29.1 C
Jakarta

Ramadhan, Teror dan Deradikalisasi di Masa Pandemi 

Artikel Trending

KhazanahRamadhan, Teror dan Deradikalisasi di Masa Pandemi 
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Laporan International Association for Counterterrorism and Security Professionals (teror) tertanggal 6 Mei 2020 mengutip pesan seseorang di akun media sosial pro ISIS yang menyerukan untuk mengambil kesempatan di masa Pandemi Covid 19 untuk melakukan amaliyah sesuai dengan kapasitas masing-masing. 

Pesan himbauan tersebut boleh jadi berkorelasi dengan apa yang dilakukan oleh Mujahidin Indonesia Timur dan jaringan terorisme di pulau Jawa belakangan ini. Pasalnya setelah ISIS runtuh dan tewasnya Bagdhadi, ISIS melakukan perubahan strategi teror, kini aksi teror ISIS terjadi di negara simpatisan berada. Uniknya, era 4.0 jaringan ini tersambung satu dengan lainnya dengan piranti teknologi internet dan media sosial, singkatnya terjadi metamorfosis dari ISIS yang memiliki teritori menjadi ‘online khilafah.’

Dalam dua bulan terakhir dan di masa Pandemi Covid 19, aparat kepolisian melakukan penegakan hukum terhadap lebih dari 50 orang pelaku yang diduga terkait terorisme, setidaknya ada beberapa operasi oleh aparat kepolisian di Pandeglang, Serang, Kendari, Sidoarjo, Surabaya, Kendari dan Poso. Bukan hanya itu, terdapat juga penyerangan aparat kepolisian dan pembunuhan warga yang dilakukan oleh kelompok Ali Kalora di Poso dan penindakan atas upaya perencanaan penyerangan polisi di Batang.

Seruan amaliyah di masa Pandemi Covid 19 memang cukup mengkhawatirkan, apalagi berdasarkan catatan sejarah, amaliyah juga seringkali terjadi di bulan Ramadhan. Setidaknya tercatat antara lain; Kasus Penembakan Pos Polisi di Surakarta, 17 Agustus 2012; Pelemparan Granat Pos Pengamanan Solo, 18 Agustus 2012; Serangan Bom Pos Polisi Kartasura, Jawa Tengah, 3 Juni 2019-ketiga kasus ini terjadi pada bulan Ramadhan;  sedangkan kasus yang terjadi jelang Ramadhan tercatat Bom Bunuh Diri Mapolresta Solo, 5 Juli 2016; Bom Kampung Melayu, 23 Mei 2017; Bom Gereja Surabaya, 13 Mei 2018; Bom Mapolrestabes Surabaya, 14 Mei 2018; Serangan Teror Mapolda Riau, 16 Mei 2018; Penyerangan Aparat Kepolisian di Poso, 15 April 2020; Pembunuhan Warga oleh MIT di Poso, April 2020. 

Lalu apa yang melatarbelakangi aksi terorisme cenderung naik di bulan Ramadhan, secara historis dan teologis, pertama, Muhammad Adnan juru bicara ISIS tahun 2015 menyerukan amaliyah saat Ramadhan, setelah ujaran tersebut, terjadi aksi teror di Orlando 2016, Ariana Grande 2017 dan Surabaya 2018. Kedua, keyakinan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Jihad dan penaklukan, klaim ini merujuk pada peristiwa peperangan (Perang Badar, Perang Khandaq, Perang Tabuk dan Penaklukan Mekah) di masa Nabi Muhammad SAW terjadi pada bulan Ramadhan.

Catatan Teror

Selama lima tahun terakhir, aksi terorisme cenderung menurun, pada tahun 2018 tercatat aksi terorisme berjumlah 17 peristiwa, di tahun ini serangan di bulan jelang Ramadhan mendominasi, pada tahun 2019 turun menjadi 9 peristiwa aksi terorisme. Angka-angka berdasarkan peristiwa memang terjadi tren penurunan aksi terorisme, bahkan pada tahun 2017 tercatat 12 aksi terorisme sedangkan di tahun 2016 tercatat 6 aksi terorisme. Sedangkan dari sisi pelaku terorisme, tidak mengalami penurunan signifikan. 

Tahun  Peristiwa Terorisme  Pelaku Terorisme 
2016 6 163
2017 12 172
2018 17 396
2019  9 297

Penurunan tren aksi teror tidak bisa dimaknai secara statistik semata, dalam konteks terorisme, tren jumlah aksi teror menurun tidak menjadi argumentasi bahwa terorisme bukan lagi menjadi ancaman keamanan yang sangat membahayakan, mengingat terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban secara massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. 

BACA JUGA  Perang Gaza dan Matinya Kemanusiaan di Barat

Lalu bagaimana sikap jaringan terorisme terkait dengan Covid 19, setidaknya ada empat sikap kelompok yang muncul; kelompok pertama, kelompok yang menyebut Covid 19 sebagai ujian dari Allah SWT terhadap umat Islam; kedua, kelompok yang memanfaatkan Covid 19 sebagai sarana persiapan perang (idad al harbi), kelompok ini memanfaatkan situasi untuk menjalankan propaganda online, rekrutmen sekaligus menggalang pendanaan melalui selubung organisasi amal, ketiga, kelompok amaliyah, kelompok ini akan melakukan amaliyah di tengah situasi pandemi yang ada sekarang, dengan memanfaatkan situasi (Ridwan Habib, 2020), keempat, kelompok yang memanfaatkan Covid sebagai saat yang tepat untuk pengembangan kapasitas skill berupa pengetahuan intelijen dan teknologi informasi (Zora Sukabdi, 2020). 

Tantangan Deradikalisasi 

Deradikalisasi sebagaimana Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang pasal 43 D, menjabarkan bahwa deradikalisasi dapat dilakukan kepada tersangka, terdakwa, narapidana, mantan narapidana terorisme dan orang atau kelompok yang sudah terpapar paham radikal terorisme

Program deradikalisasi selama ini dilaksanakan oleh berbagai stakeholder, pertama, selama dalam proses hukum, dilaksanakan oleh aparat kepolisian dalam hal ini Densus 88, kedua, saat menjalankan putusan hukum di lembaga pemasyarakatan, deradikalisasi dijalankan oleh petugas lapas (Kementerian Hukum dan HAM) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, ketiga, di luar lembaga pemasyarakatan, deradikalisasi dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan HAM) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dalam beberapa tahapan deradikalisasi tersebut, kalangan masyarakat sipil dan Badan Intelijen Negara turut berpartisipasi. 

Saat ini terdapat 988 orang, yang terdiri dari narapidana dan tahanan kasus terorisme yang tersebar di 93 lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia (BNPT). Sedangkan jumlah mantan narapidana terorisme hingga bulan Februari 2020 berada pada angka 906 orang. 

Melihat jumlah yang sedemikian besar, tentunya perlu strategi khusus berkaitan dengan program deradikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan dan di luar lembaga pemasyarakatan, bagaimana stakeholder yang telah terlibat dalam program deradikalisasi dapat melakukan aktifitasnya, karena bagaimana pun deradikalisasi tidak bisa berhenti kendati di masa pandemi Covid 19. Belum lagi, jika melihat melihat cluster terdampak Covid 19, boleh dikatakan, mantan narapidana teroris, deportan, returnee adalah bagian dari cluster tersebut, pertanyaannya, bagaimana memastikan agar bantuan sosial dapat menjangkau cluster ini. 

Akhirnya, Pandemi Covid 19 dan Ramadhan, adalah dua argumen yang dimunculkan oleh kelompok teroris untuk melakukan aksi teror. Untuk itu, perlu kewaspadaan aparat keamanan di fasilitas keamanan, deradikalisasi perlu terus berjalan termasuk kontra terhadap wacana teror dan mencegah penggunaan kegiatan amal di masa Pandemi untuk pendanaan aksi terorisme.

Oleh: Muhamad Syauqillah

Ketua Program Studi Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru