang khilafah tidak diperkenankan melakukan tindakan kekerasan seperti terorisme dan radikalisme dalam bentuk apapun.

Seorang khalifah harus mampu merawat ukhuwah islamiyah. Persaudaraan islami ini mencakup wilayah yang luas yakni persaudaraan sesama makhluk, alam semesta, manusia, dan kaum muslim (Shihab, 2013: 562). Dari sini, muslim milenial sebagai digital natives berperan besar untuk mengampanyekan nilai-nilai perdamaian di media sosial. Nilai-nilai Islam moderat dan Pancasila perlu disemai sebagai counter atas narasi kebencian dan hoax yang ada di media sosial.

Komitmen Persatuan

Dalam konteks digital, khalifah milenial dapat mengubah orientasi status dan postingan ke arah yang produktif. Misalnya, kita membuat konten kreatif seperti meme komik, video pendek yang mengampanyekan pelestarian lingkungan atau solidaritas keagamaan untuk melawan arus hate speech dan hoax yang ada di dunia maya. Dengan demikian, kita mampu menjalin ukhuwah dengan alam dan manusia,

Spirit ukhuwah islamiyah adalah titik temu nilai Islam dan Pancasila. Keberagaman sumber daya alam dan manusia Indonesia adalah realitas sosial yang harus diiikat dengan ukhuwah islamiyah tanpa harus dinafikan. Artinya, keislaman harus hadir dalam kebudayaan dan kebhinnekaan yang sudah mengakar kuat dalam jati diri dan memori kolektif bangsa ini.

Memasuki dekade kedua dari abad 21, kita sebagai muslim milenial harus memaksimal peran kekhalifahan dengan membumikan kembali nilai-nilai moderasi beragama dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa. Peran ini hanya dapat maksimal dengan kita memerangi hawa nafsu. Dengan demikian, kita dapat bersikap adil kepada siapapun baik kepada alam, diri sendiri, dan sesama manusia.

Untuk itu, untuk menjadi khalifah atau pemimpin yang membangun jiwa persatuan dan persaudaraan dengan mengubur potensi intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Sebab itu, merusak dan tidak menjunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi negara.

Oleh: Rahmat Hidayat

**Ketua Ikatan Keluarga Besar Al-Amien Prenduan (IKBAL) Korda Yogyakarta Tahun 2019-2020 M.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru