28 C
Jakarta

Toleransi Tidak Membuat Skeptis

Artikel Trending

KhazanahOpiniToleransi Tidak Membuat Skeptis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Merupakan sebuah anugerah tersendiri terlahir ke dunia sebagai Muslim. Dari mulai orang tua kandung, kakek serta nenek semuanya adalah pemeluk Islam yang taat. Jadi, bisa dikatakan Islam yang saya anut merupakan Islam kultural sedari lahir. Bukan hanya itu, kadar keislaman saya juga ditopang dengan lingkungan yang serba islami.

Tak ayal, tiap hari suara-suara adzan selalu lantang terdengar, malam jumat selalu ramai dengan sholawat dan kajian-kajian tentang keagamaan. Namun, seiring bertambahnya usia, saya mulai skeptis terhadap dunia Islam sendiri itu seperti apa, serta kaitannya dengan agama-agama lain yang seringkali cekcok di berbagai sisi.

Sudah tak terbantahkan bahwasanya, banyak konflik-konflik yang terjadi yang dapat memicu rusaknya kebinnekaan  disebabkan oleh hal-hal yang beraromakan kegamaan. Ironisnya, dalam konflik yang berkecamuk itu, ada peran pemuda yang sangat vital sekali keberadaannya.

Tidak hanya itu, skeptis saya tentang dunia keagamaan mulai berkecamuk semenjak memasuki bangku perkuliahan. Miris sekali ketika Barat dengan islamofobianya, sementara dunia Timur yang benci terhadap dunia Barat karena kristenisasinya. Lalu dapatkah mereka berjalan di muka bumi ini secara beriringan?

Tentunya, seisi kepala terasa mendidih ketika Islam diidentikkan dengan pemenggalan, terorisme dan darah. Sementara orang-orang dari pihak oposisi meyebut rivalnya itu dengan sebutan kafir, murtad, dan kaum keluar dari jalan yang lurus dll. Bagi saya, ujaran-ujaran kebencian semacam itu merupakan produk sejarah ekstremis-kompulsif, sebut saja produk perang salib, antara Kristen dan Islam yang sampai sekarang  masih sangat terasa sekali hawa panasnya.

Aspek keagamaan memang kerap menjadi ladang paling riskan dalam hal kekerasaan yang merujuk pada suatu konflik yang berkecamuk jika manusia yang berperan sebagai subjek tidak dapat berfikir secara netral. Kenapa konflik masih saja terjadi? Hal itulah yang sudah lama sekali bergaung di kepala saya. Hipotesis saya justru merujuk pada kaum ekstremis yang hanya hidup berlandaskan asas konvensional semata, alias “di bawah tempurung”—meminjam bahasa Benedict Anderson. Ia hidup di bawah tempurung kulturalnya sendiri.

Memang jika hidup hanya dihabiskan di bawah tempurung tanpa pernah merasakan kehidupan lain akan sedikit mempengaruhi sinergisitas antar umat. Mobilisasi diskursus akan sikap toleransi saya kira akan menemui jalan buntu. Sementara sosialisasi-sosialisasi yang bertemakan tolerensi sulit diterima oleh khalayak-khalayak umum. Apalagi penganut sistem kolot.  Tambah sulit lagi.

Hal lain yang dapat memperparah keadaan adalah minimnya sarana literasi yang tidak memadai, dengan literasi maka tiap individu akan bisa berfikir. Cogito ergo sum kalo boleh mengutip kata-kata Rene Descartes yang artinya aku berfikir maka aku ada.  Mengakar pada perkatan filsuf berkebangsaan Prancis itu, peristiwa berfikir sangat krusial sekali adanya, dengan seni berfikir,  suatu saat nanti kata perdamaian yang merujuk pada kebinnekaan bukan hal yang tidak mungkin akan hadir di tengah-tengah kita semua, yang dewasa ini sedang dilanda krisis intoleransi.

Langkah Nyata Apa yang Bisa Dilakukan?

Baiklah, pengembaraan ini saya mulai. Di atas sudah saya sebutkan bahwasanya saya lahir di keluarga Muslim yang taat beragama, sedari kecil pelajaran-pelajaran agama sudah saya jejaki walau pun pemerolehannya hanya seujung kuku, setidaknya punya dasar lah meskipun sedikit. Diperpanjang lagi masuk  Madrasah Aliyah Negeri pada usia remaja, makin lengkaplah ilmu keagamaan yang saya anut.

Justru, pengalaman batin yang sesungguhnya saya mulai semenjak menapaki dunia kuliah. Saya memutuskan kuliah di suatu universitas swasta, dan anehnya hanya saya sendiri yang kuliah di tempat itu. Teman-teman sebaya, kakak kelas, adik kelas, semuanya pada kuliah di Universitas Islam. Tapi saya memutuskan untuk berbeda, sampai pada satu waktu ibu bilang bahwa saya sudah tidak waras karena berbeda dengan teman-teman sekampung. Tapi sebenarnya saya sadar betul terhadap apa yang saya pilih.

Pagi itu, saya terperangah sama anak jurusan matematika. Dia seorang keturunan Cina, agamanya Katolik. Waktu itu ada seminar lintas agama, kebetulan pematerinya Muslim. pada sesi tanya jawab si perempuan ini menceritakan semua keluh-kesahnya berada di lingkungan yang kerap mendistorsi dirinya, ia kerap dikucilkan dengan keyakinan inferiornya, disebut-sebut Cina dan segala macamnya.

Padahal, saya orang Indonesia. Bahkan jika pun nanti terjadi perang antara Cina dan Indonesia saya pasti berada di pihak Indonesia. Gumamnya. Tak lama setelah mengikuti seminar itu, dia tidak pernah kelihatan lagi di fakultas. Dia berhenti kuliah. sangat disayangkan sekali.

Persoalan keyakinan memang kerap menjadi momok yang paling menakutkan. Tak ubahnya hukum rimba, yang superior menjajah yang inferior. Yang kuat memakan yang lemah. Dan sudah tidak dapat disangkal lagi, inilah realitas yang terjadi. Kalimat-kalimat perdamaian didengung-dengungkan tapi apa yang terjadi? Hasilnya nol. Yang inferior tetap saja terjajah dan mau nggak mau harus menepi dari jalur eksistensi dirinya. Miris sekali.

Hal kedua yang saya nikmati semenjak masuk dalam meja perkuliahan adalah, banyaknya organisasi-organisasi  yang menjadi produsen intelektual. Sangat beruntung sekali waktu itu saya bisa menghadiri acara organisasi yang kalau tidak salah, nama organisasi itu bernama Gusdurian.

Untuk awal-awal, memang agak aneh berkumpul dengan manusia yang berbagai rupa dan latar belakang. Kajian yang diadakan di monumen kabupaten itu diselenggarakan secara sederhana. Belakangan saya tahu bahwa pemateri yang akan memberikan materi pada siang itu adalah mas Aan Ansori. Setelah saya telisik melalui media sosial, ternyata beliau sudah melanglang buana ke seluruh penjuru nusantara untuk memberikan  pengajaran perihal 9 ajaran Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur.

Sebelumnya saya tidak pernah membaca tentang literatur Gusdur sama sekali, yang saya tau beliau hanya pernah menjabat sebagai presiden RI selama kurang lebih dua tahun. Jujur, dari situlah saya banyak mengenal sendi-sendi kehidupan melalui lisan Aan Ansory. Sebelum masuk ke materi, saya dibuat sinis terhadap kehadiran para waria di acara itu. sebagai seorang yang konservatif, saya  sangat merasa aneh dengan kehadiran-kehadiran waria tersebut. Di sana juga hadir pendeta. Tentu, semakin bertambahlah jiwa resah saya waktu itu.

BACA JUGA  Harmoni Ramadhan: Antara Saleh Ritual dan Saleh Sosial

Tapi setelah Mas Aan Ansory bicara tentang 9 nilai keteladanan Gus Dur: ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, dan yang terakhir adalah kearifan tradisi. Dari hal itu sedikit demi sedikit, saya memahami Gus Dur. Benang merah yang bisa saya tarik dari 9 ajaran Gus Dur tersebut yaitu tentang prinsip toleransi, bahwasanya manusia yang terdiri dari berbagai rupa merupakan ciptaan tuhan yang sama. Yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Hal lain yang terjadi adalah ketika saya diundang ke gereja di malam Natal. Acara tersebut dimulai sore hari sekitar jam 16.00 WIB. Saya mulai masuk ke dalam gereja, sementara di luar pagar para polisi bersenjata lengkap terlihat berjaga-jaga. Saya masih heran kenapa masih ada polisi di sana. Bersenjata lengkap pula. Dari hal itu saya berasumsi bahwa krisis identitas yang belum sepenuhnya hilang an masih jadi monster yang sewaktu-waktu bisa menyerang. Ketakutan dan kekhawatiran masih jadi kabut tebal antara sesama pemeluk keyakinan. Rasa aman masih menjadi harga mahal yang belum tuntas terbayarkan.

Walau banyak yang berspekulasi yang bersarang di telinga saya, “Ngapain kamu gereja? Wong itu bukan agamamu,” Ucap teman saya.  Saya menyingkirkan pemikiran kolot itu, yang saya yakini di dalam hati hanyalah ingin tahu dan belajar seperti apa ritus orang non muslim ketika melakukan peribadatan. Dan saya pikir orang belajar itu tidak ada salahnya. Mereka yang katanya keluar dari jalur yang lurus, mereka sangat menghargai dan sopan dalam menyambut tamu kok. Nyaris tidak ada bedanya dari agama yang saya anut.

Titik Klimaks

Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagi pula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang dalam rumah itu. demikian hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di sorga.” (Matius 5:13-15)

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu.” (Matius 22: 37-40)

Bahwa pengetahuan tentang siapa yang benar-benar sesat adalah milik-Nya. Bahkan, Nabi pun hanya menyampaikan, sedangkan pengetahuan sejati hanya milik-Nya. (QS. An-Nahl:125).

Saya berusaha menghadirkan kolaborasi dasar pemikiran dari Muslim dan non-Muslim. dari ketiga ayat di atas adakah agama yang tidak mengajarkan kebaikan? Adakah agama yang mengajarkan kebencian? Adakah agama yang mengajarkan menghujat orang lain?

Saya teringat kepada ajarannya Nabi Isa atau oleh non muslim disebut dengan Yesus. Kebanyakan khalayak gagal pahamnya di titik ini. dinama. Meyakini adanya Nabi Isa, tapi tidak setuju dengan adanya Yesus. Padahal orang yang dimaksud sama. Katanya Ust Fahrudin Faiz, sebagaimana mestinya kita bisa mengambil pelajaran pada sosok figur. Bukan malah bersikap apatis.

“Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Inilah ajaran yang pernah dibawa Nabi Isa atau Yesus (cinta kasih). Lantas apakah Nabi Muhammad tidak mempunyai cinta kasih? apa hanya Nabi Isa/Yesus yang mempunyai sifat cinta kasih?

Dikisahkan bahwa setiap Nabi Muhammad akan pergi ke masjid untuk menunaikan salat Subuh, selalu ada yang meludahinya. Tiap hari selalu berulang-ulang seperti itu. sampai pada suatu hari, Nabi Muhammad heran. Yang sering meludahi saya kemana? Lantas setelah salat subuh selesai ia bertamu ke rumah yang sering meludahinya. Setelah sampai ke rumah itu belakangan Nabi tahu bahwa yang punya rumah sakit.

Masuklah beliau, sejurus kemudian si Yahudi ini menangis atas apa yang telah dilakukannya. Apa yang dilakukan Nabi? Memukulnya? Atau balik meludahinya? Tidak! Nabi membalasnya dengan cinta kasih. persis seperti ajaran yang pernah dibawa Nabi Isa/Yesus. beliau mendoakan kesembuhan si Yahudi tadi tanpa menghiraukan atas apa yang telah diperbuatnya. Itulah bentuk cinta kasih Nabi Muhammad.

Dari sekelumit kisah di atas, saya jadi mengerti bahwa esensi kitab-kitab manusia di muka bumi bersumber pada satu pengetahuan Tuhan: Umm kitab, Nun kitab, dan Lauh Mahfudz. Sementara semua aturan agama-agama manusia di muka bumi berpangkal pada Golden rule atau aturan emas. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Akhirnya, dari beberapa penggalan di atas, krisis toleransi haruslah bisa ditumpas oleh remaja dan pemuda. Mengubah pertikaian menjadi perdamaian seperti apa yang telah dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu. Semua berasal dari Tuhan yang sama. Yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Salam.

 

Fahrus Refendi, lahir pada 07 Juni 1998, Mahasiswa Universitas Madura Prodi Bahasa & Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang berupa cerpen, puisi, cernak, resensi dan esai sudah pernah dimuat dibeberapa media cetak maupun online. Bermukim di Pamekasan Madura.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru