30 C
Jakarta

Sukarno Tegas Menolak Khilafah sebagai Sistem Negara

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanSukarno Tegas Menolak Khilafah sebagai Sistem Negara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Munculnya kelompok separatis menjadi pukulan yang keras terhadap keberlangsungan sistem beberapa negara, terlebih Negara Indonesia. Tidak jarang kelompok garis keras ini yang telah merugikan negara merah putih ini, baik kerugian terhadap mereka yang beragam Islam maupun mereka yang beragam di luar Islam. Bagi orang Islam, kerugian yang paling tampak dan terlihat adalah munculnya stigma negatif yang dialamatkan kepada agama Islam sendiri sebagai agama yang gemar melakukan tindakan kekerasan atau terorisme. Sedang, bagi orang di luar Islam, kerugian terbesar adalah tersudutnya mereka berinteraksi di tengah-tengah publik, sehingga mereka menjadi kelompok yang termarjinalkan. Muara dari semua ini tidak lain karena dangkalnya pemahaman sebagian umat Islam tentang Islam sebagai doktrin agama dan Islam sebagai sistem politik, khilafah.

Kelompok separatis yang pernah mengguncang tatanan Indonesia, kemudian dibubarkan oleh pemerintah, namun akhir-akhir ini geliatnya baru terlihat kembali adalah organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini menawarkan sistem baru dan bagi pengikut-pengikutnya disebut sebagi sistem terbaik. Sistem yang dimaksud bertujuan untuk menggantikan sistem republik demokratis yang sudah berabad-abad silam diterapkan di Indonesia, bahkan sistem ini disepakati oleh sekian ulama dan pemuka agama di luar Islam waktu itu. Sistem yang ditawarkan HTI adalah khilafah Islamiyyah.

Sistem khilafah termasuk sistem yang secara sederhana memiliki spirit menyatukan umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dengan menerapkan syariat Islam. Sayangnya, sistem ini sifatnya prediktif atau lebih tepatnya angan-angan kosong saja. Dalam pandangan Azyumardi Azra, sistem yang digunakan oleh para sahabat dan generasi berikutnya bukanlah khilafah, namun dinasti. Pandangan Azra ini secara tegas mengkritik para pemuja khilafah, apalagi sampai memandang khilafah bagian dari syariah Islam. Memandang khilafah sebagai syariah Islam adalah cara berpikir yang keliru dan menyesatkan.

Pemikir muda Akhmad Sahal berpandangan, seandainya Sukarno masih hidup di era kontemporer saat ini, niscaya dia akan menolak khilafah sebagai sistem negara di Indonesia. Sukarno akan menentang manuver para aktivis HTI, seperti Felix Siauw, Ismail Yusanto, dan lain-lain. Karena, mereka tidak henti-hentinya merongrong ideologi Pancasila dan bersikeras menggantikannya dengan ideologi khilafah. Sikap Sukarno yang tegas menolak khilafah terekam dengan jelas dalam tulisannya yang terbit sekitar tahun 1930-an dan 1940-an.

Dalam Surat-surat Islam dari Ende yang terbit pada 1936 Sukarno menulis, “Islam harus berani mengejar zaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada zaman khilafah, tapi lari ke muka, lari mengejar zaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang-gemilang kembali. Kenapa toh kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi zaman khalifah yang dulu-dulu? Sekarang toh tahun 1936, bukan tahun 700, 800, atau 900?”

BACA JUGA  Momen yang Tepat Kelompok Radikal Refleksi di Malam Lailatul Qadar

Pesan penting yang disisipkan oleh Sukarno dalam tulisannya adalah mengajak semua umat Islam hendaknya melihat Islam melangkah ke depan, berpikir dinamis, dan relevan dalam setiap situasi dan kondisi, bukan mundur ke belakang, berpikir tertutup, dan jumud. Ketertutupan dan kejumudan berpikir ini, salah satunya diekspresikan dengan menghadirkan sistem khilafah yang tidak kontekstual lagi. Umat Islam harus sadar bahwa kejumudan berpikir itu akan menutup akal sehat berpikir cemerlang melihat cakrawala Islam di masa depan. Islam akan jadi tertinggal dan kalah dengan agama-agama yang lain karena sikap pemeluknya sendiri yang fanatik. Muhammad Abduh berpesan, “Al-Islam mahjubun bi al-muslimin”. Maksudnya, Islam itu terhalang dan tertutup dengan (sikap) umat Islam sendiri.

Sukarno menegaskan, bahwa api Islam bukanlah Islam yang kuno. Api Islam bukanlah Islam yang ngotot kembali pada zaman khalifah. Api Islam bukanlah dupa, kurma, jubah, dan celak mata, melainkan kemajuan. Islam is progress. Islam adalah kemajuan. Khilafah sebagai institusi politik sejatinya tidak khas Islam dan juga tidak sepenuhnya orisinil dari Islam, melainkan hasil sinkretisme peradaban. Campuran dari sistem politik dari peradaban Yunani, Bizantium, Arab, dan Persia. Di zaman pra modern, institusi politik di kawasan luar Islam juga tentunya mirip dengan kekhilafahan Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah. Semua itu sama-sama kerajaan dan dinasti.

Sebagai penutup, khilafah jelas bukan syariat Islam, melainkan hasil kreativitas manusia. Sebagai produk manusia, tidak fair mengklaim khilafah sebagai bagian dari Islam. Memandang khilafah sebagai bagian dari Islam adalah cara berpikir yang keliru dan menyesatkan. Tidak penting penetapan khilafah sebagai sistem negara, terlebih di Indonesia. Karena, yang paling penting bukan sejauh mana kita menerapkan sistem khilafah atau tidak, melainkan sejauh mana keberhasilan kita mengelola negara menjadi baldatun thayyibah, negara yang berkembang. Ingat, perkembangan sebuah negara ditentukan dengan cara berpikir orang-orang yang hidup di dalamnya. Pikiran yang terbuka akan menjadi jalan keberhasilan sebuah negara.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini diolah dari uraian Akhmad Sahal yang dimuat di akun YouTube CokroTV dengan tema “Sukarno Tegas Menentang Khilafah”

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru