26.1 C
Jakarta

Risalah Amman dan Sisa-sisa Kehilangan

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahRisalah Amman dan Sisa-sisa Kehilangan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada 20 Juli 2005, The New York Times memuat tulisan Judea Pearl yang berjudul Islam Struggles to Stake Out Its Position. Tulisan Pearl ini sebenarnya adalah curahan kesedihan seorang ayah sekaligus berisi beberapa tanggapan atas hasil Konferensi Islam Internasional di Amman, Yordania, yang bertajuk “Haqiqah Al-Islam wa Dauruhu fi Al-Mujtama’ Al-Mu’ashir (Realitas Islam dan Peran Pentingnya dalam Masyarakat Kontemporer).

Konferensi yang dihadiri oleh 170 cendikiawan muslim mewakili berbagai segmen dari 40 negara ini menghasilkan sebuah komunike yang dikeluarkan pada 6 Juli 2005, 15 hari sebelum Judea Pearl menuliskan curahannya tersebut atas tragedi pembunuhan yang telah merenggut anaknya, Daniel Pearl, seorang jurnalis dari The Wall Street Journal yang dibunuh oleh sekelompok ekstremis Al-Qaeda saat dia melakukan kerja jurnalistik di Pakistan.

Konferensi yang menghasilkan Risalah Amman tersebut banyak mendapatkan apresiasi dari masyarakat internasional karena dinilai telah membuka pemahaman Islam yang ramah, Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, toleransi dan keterbukaan. Tak hanya itu, nilai-nilai tersebut mesti terwujud dalam merespon isu-isu teraktual, terorisme, misalnya.

Mendefinisikan Kembali Seorang Muslim Pasca Risalah Amman

Tapi bagi Judea Pearl, Risalah Amman belum bisa meberikan solusi secara menyeluruh, terutama terkait dengan bagaimana mendefinisikan seorang muslim di era kontemporer ini. Aspek inilah yang dikeluhkan oleh Pearl melalui tulisannya. Meskipun tampak pasrah dan tak sedikitpun mengesankan sikap frontal, sejatinya ia sangat berharap ada mekanisme baru bagaimana komunitas muslim bisa mendefinisikan diri mereka di tengah merebaknya aksi-aksi terorisme.

Ia seperti sangat kecewa namun juga tampak tak berdaya karena salah satu poin Risalah Amman menyebutkan secara tegas bahwa seorang muslim tak bisa dikatakan murtad dari agamanya selama ia masih meyakini Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Di sini ia melihat ada paradoks, di satu sisi Risalah Amman menegaskan nilai-nilai Islam ramah dan penuh toleransi, tapi di sisi lain tak ada fatwa yang secara tegas mengatakan bahwa pelaku aksi-aksi terorisme dalam bentuk apapun bisa dianggap keluar dari Islam.

Sehingga—dan ini yang sangat Pearl sayangkan—orang-orang seperti Usama bin Laden, Mushab Al-Zarqawi dan beberapa tokoh utama pelaku tindakan terorisme lainnya, akan tetap menjadi bagian sah dari komunitas Islam. Sebab mereka masih memegang teguh kalimat syahadat sebagai keyakinan mereka dalam menjalankan agama Islam.

Tentu kekecewaan ini sangat sulit dipahami dari perspektif komunitas Islam, terlebih karena dalil-dalil konvensional memang menyatakan demikian, bahwa seseorang tidak bisa dikatakan keluar dari agama Islam selama dari mulutnya masih terucap kalimat syahadat. Bahkan dalam peristiwa pengepungan komunitas Juhainah, Usamah bin Zaid pernah dimarahi Nabi karena membunuh Mirdas bin Nahik, musuh yang terdesak lalu berucap kalimat lailahaillallah. Usamah terpaksa membunuh Mirdas karena menurutnya, Mirdas mengucapkan kalimat tersebut hanya karena ingin selamat dari maut. Tapi Nabi tetap kukuh menolak argumen Usamah dengan dalih tak ada seorang pun yang mengetahui dengan pasti isi hati orang lain.

Dalam perspektif komunitas non-muslim, mendefinisikan ulang seorang muslim secara utuh menjadi perkara yang mesti segera disikapi. Hanya berpijak kepada teks-teks konvensional jelas tak akan menyelesaikan persoalan. Memang identitas keislaman seseorang tidak selalu merefleksikan nilai-nilai religius yang ramah dan rahmah. Terkadang identitas keislaman hanyalah kamuflase untuk membenarkan tindakan-tindakan teror. Tak jarang pula ia digunakan untuk menutupi ketidakberdayaan atas kekalahan dan ketidakberdayaan dalam mengatasi kebodohan.

Memang benar bahwa orang yang sudah beragama Islam tidak bisa dengan mudah dikafir-kafirkan, dibidah-bidahkan atau dimurtadkan. Tuduhan macam ini adalah perkara yang tidak main-main. Dampaknya bisa fatal secara moral dan sosial. Tapi bagaimana jika persoalan menyangkut nyawa umat manusia yang dibantai dan dihabisi secara nista, dengan dalih membela Tuhan? Benarkah Tuhan menghendaki tindakan pembunuhan massal karena “mereka” berada di luar identitas “kami” sebagai komunitas muslim? Kenapa orang-orang yang jelas-jelas terlibat bahkan menjadi dalang berbagai kerusakan di muka bumi dengan beragam tindakan teror tidak bisa dikatakan telah keluar dari Islam?

Itulah mungkin pertanyaan-pertanyaan yang menjadi kegelisahan Judea Pearl, dan barangkali juga kegelisahan banyak orang di luar komunitas muslim di luar sana. Mereka juga mengapresiasi iktikad baik dari lahirnya Risalah Amman sebagai jawaban atas berbagai persoalan global kontemporer, untuk mempertegas posisi Islam dalam menjaga kedamaian dan perdamaian. Namun pada waktu yang bersamaan mereka juga harus menelan rasa pahit kekecewaan karena orang-orang yang selama ini bertindak atas nama agama, untuk melakukan aksi yang mereka sebut “jihad” melawan hegemoni Barat dan semacamnya, justru masih menjadi bagian dari komunitas Islam, terkecuali mereka secara terang-terangan melakukan pembangkangan atau menyatakan diri keluar dari agama Islam.

Sebagai seorang ayah, tentu kesedihan terbesar Judea Pearl adalah saat kehilangan anaknya. Apalagi kehilangan yang diakibatkan oleh tragedi. Ia pasti akan selalu menghantui hari-hari dalam hidupnya.

Wallahua’lam.

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga. Redaktur sastraarab.com

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru