31.7 C
Jakarta
Array

Salah Kaprah “Haji” Indonesia

Artikel Trending

Salah Kaprah "Haji" Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Wilbur Scraam menjelaskan bahwa manusia sekarang berada dalam era cyber society. Artinya, segala aspek kehidupan manusia kini tidak monoton. Cyber society menawarkan pola kehidupan yang baru kepada manusia dengan menawarkan pola komunikasi yang lebih efektif dan efisien. Pola komunikasi yang ditawarkan cyber society ini dapat mempertemukan komunikan dan komunikator dalam sebuah dunia maya yang didukung dengan proses penyampaian pesan yang lebih modern.

Salah satu media komunikasi yang ditawarkan oleh era cyber society adalah televisi. Televisi merupakan alat komunikasi yangmemuat aspek pendengaran dan penglihatan yang mempertemukan antara komunikan dan komunikator secara tidak langsung. Televisi hadir sebagai media komunikasi baru yang merupakan pengembangan dari alat komunikasi sebelumnya, radio. 

Sebuah stasiun televisi akan berlomba-lomba menghasilakn sebuah tayangan yang mampu menyeot animo masyarakat untuk menyaksikannya. Semakin tinggi minat masyarakat untuk menontonnya, makan akan semakin tinggi pula rating progam siaran televisi tersebut. Tentunya hal ini juga akan meningkatkan nilai jual stasiun televisi tersebut dalam menayangkan iklan.

Salah satu cara untuk meningkatkan rating siaran, sebuah stasiun televisi akan melakukan kerja sama dengan rumah produksi. Mereka akan bekerja sama untuk menghasilkan sebuah progam siaran yang benar-benar mampu menyedot minat masyarakat. Salah satu cara yang dapat mereka lakukan adalah membuat sebuah tayangan menghibur. Seperti sinetron, FTV, Realiti Show, ajang pencarian bakat, infotaiment, dan lain-lain.

Diantara sekian banyak tayangan yang ditawarkan oleh stasiun televisi, tampaknya sinetron masih menapaki puncak klasemen. Sebuah tayangan sinetron dapat dibuat kedalam beberapa episode, yang mana masing-masing episode tersebut akan saling berkesinambungan. Selain itu, pembuatan sinetron kedalam beberapa episode juga akan menjadikan pemirsanya (penikmat siaran) menjadi penasaran. Sehingga mau tidak mau akan memaksa sang pemirsa akan menonton episode berikutnya. Begitupun seterusnya.

Citra Buruk Haji

Dalam proses pembuatan sebuah sinetron, akan dibuat sebuah alur cerita yang dapat menyihir masayarakat agar seolah-olah masuk kedalam cerita tersebut. Untuk itu, sebuah rumah produksi tak jarang menuliskan cerita fiktif yang menghibur. Akan tetapi, terkadang cerita fiktif yang mereka buat tidak memiliki nilai, baik nilai pendidikan, moral, sosial, dan spiritual.

Sebagaimana sekarang ini, banyak stasiun televisi yang berlomba menayangkan sinetron-sinetron religi. Akan tetapi apa yang terjadi, dalam alur cerita yang mereka buat terkadang menampilkan sosok Pak Haji yang dibuat jauh dari kesan islami. Biasanya sosok Pak Haji akan dibuat memiliki sifat sombong, kikir, malas beribadah, riya’ dan lain-lain.

Penanaman karakter yang jauh dari kesan baik inilah yang memojokkan Pak Haji. Padahal jika kita kaji secara Agamis, seorang Haji adalah orang yang telah memiliki kemampuan agama yang mumpuni dan telah diberikan kesempatan oleh Allah untuk mengunjungi Baitullah. Seorang Haji juga dapat dimaknani sebagai sebuah gelar yang disandangkan kepada seorang tokoh agama yang sudah pernah berziarah ke Makkah.

Jauh bukan dari realitas yang ada sekarang? Penyematan nama Haji dalam stasiun televisi sekarang hanyalah sebagai sebuah gelar yang disematkan untuk mencari perhatian orang lain. Haji dijadikan sebagai sebuah media untuk mencari keuntungan. Sebagai contoh, dalam salah satu stasiun televisi, seorang Haji digambarkan memiliki kebiasaan riya’. Gelar Haji yang disematkan kepadanya hanya dijadikan sebagai sebuah media untuk membangganggakan diri.

Bahkan disalah satu stasiun televisi lainnya, penyematan nama Haji dijadikan sebagai media untuk mengeruk rupiah. Gelar Haji yang disematkan kepadanya digunakan untuk mengelabui masyarakat. Sosok Haji diceritakan sebagai sebuah pekerjaan yang diperoleh melalui undangan masyarakat untuk memimpin sebuah kondangan, tasyakuran, pernikahan,, dan lain-lain.

Alhasil stereotype negatifpun sekarang tersematkan kepada gelar Haji. Sosok Haji yang dulu dikenal alim, dermawan, rendah diri, dan bijaksana pun kini hanya tinggal cerita. Maka tak salah jika sekarang banyak orang yang menganggap Haji hanyalah sebuah gelar yang dapat diperoleh dengan cara pergi berkunjung ke Baitullah. Miris bukan? Namun inilah yang sekarang berkembang di masyarakat.

Padahal Haji merupakan sebuah proses pengkafahan seorang hamba dalam menapaki jalan untuk menuju Tuhannya. Haji dimaksudkan sebagai sebuah wujud dari kesempurnaan islam seorang Muslim. Maka tak salah jika Al-Quran dan As-Sunah menempatkannya sebagai salah satau rukun islam yang harus dikerjalan oleh setiap Muslim. Khusus untuk ibadah haji hanya ditujukan kepada mereka yang mampu. Artinya mampu secara materi, waktu, dan tenaga.

Sebagaimana tertulis dalam haditst Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasalam, “Islam adalah bersaksi tiada Tuhan kecuali Alah dan Muhammada adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadan, dan mengunjungi Baitullah jika dia mampu”.

Untuk itu, sebagai Umat yang sedang merintis jalan untuk mendaki napak tilas Nabi, mari kita meluruskan kembali konsepsi Haji yang sekarang sedang mengalami distorsi. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa Haji bukan hanya sekadar gelar yang dapat diperoleh dengan mengunjungi Baitullah untuk mencarim perhatian orang lain, menyombongkan diri daan bahkan untuk mencari pekerjaan.

Haji adalah pijakan terakhir seorang Muslim untuk meyempurnakan keislamannya. Haji dimaksudkan sebagai penyempurna ibadah-ibadah yang telah dikerjakan oleh seorang Hamba. Maka karenanya, berbahagialah bagi mereka yang telah menjalankan ibadah ini. dan jangan sampai menjadikan ibadah Haji ini untuk kepentingan yang tidak memiliki manfaat bagi orang lain dan agama. Wallahu A’lamu bi Al-Shawab.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru