27.1 C
Jakarta

Valentine’s Day Haruskah? (Bagian II-Habis)

Artikel Trending

KhazanahSuara PembacaValentine’s Day Haruskah? (Bagian II-Habis)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada ‘selentingan’ pendapat yang mengatakan bahwa hari Valentine merupakan ritual keagamaan umat Kristiani. Betulkah? Ternyata pihak gereja tidak pernah melegalisasi hari Valentine itu. Buktinya, tidak ada dalam kamus gereja bahwa 14 Februari sebagai hari kasih sayang. Dan tidak ada tuntutan dalam al-Kitab berkaitan dengan hari valentine. Kalau begitu, hari valentine itu bukan acara ritual keagamaan. Tapi hanya kebiasaan orang Romawi kuno untuk mengungkapkan rasa kasih sayang pada sesama. (hasil wawancara dengan salah seorang pendeta).

Lalu, bolehkah kita meniru tradisi umat lain? Ada hadis Nabi Saw.

Yang kerap kali kita dengar:

Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka [Sunan Abi Daud, 47:III]

Sepintas, hadis ini mengatakan bahwa kita tidak boleh meniru kebiasaan orang kafir. Meniru kebiasaan mereka, berarti sama dengan mereka. Di dalam persoalan ibadah, kita tidak meniru gaya dan model ibadah orang lain. Itu sudah jelas, tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena hal itu berkaitan dengan keimanan. Tapi dalam masalah ‘adah (tradisi) perlu kajian lebih lanjut. Pertama, dalam kasus ini yang dilarang adalah mengikuti kebiasaan-kebiasaan jelek. Baik dari orang islam yang fasik atau pun orang kafir. lni ditunjukkan oleh hadis lain, “Barang siapa yang berpakaian baju syuhroh (baju kesombongan dan untuk berbangga-banggaan), maka pada hari kiamat Allah akan memberikan baju serupa dan akan dilahap api neraka” (HR. Abi Daud). Kedua, kebiasaan itu udah menjadi ciri khas orang kafir. Selama tidak menjadi ‘baju kebesaran’ mereka, kita tidak dilarang menirunya. Sebab ’illat keserupaan sudah hilang. [Faidlu aI-Qadir, 104:Vl].

Dari paparan di atas, merayakan hari valentine tidak apa-apa. Alasannya, perayaan valentine itu merupakan tradisi bukan ritual keagamaan orang-orang kuno. Tidak menjadi ciri khas orang kafir. Dalam artian, kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleh kaum atau umat tertentu. Pun esensi dari perayaan itu adalah kasih sayang yang merupakan anjuran syari’.

Lebih lanjut, Mahmud Syaltut mengatakan bahwa Ihtifal (perayaan) ada dua. Pertama, lhtifa’l diniy. Perayaan yang berkaitan dengan ibadah, seperti sholat Jumat, ‘id al-adha dan wukuf di Arafah. Pelaksanaan ihtifai model ini harus berdasarkan dalil syar’i. Kedua, Ihtifal ‘aliliyah wa qaumiyah. Yaitu perayaan-perayaan yang sering dilakukan dalam satu keluarga dan (atau) kelompok. Misalnya, resepsi pernikahan, khitanan, dan sebagainya. Maka kita boleh melakukan kapan saja, karena bersifat kemanusiaan. Dari setting ini, perayaan valentine itu termasuk jenis ihtifal yang kedua. Boleh dilakukan kapan saja, termasuk Dada tanggal 14 Februari. [Min Taujihat al-lslam, 470].

Berkenaan dengan pelaksanaan hari kasih sayang itu, banyak cara Yang dilakukan. Mulai dari kirim salam, kartu ucapan, berdansa dengan bukan mahram sampai pada peluk cium. Untuk dua cara yang terakhir, Islam dengan tegas melarangnya. Meskipun suami istri kalau dilakukan di tempat umum, tetap haram.

Untuk kirim salam dan kartu ucapan pada selain jenis, ada perselisihan pendapat di kalangan ulama’. Ini berangkat dari sebuah ayat  “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa)”. (QS. An-Nisa’, 86).

Memang, dzahir ayat menunjukkan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Semuanya sama saja. Cuma, setelah ada hadis yang berfungsi sebagai mubayyin (penjelas) dari sebuah ayat, maka nampaklah silang pendapat itu. Pertama, kalangan Syafi’iyah berpendapat orang laki-laki boleh mengucapkan salam pada wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita boleh kirim salam pada laki-laki. Berdasarkan hadis Umi Hani’, “Aku pernah mendatangi Rasulullah pada tahun penaklukan Mekah. Aku menemukan beliau sedang mandi, sementara Fatimah putri beliau menutupinya dengan tabir. Lalu, Aku memberi salam kepada beliau. Nabi bertanya, ”Siapa wanita ini?”. Aku menjawab, ”Saya Umi Hani’ putri Abi Thalib”. Kemudian beliau bersabda, ”Selamat datang wahai Umi Hani’I”. [HR. al-Bukhari].

Kedua, kalangan Malikiyah membedakan antara pemuda dan ‘ajuz (orang tua renta). Pemuda yang masih ABG, tidak boleh mengirimkan salam pada lain jenis. Sebagai antisipasi agar tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang syara’ (zina). Inilah yang disebut saddan lil ad-dzarai’. Lain halnya orang yang sudah jompo. Kemungkinan untuk melakukan zina sangat kecil.

Ketiga, kalangan kuhyyun (Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya) berpandangan bahwa wanita tidak boleh memulai untuk mengucapkan salam pada laki-laki, kecuali untuk mahramnya. Karena mereka dilarang mengumandangkan azan, iqamah dan membaca al-Qur’én dengan suara keras. [Fatawa Mu’ashirah, 271-273:II].

Menilik ketiga pendapat di atas, pada dasarnya mengirimkan salam pada perempuan itu boleh. Demikian pula sebaliknya. Dengan catatan tidak dilanjuti dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang syara’. Seperti berkhalwat, pegang-pegangan dan (apalagi) berzina.

Oleh sebab itu, mengirimkan kartu valentine boleh-boleh saja. Dengan cacatan tujuannya murni sebagai ungkapan rasa kasih sayang pada sama Bukan untuk yang lain. Wallahu a’lam.

Sumber: Fikih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru