32.7 C
Jakarta
Array

Ramadhan Momentum Tumbuhkan Tradisi Menulis

Artikel Trending

Ramadhan Momentum Tumbuhkan Tradisi Menulis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ramadhan Momentum Tumbuhkan Tradisi Menulis

Oleh: Rosidi*

Ada hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh banyak orang, bahwa Ramadhan, sebenarnya tidak sekadar bulan suci, di mana pada bulan ini, diwajibkan bagi umat Islam untuk menunaikan puasa dan taburan pahala atas amal ibadah yang dilaksanakan.

Hal itu adalah, bahwa Ramadhan merupakan memontem tepat untuk menumbuhkan tradisi literasi di kalangan umat Islam. Betapa tidak, lima ayat dari surat al-‘Alaq diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW saat beliau berkhalwat di Gua Hira, ini diawali dengan kata yang terkait langsung dengan literasi: Iqra’ (bacalah).

Menurut sastrawan kenamaan Triyanto Triwikromo yang dikenal dekat dengan KH. Musthofa Bisri (Gus Mus), kata Iqra’, jika dipahami secara mendalam, menyimpan makna teologis lain selain makna yang nampak, yaitu menulis. Hal itu dikemukakan saat manjadi narasumber seminar di Universitas Muria Kudus (UMK), belum lama ini.

Hanya saja yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah setiap umat Islam di muka bumi ini, sadar dan memahami bahwa terdapat makna teologis dari kata Iqra’ sebagaimana dikemukakan Triyanto Triwikromo?

Tradisi Ngaji Pasanan

Budaya literasi di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia, saat Ramadhan, sebenarnya meningkat secara pesat. Hal itu dibuktikan dengan tradisi semakan (tadarus) al-Qur’an di masjid-masjid dan mushalla atau tempat ibadah lain setiap hari menjelang berbuka puasa dan setelah shalat tarawih.

Di luar itu, kajian-kajian ke-Islam-an juga banyak digelar saat Ramadhan di tempat-tempat ibadah. Di pesantren-pesantren salaf di Indonesia, bahkan muncul tradisi ngaji kilatan atau ngaji pasanan yang tetap terjaga kelestariannya hingga sekarang.

Pada saat Ramadan seperti sekarang, para kiai dan putra-putranya yang telah mumpuni ilmunya, menggelar kajian kitab, yang diikuti oleh para santri mukim maupun santri kalong yang ingin tabarrukan dengan mengaji di bulan suci.

Kitab yang dibaca dalam pengajian pasanan di pesantren-pesantren pun sangat beragam, dan tidak sama antara satu dengan lainnya. Kitab-kitab yang dibaca meliputi kajian fikih, tauhid, tafsir, hadits, hingga tasawuf.

Para santri pun bebas untuk mengikuti kajian dan memilih kiai dalam ngaji pasanan yangg diikutinya. Tidak terpancang dia harus mengaji pada kiai di mana dia mondok. Kebebasan memilih kiai dan mengikuti kajian yang diminati, ini juga menjadi hal yang menarik dalam tradisi pesantren saat Ramadan.

Tradisi pengajian pasanan kala Ramadhan di pesantren ini, pada perekmbangan selanjutnya diadopsi oleh banyak kampus (perguruan tinggi) maupun sekolah-sekolah. Untuk kampus biasanya dengan menyelenggarakan kajian-kajian ke-Islam-an dengan mendatangkan kiai (ustadz) maupun menggelar kajian-kajian dialogis, sedang untuk sekolah lazim menggelar pesantren kilat (Peskil) untuk peserta didiknya.

Budaya Menulis

Tradisi mengaji dan mengkaji kala Ramadhan di pesantren-pesantren yang kemudian diadopsi oleh banyak perguruan tinggi dan sekolah-sekolah, merupakan hal penting dalam dunia intelektualisme di kalangan umat Islam.

Hanya saja, tentu akan lebih menarik jika tradisi itu tidak berhenti sebatas mengaji dan mengkaji semata. Yakni jika tradisi itu mampu menginspirasi dan memotivasi para santri, pelajar dan umat Islam lain untuk membudayakan menulis.

Menumbuhkan budaya menulis di kalangan santri, pelajar dan umat Islam secara luas, ini menjadi penting, karena dengan itulah, maka ilmu dan wawasan ke-Islam-an akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

Terlebih lagi di era perkembangan teknologi informasi dengan kecepatan informasi di dunia maya, yang di dalamnya banyak informasi sampah bahkan hoax bertebaran, maka penulisan konten-konten yang berkualitas, membuka wawasan dan menginspirasi untuk melakukan hal-hal baik, sangat diperlukan.

Megambil peran dalam menulis konten-konten bermutu ini menjadi keniscayaan, dan bahkan bisa dibilang merupakan ‘’makna teologis’’ di balik pengajian pasanan bagi para santri dan umat Islam, sebagaimana Triyanto Triwikromo mengemukakan, bahwa makna teologis di balik ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan: Iqra’.

Makna teologis di balik Iqra’ ini kiranya yang begitu tertanam di sanubari para ulama zaman dulu dan tidak sedikit kiai saat ini, sehingga selain melakukan transfer of knowledege kepada para santri (murid)-nya melalui lembaga pengkajian formal, juga menuliskan karya-karya yang bisa dibaca oleh generasi sekarang.

Melalui karya-karya lah, para santri sekarang bisa mengkaji pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh semisal Imam Al-Ghazali, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri Al Nizami An-Nawawi, Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji, Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, KH. Hasyim Asy’ari, hingga karya-karya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Semangat menulis inilah, kiranya yang perlu menjadi teladan bagi para santri generasi sekarang. Dan Ramadhan bisa menjadi momentum tepat untuk mengingatkan para santri dan generasi muda Islam saat ini, akan pentingnya tradisi menulis bagi perkembangan ilmu dan peradaban di masa-masa mendatang. Wallahu a’lam.

* Penulis adalah staf Humas Universitas Muria Kudus (UMK).

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru