31.7 C
Jakarta

Secepat itu Pagi Menyapa (Bagian XL)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSecepat itu Pagi Menyapa (Bagian XL)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Secepat itu pagi menyapa. Sayup mahasiswa menyesaki ruang kuliah. Diva duduk bersama berdekatan dengan Shaila, mahasiswa asal Bandung. Sudah lama kenal akrab dengan Shaila. Diva mengingatnya, perkenalan itu berawal dari kegiatan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK). Waktu itu Diva dan Shaila mendapat hukuman dari panitia karena terlambat. Mereka dihukum lari-lari kecil mengelilingi barisan peserta yang membentuk segi empat, sembari mereka berterik laiknya orang gila. Aku generasi terlambat, aku generasi terlambat, aku generasi terlambat. Pekiknya sambil menahan malu dilihat mahasiswa yang berpapasan, walau belum pernah mengenalnya.

Shaila termasuk sosok perempuan yang memiliki kepribadian introvert. Dia lebih suka menyendiri daripada berbaur di tengah banyak orang. Kepribadian ini, ceritanya, sangat membantu menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an sampai ia sekarang sudah diwisuda sebagai hafidzah, penghafal full tiga puluh juz. Lebih mengembirakan lagi, Shaila terpilih sebagai wisudah tahfidz Al-Qur’an terbaik di pesantrennya. Prestasi ini yang mengantarkan Shaila meraih beasiswa tahfidz di UIN Syarif Hidayatullah.

Kepribadian Shaila mendapat sambutan yang menyenangkan di mata Diva, kendati Diva sendiri memiliki kepribadian ekstrovert, suka berada di antara banyak orang. Perbedaan yang dibarengi dengan kecocokan ini yang membikin persahabatan mereka berdua tetap bertahan sampai detik ini, bahkan kedekatan mereka serasa saudara sendiri. Shaila yang hafidzah dan banyak menguasai ilmu tafsir semakin memotivasi Diva sadar bahwa di atas orang yang alim masih ada yang lebih alim. Bila di pesantren Diva sering mendapat pujian karena kepintaran dan prestasinya, namun begitu bertemu dengan Shaila, argumentasi Diva sering terpatahkan.

Di ruang kelas Diva memang terlihat lebih pintar dibandingkan Shaila, karena Diva memiliki keberanian untuk menyampaikan kritik terhadap dosen sehingga dosen itu kadang manggut-manggut seakan tidak bisa berkutik. Shaila lebih memilih diam daripada berbicara. Mungkin, diam itu adalah pilihan terbaik dibandingkan berbicara.

Pagi itu seorang dosen masuk ke dalam kelas. Suasana kelas seketika berubah, dari ramai menjadi sunyi. Dialah Prof. Dr. Fakhruddin ar-Razi, MA atau lebih akrab disapa dengan Fachri. Dosen tamu yang terkenal cerdas dan kritis. Mata kuliah yang diampuhnya adalah Hermeneutika Al-Qur’an.

Hal yang istimewa dari dosen ini, selain mahir dalam studi ilmu, usianya masih relatif muda. Seingat Diva, Pak Fachri berusia dua puluh lima tahun. Dalam usia semuda itu, dia sudah meraih gelar profesor dan dinobatkan sebagai guru besar di kampus UIN Syarif Hidayatullah.

Sudah kesekian kalinya Pak Fachri mengisi mata kuliah di kelas Diva. Kajian hermeneutika yang disampaikannya sering membangkitkan semangat mahasiswa untuk berdiskusi. Diva, salah satu mahasiswi yang sering mengkritik gagasan Pak Fachri.

Hermeneutika dan Ulumul Qur’an merupakan ilmu Al-Qur’an yang tidak dapat disamakan, sekalipun keduanya memiliki sisi persamaan. Namun, bagi Pak Fachri, hermeneutika dan Ulumul Qur’an adalah dua objek yang sama. Berangkat dari situ, suasana kelas menjadi riuh seakan para demonstran berteriak di tengah jalan.

Pak Fachri sering diklaim liberal, karena gagasannya yang nyeleneh. “Al-Qur’an itu teks mati yang perkembangannya ditentukan oleh pembacanya.” Kalimat ini menjadi kalimat pembuka kuliah pagi itu. Sebagian mahasiswa mulai belingsatan dan terusik dengan pernyataannya.

“Pembaca Al-Qur’an hendaknya tidak memosisikan Al-Qur’an sebagai teks yang dipahami sesuai dengan kehendak Tuhan. Karena, perkembangan Al-Qur’an tidak ditentukan oleh Tuhan sebagai pengarang, namun ditentukan oleh kita sebagai pembaca. Maksudnya, Al-Qur’an ada di tangan pembacanya. Pembaca memiliki kuasa untuk memahami Al-Qur’an sesuai dengan kehendaknya.” Pak Fachri melanjutkan penjelasan tentang posisi Al-Quran di tangan pembacanya.

BACA JUGA  Mengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan

Pak! Suara itu datang dari arah tak jauh dari posisi Pak Fachri berdiri.

“Izin bertanya, Pak.” Shaila berkata lirih dan pelan. Seluruh mata mengarah kepada Shaila. Baru kali ini Shaila buka suara di depan dosen, apalagi saat dosen sedang menjelaskan. Sepertinya, ada yang janggal di benak Shaila.

“Silahkan!” ucap Pak Fachri dengan nada lirih. Pak Fachri melihat Shaila dengan pandangan tajam seakan kalimat demi kalimat yang disampaikan Shaila tak ingin luput dari perhatiannya.

“Al-Qur’an itu kan firman Allah. Tentu, yang mengetahui maksud di balik firman-Nya adalah Allah sendiri sebagai pengarang. Terus, mengapa Bapak lebih memperhatikan pembaca yang kebanyakan hanya menduga saja?” Shaila mengemukakan kata demi kata dengan hati-hati.

Pak Fachri mengomentari, “Saya tidak menyangkal Allah adalah pengarang kitab Al-Qur’an. Saya sebagai muslim, tetap meyakininya. Sebagai pengarang, teks yang ditulis-Nya tidak selamanya diikat dan dipenjara dengan maksud pengarangnya. Teks memiliki kebebasan berinteraksi dengan siapapun dan di manapun. Masa teks yang diturunkan kepada Nabi Muhammad berabad-abad silam masih dipahami dengan pemahaman masa dulu. Itu artinya ketinggalan zaman. Teks itu dinamis. Makanya, pahami teks sesuai dengan pemahaman pembacanya.”

Bernafas sejenak penjelasan itu dilanjutkan.

“Kehadiran teks Al-Qur’an, kalo aku boleh menganalogikan, tak ubahnya status di media sosial. Sebut saja, Facebook, Instagram, Twitter, atau apalah. Di saat status itu dipost, teks itu bukan menjadi milik penulis teks lagi, tapi menjadi milik netizen sebagai pembaca. Netizen bebas memahami dan mengomentari teks itu, tidak dibatasi oleh maksud penulisnya.”

Analogi yang dikemukakan Pak Fachri memang cukup rasional. Sebagian mahasiswa kelihatan mulai menyetujui gagasan Pak Fachri yang kontroversial. Lain hal, Shaila, apalagi Diva, masih tidak bisa menerima analogi semacam itu.

Diva tiba-tiba ikut berkomentar. “Tapi, Al-Qur’an kan tidak dapat disamakan dengan status yang ditulis oleh manusia. Al-Qur’an itu firman Tuhan. Membacanya termasuk ibadah. Al-Qur’an adalah kalam yang sempurna dan mulia, diturunkan juga kepada Nabi yang mulia pula.”

“Ingat, menghormati Al-Qur’an bukan sebatas membatasi diri menafsirkannya. Menghormati Al-Qur’an yang paling utama begitu ia dipahami dengan pemikiran yang terbuka, dinamis, dan up to date. Hanya pimikiran yang tertutup yang dapat menggiring Al-Qur’an terkesan gersang dari perkembangan zaman.” Pak Fachri menyanggahnya dengan gagasan yang sedikit menyadarkan Shaila, Diva, beserta mahasiswa yang lain.

Berdiskusi dengan Pak Fachri tidak ada habis-habisnya seakan minum air laut, semakin membuat dahaga.

Hati kecil Fachri berkata: Shaila, kau sosok yang pendiam, tapi menakjubkan.

Diva membatin dalam-dalam: Aku hanya mau berterima kasih pada Tuhan telah menciptakan manusia seperti Pak Fachri. Kehadirannya menjadi pelita saat terperangkap dalam gelap kebodohan. Kau membawa sepotong rindu yang baru yang sangat aku dambakan.

Perkuliahan tak terasa sudah berlangsung kurang lebih dua jam. Pak Fachri mengakhiri penjelasan tafsir Al-Qur’an dengan ucapan salam.

Suasana kelas kembali seperti semula. Ramai.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru