26.3 C
Jakarta

Tolak RUU HIP, Yes! Ikut Demo, No!

Artikel Trending

KhazanahOpiniTolak RUU HIP, Yes! Ikut Demo, No!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada fenomena yang menarik, sekaligus meresahkan, di kalangan umat Islam Indonesia, yaitu demo berjilid-jilid untuk segala macam keperluan. Fenomena ini bisa dilacak, awalnya, sejak kasus Ahok beberapa tahun silam. Ia pun menjadi senjata sementara umat Islam; konfrontasi terhadap pemerintah. Apa pun kasusnya, demo solusinya. Termasuk, yang terbaru, polemik RUU HIP.

Umat Islam kemudian terpolarisasi menjadi dua partisan: kesatu, suka demo dan, kedua, menentangnya. Stigmatisasi kedua pihak pun tidak terhindarkan. Yang satu menganggap berkoalisi dengan pemerintah sebagai dosa sebab ke-thaghut-annya, yang lainnya menggeneralisir setiap aksi demo di Monas, senayan, atau istana merdeka identik bahkan ciri khas perlawanan oposisi.

Aksi demo, sejujurnya, memiliki fungsi strategis untuk mengontrol pemerintah, menjadi watchdog terhadap setiap kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif. Karenanya, setiap aksi damai harus diapresiasi, agar pemerintah tidak lepas kontrol. Andai para pendemo tidak memberi tawaran di luar polemik yang ditanggapi, itu tidak apa-apa. Masalahnya, mereka tak semurni itu agendanya.

Dalam perspektif pelaku, demo terjadi karena rezim penguasa dirasa semena-mena. Spekulasi kebangkitan komunisme ditangkap dari kontroversi draf RUU HIP, misalnya, dalam kasus sekarang sedang viral. Jauh sebelumnya, ada buku kontroversial juga, Jokowi Undercover, yang menguak Jokowi berlatar anak PKI. Lebih jauh, fraksi pengusul RUU tersebut adalah PDIP—partai yang sedari dulu memang kerapkali dianggap partai nasional-komunis.

Respons tidak terjadi tanpa adanya stimulus. Tidak ada asap jika tidak ada api. Artinya, demo terjadi karena, RUU HIP memang polemik. Masalahnya sekarang, asap mengepul ke mana-mana. Para demonstran tidak hanya mempermasalahkan RUU HIP yang menjadi sumber polemik awal. Mereka bahkan ingin PDIP, sebagai pengusul, dibubarkan dan, Jokowi selaku kader PDIP dituntut mundur.

Last but not least, semuanya sama-sama perlu dikritisi. Sama-sama irasional. Tidak ada pihak yang perlu dibela, baik inisiator RUU HIP maupun demonstran. Oleh karena melebarkan persoalan adalah sesuatu yang tidak perlu, sikap yang harus diambil adalah: tidak menerima RUU HIP, juga tidak ikut demo-demo.

RUU HIP dan Irasionalitas

Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR, saat menerima perwakilan demonstran di senayan, Rabu (24/6) kemarin, mengatakan bahwa DPR akan mencari inisiator awal RUU HIP. Apakah sekadar basa-basi ngapusi para demonstran, ataukah serius, tidak diketahui pasti. Sejauh ini sikap pemerintah menunda pembahasan. Seperti yang sudah-sudah, menunda adalah cara terbaik meredam polemik.

Ketika keadaan mereda, pergerakan akar rumput tidak ada. Yang tersisa adalah negosiasi para politikus. RUU HIP lanjut atau tidak, ada di tangan mereka. Kebijakan yang diputuskan dalam ruang terbatas, mengesampingkan aspirasi masyarakat, bukan hanya tidak dapat diterima akal, tetapi juga menyalahi semua sila dalam Pancasila.

Secara strategi kebijakan, inisiasi RUU HIP kentara irasionalitas. Para wakil rakyat mengherankan sekali ngomong haluan ideologi Pancasila hari ini, tanpa dilandasi kebutuhan mendesak apa pun. Alih-alih menguatkan Pancasila, ia justru mempersempit ruang tafsirnya, memantik perpecahan, menambah polemik kenegaraan. Harusnya, DPR tidak jadi kompor, atau penabuh gendang perpecahan.

BACA JUGA  Etika Politik Berbasis Religi sebagai Kontra-Polarisasi Pemilu 2024

Pada sudut yang lain, demonstran menyampaikan aspirasi yang tidak proporsional dan dilandasi kebencian terhadap pemerintah. Bela Pancasila tetapi tidak hafal Pancasila. Cinta Indonesia tetapi yang dikibarkan adalah bendera Hizbut Tahrir. Atau, demo kasus RUU HIP tetapi orasinya mendesak MPR lengserkan Jokowi. Semua itu, di mana logikanya? Aksi yang irasional.

Irasionalitas pada kedua pihak, baik pengusul RUU HIP maupun penentangnya, harusnya menjadi indikator polemik ini tidak berlanjut. Jika sama-sama nihil argumentasi yang berbobot, untuk apa memperpanjang masalah? Cita-cita apa yang ada di balik polemik ini? Kenapa DPR kepikiran untuk membuat RUU, dan kenapa para demonstran menggelar aksi yang nir-konteks?

Atas nama persatuan negeri, bukankah mencegah mafsadat lebih diutamakan daripada mencipta maslahat? Dalam arti, bukankah sebaiknya RUU HIP tidak ada, sehingga demo juga tidak ada? Jika RUU HIP dibatalkan oleh pemerintah tetapi demo tetap ada, maka keganjilan ada pada demo itu sendiri. Harusnya, meruwat persatuan adalah kewajiban, sewajib menyudahi fitnah antarsesama.

Menyudahi Fitnah

Krisis politik memang bukan persoalan baru. Tetapi, membiarkan iklim politik tidak sehat, timpang oleh ketersalingan fitnah dan benci, menyinyalir kehancuran negeri di masa depan. Karenanya, semua hoax dan sejenisnya, termasuk irasionalitas DPR dan demonstran, yang mempertontonkan ketidakdewasaan berpolitik, harus dihentikan. Sekarang juga.

Fitnah-fitnah segera disudahi. Untuk apa bicara tentang pembelaan dan peneguhan Pancasila, tetapi mencederai kandungan Pancasila itu sendiri. RUU HIP memang memiliki niat yang baik, menurut dewan dari fraksi PDIP. Tetapi mereka buta tentang realitas, bahwa ide gilanya yang sama sekali tidak urgen diterapkan akan mendapat respons dari umat Islam.

Adalah baik jika otoritas legislatif tidak memanfaatkan wewenang untuk agenda-agenda yang kurang penting dan, memancing kemarahan masyarakat. Sikap PBNU sangat tepat, memaksa DPR tidak pongah dan kukuh ingin melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Karena jika demikian, aksi demonstrasi akan digelar kembali. Apakah mereka memang ingin memanas-manasi?

Begitu juga dengan umat Islam yang hobi demo. Seharusnya, jumlah tidak membuat mereka sombong, merasa lebih benar-baik, dan ngotot mau menumbangkan Jokowi. Apakah mereka sulit duduk tenang, anteng, tanpa grasah-grusuh sorak-sorakan takbir di DPR atau di Monas? Tenang tidak berarti lemah. Mudah tersinggung justru adalah sikap kekanak-kanakan.

Tidak teriak-teriak melaknat DPR dan pemerintah bukan berarti berkomplot soal RUU HIP. Justru karena tidak penting diterapkan, bahkan mengundang masalah berkepanjangan, menolak RUU tersebut adalah pilihan yang tepat. Maka, demo-demo itu juga tidak perlu. Atau kalau memaksa ingin aksi, perwakilan petinggi ormas saja yang datang, tidak perlu arak-arakan massa.

Kecuali jika, ada agenda lain di dalamnya, yang tidak perlu diutakan di sini. Menolak RUU HIP karena argumentasi yang jelas, bukan karena ikut-ikutan instruksi atasan. Maka, dengan tujuan akhir ingin menyemai perdamaian, merawat persatuan, mencegah persatuan, harus dilantangkan bersuara, “Tolak RUU HIP, Yes! Ikut Aksi Demo, No!”

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru