33.2 C
Jakarta
Array

Ahlan wa Sahlan, Taliban!

Artikel Trending

Ahlan wa Sahlan, Taliban!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tak hanya mengejutkan, namun juga membuat publik mengernyitkan dahi sebagai tanda tak percaya. Bagaimana bisa, Indonesia menerima delegasi Taliban yang dipimpin langsung oleh Mullah Abdul Ghani Baradar. Delapan delegasi dengan kostum khas Afghan tersebut atas nama Taliban. Bukan atas nama warga negara Afghanistan.

Bukankah selama ini Taliban dikenal, bahkan sudah distempel sebagai organisasi teroris (ekstrimis)? Lantas, mengapa Taliban disambut hangat oleh Indonesia, yang menyambut orang nomor dua di Indonesia lagi!

Memang banyak yang mengomentari dan memahami pertemuan tersebut akan merugikan Indonesia. Seolah-olah Indonesia melegitimasi dan mengakui eksistensi Taliban, sehingga yang demikian, sekali lagi, sangat kontraproduktif mengingat selama ini, Indonesia mengutuk keras, bahkan tak memberi ruang sedikitpun bagi seseorang atau organisasi yang berideologi keras (radikal-teroris).

Kekecewaan sebagian kalangan terhadap pemerintah Indonesia semakin membuncam bak tumpukan jerami ketika delegasi Taliban di terima MUI dan PBNU. Media sosial pun tak luput dari konten nyinyir terhadap pertemuan ini.

Berbeda dengan kalangan yang mengikuti keterlibatan Indonesia dalam mewujudkan perdamaian di Afganistan, pasti pertemuan delegasi Taliban pada beberapa hari yang lalu, pasti menyambut positif pertemuan itu.

Sebab, posisi Indonesia dalam konteks ini adalah sebagai negara yang turut aktif dalam menyelesaikan konflik (mediator perdamaian) yang berkecamuk antara kelompok Taliban dengan Pemerintah Afganistan yang didukung oleh Amerika dan sekutunya. Konflik ini nyaris tak ada ujungnya. Jadi kunjungan lebih menitik-beratkan posisi Indonesia sebagai negara muslim terbesar guna meyakinkan kelompok Taliban untuk memilih menapaki jalan damai.

Namun, di balik semua itu, kita juga harus jujur mengakui bahwa posisi tawar Taliban saat ini sedang tinggi. Bagaimana tidak. Sebelumnya, Taliban selalu ‘dimusuhi’ oleh sebagian besar negara dunia.

Jangankan melakukan kunjungan ke suatu negara, ketika simapatisan Taliban bepergian, ketika mereka ketahuan tiba di Bandara misalnya, maka otoritas negara setempat akan menangkapnya karena dianggap teroris. Kini mereka sudah mulai diterima dan diperhitungkan di kancah internasional. Lawatannya ke negara tertentu, Indonesia misalnya, dijamu, perjalanannya diatur Kemenlu dan ditempatkan sebagai tamu negara.

Kiprah Taliban

Taliban yang sekarang bulanlah Taliban yang dulu. Terlebih dalam beberapa tahun belakangan ini. Kelompok yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Afghanistan ini bangkit kembali dan menjadi ancaman bagi Pemerintah resmi Afghanistan yang disokong oleh AS dan sekutunya.

Kiprah Taliban dimulai sekitar awal 1990-an di wilayah Pakistan Utara setelah pasukan Uni Soviet mundur dari Afghanistan. Gerakan Taliban berangsur membesar, terutama mulai terasa pengaruhnya pada musim gugur 1994. Kemudian kelompok ini sudah mulai melakukan penaklukan beberapa distrik yang ada di Afghanistan.

BBC News (16/11/2009) menyebutkan bahwa cikal bakal Taliban adalah pesantren dengan sumber dana dari Arab Saudi. Disebutkan pula bahwa pesantren yang berafiliasi dengan kelompok ini lazimnya menganut aliran Sunni garis keras.

Awal-awal berdiri, Taliban didominasi oleh orang-orang Pashtun. Kondisi ini tak lepas dari janji yang diobral Taliban kepada warga Pashtun, yakni memulihkan perdamaian dan keamanan berdasarkan syariah Islam jika mereka berkuasa.

Kelompok Taliban semakin mendapatkan sorotan dunia internasional setelah serangan di World Trade Centre, New York pada 11 September 2001 silam. Satu bulan pasca serangan pesawat yang meruntuhkan gedung WTC dan menewaskan ribuan orang, Amerika Serikat memulai kampanye perang melawan terorisme di Afghanistan, dengan misi utama menggulingkan kekuasaan Taliban, yang dituduh AS melindungi al-Qaeda (dalang di balik peristiwa WTC), serta untuk menangkap Osama bin Laden. AS dan sekutunya pun berhasil menggulingkan pemerintahan di bawah kekuasaan Taliban.

Siklus penguasaan Afghanistan lantas berganti; kini yang berkuasa adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Ashraf Ghani. Kelompok Taliban menyebutnya sebagai pemerintahan boneka Amerika.

Dari sinilah, konflik di Afghanistan berkecamuk selama belasan tahun lamanya, dengan hampir jutaan nyawa manusia sebagai korban atas konflik yang nyaris tak berkesudahan ini.

Pihak yang bertikai sudah beberapa kali terlibat dalam perundingan dan negosiasi yang jumlahnya tak terhitung oleh dua telapak jari. Secercah harapan untuk damai pun melalang buana. Namun, karena kuatnya berbagai kepentingan picik nan licik yang selalu menyertainya, perdamaian tak pernah terwujud dan penderitaan ratusan hingga jutaan orang terus berlanjut.

Posisi Indonesia dalam Perdamaian Dunia

Hari ini, kita melihat peluang lain untuk memutus lingkaran setan konflik di Afghanistan dan memulai hidup damai. Harapan akan rasa aman dan damai di Afghanistan sudah di depan mata. Di sinilah posisi Indonesia berada.

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia mengambil langkah yang cukup tegas dan elegan, yakni berusaha menjadi mediator perdamaian di Afghanistan.

Keterlibatan Indonesia dalam mendorong perdamaian di Afghanistan bermula dari kunjungan Presiden Ashraf Ghani ke Jakarta pada 05 April 2017 silam.

Inisiasi “genjatan senjata” di Afghanistan kembali muncul. Kali ini dihembuskan oleh negosiator utama Washington, Zalmay Khalilzad di Ibu Kota Qatar pada 28 Januari 2019 lalu, bahwa AS dan Taliban memiliki kesepakatan yang dapat membuka jalan bagi pembicaraan perdamaian.

Dari sini ada celah bagi Indonesia untuk terus mendorong perdamaian di Afghanistan.

Inspirasi Islam Moderat dari Indonesia untuk Taliban

Perilaku atau sikap moderat dalam segala hal, terutama dalam beragama, menjadi kebutuhan setiap manusia. Sebab, sikap dan perilaku serta pemahaman moderat akan melahirkan perdamaian. Seperti yang kita pahami bersama bahwa manusia membutuhkan rasa damai, layaknya ikan membutuhkan air.

Taliban mulai menyadari bahwa moderasi adalah solusi terbaik atas konflik di daerahnya. Taliban, secara kasat mata, pastinya melihat kondisi di Indonesia bahwa moderasi adalah kunci utama mewujudkan rasa damai. Sikap moderat kelompok Taliban nampaknya semakin mendapat tempat ketika AS kabarnya akan menarik pasukannya yang berada di Afghanistan.

Namun, tanda-tanda kemenangan kelompok Taliban saat ini harus dipotret secara jernih dan komprehensif. Bahwa kemenangan kelompok Taliban bukan semata-mata karena mereka gigih berani melawan penguasa ‘kafir’. Sehingga, sikap dan langkah keras semacam ini dijadikan legitimasi kelompok lain untuk menerapkan hal yang sama di negaranya masing-masing.

Artinya, tidaklah tepat apabila mengambil pelajaran dari kemenangan kelompok Taliban di Afghanistan dengan cara berjihad melawan suatu pemerintahan yang dianggap ‘kafir’. Sehingga, langkah seperti ini justru memunculkan benih-benih radikalisme dan ekstrimisme.

Yang harus dipotret secara jeli dalam peristiwa yang terjadi di Afghanistan adalah, bahwa bagaimana menerapkan sikap moderat dalam beragama. Dalam hal ini, dunia bisa mencontoh Indonesia.

Negara lain mulai melirik Indonesia karena dianggap berhasil membangun persatuan dan perdamaian meskipun komposisi Indonesia sangat beragam. Maka, kita patut ucapkan ahlan wa sahlan, Taliban. Semoga Islam moderat yang menjadi pilar utama dalam menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat, juga di terapkan oleh kelompok Taliban.

Fenomena kelompok Taliban juga semakin meyakinkan kepada kita semua bahwa, jalan kekerasan tak akan menyelesaikan persoalan. Saling menghargai dan bersikap moderat justru yang menjadi solusi terwujudnya perdamaian abadi.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru