31.3 C
Jakarta

Radikalisme dalam Pendekatan Sufistik

Artikel Trending

KhazanahRadikalisme dalam Pendekatan Sufistik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Radikalisme identik dengan tindakan kekerasan, frontal, penuh konflik serta jauh dari sikap humanis, sehingga sering menimbulkan ketegangan bahkan pertikaian di tengah masyarakat yang membuat kehidupan manusia tidak lagi tenang. Ketegangan dan pertikaian inilah yang nantinya dapat menganggu kedaulatan suatu negara bahkan akan menghancurkan negara itu sendiri manakala ia tidak mampu membendung gerakan radikalisme tersebut. Gerakan ini memang lahir sebagai motivasi untuk mengubah tatanan negara yang sudah ada sesuai dengan tujuan yang diharapkan, menolak kepemimpinan suatu negara dan melakukan berbagai kegiatan “makar” terhadap pemerintah yang sah.

Hal tersebut secara syari’at Islam jelas tidak dibenarkan dan sangat jauh dari aturan-aturan Islam itu sendiri. Namun, Islam sering dijadikan “bungkus” untuk mengencarkan gerakan ini, agar aktivitas, perbuatan dan tindakan yang dilalukannya seolah-olah sesuai dengan ajaran Islam. Ini yang banyak terjadi dan parahnya lagi banyak di antara kita yang terbius oleh paham radikal ini. Pemahaman agama yang rendah atau tidak sempurna, pemikiran yang tidak luas dan pengetahuan yang minim akan lebih mudah terbuai yang pada akhirnya menjadi simpatisan dari gerakan radikal tersebut. Menjadikan Islam sebagai alat kepentingan “nafsu” dan “syahwat” adalah sebagai bentuk kedzaliman yang besar dan keingkaran terhadap jati dirinya sebagai hamba dan wakil Allah di bumi.

Radikalisme hanya mengedepankan ego dan kepentingan pribadi dalam melakukan berbagai tindakan anarkisnya, bukan untuk kemaslahatan umum. Egoisme dan kepentingan inilah yang “merenggut” nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya, sehingga mudah dalam melakukan pembantaian, pembunuhan, pertikaian, teror, ancaman dan tindakan frontal lainnya terhadap kelompok masyarakat yang tidak setuju dengannya atau kontra terhadap gerakannya. Oleh karenanya, radikalisme disebut sebagai musuh negara, bagi saya tidak hanya musuh negara tapi musuh agama.

Benih radikalisme bisa muncul dalam beberapa katagori yaitu: pertama, sikap tidak toleran dan tidak menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yakni sikap yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Ketiga, sikap eksklusif, yakni sikap tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak. Keempat, sikap revolusioner, yakni kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan (Mahmudati, 2014), sehingga radikalisme dimaknai sebagai respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi dan nilai (Alhairi, 2017).

Oleh karenanya, radikalisme menjadi musuh besar seluruh negara di dunia. Kehadiran gerakan-gerakan radikal telah menyebabkan terganggunya keutuhan bangsa dan menenggelamkan nilai-nilai luhur yang menjadi warisan pendiri bangsa. Pada akhirnya dapat menghancurkan bangsa dan negara.Sungguh tindakan radikal adalah perbuatan keji dan berbahaya.Maka wajar apabila agama-agama mengutuk terjadinya tindakan radikal dan terorisme. Karena orang-orang yang bergabung dengan gerakan tersebut cenderung tidak mampu menerima faham atau kelompok yang berbeda faham dengan kelompok mereka.

Sufistik sebagai istilah lain dari ilmu tasawuf dimana orang yang mendalami ilmu ini disebut sebagai sufi (orang-orang suci). Dunia tasawuf (sufistik) menjadi salah satu bagian dari Islam, selain fiqih dan aqidah (ilmu kalam). Tasawuf dikenal sebagai ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, dengan senantiasa membersihkan diri dari berbagai kotoran sifat, perilaku dan akhlak yang buruk menuju kepada sifat, perilaku dan akhlak yang mulia.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Kemudian, melakukan berbagai usaha batin untuk bisa mengendalikan hawa nafsu, syahwat dan egoisme diri. Tasawuf mendidik manusia untuk senantiasa berperilaku baik, bertindak penuh kasih sayang dan mengedepankan persamaan di tengah perbedaan, di samping menyibukkan diri ber-taqarrub kepada-Nya. Sehingga, orang yang mendalami ilmu tasawuf, akan menjadi pribadi yang saleh secara spiritual, moral dan juga sosial. Tipe kesalehan inilah yang nantinya dapat mengharmonisasikan kehidupan manusia yang penuh dengan kemajemukan dan membentuk manusia yang memiliki sikap toleransi dan cinta kasih yang tinggi.

Dengan demikian, sufisme dan radikalisme sangat berbeda jauh. Keduanya bagaikan langit dan bumi yang selamanya tidak bisa disatukan atau dipadukan. Tentunya ini menjadi landasan bahwa gerakan radikalisme akan menjadikan kehidupan mereka gelap, jauh dari cahaya Allah, dan gelapnya hati yang pada akhirnya mereka akan mengalami krisis spiritual. Krisis spiritual ini adalah “lumpuh”-nya koneksi dirinya dengan Allah, sehingga memudahkan mereka untuk berbuat sesuatu yang tidak sejalan dengan petunjuk-Nya. Berangkat dari krisis spiritual inilah manusia akhirnya kehilangan sikap-sikap manusiawi, kepekaannya terkahadap masalaah-masalaah sosial dan “belas kasih”-nya terhadap sesama makhluk. Untuk itu, krisis spiritual juga berdampak pada krisis moral dan sosial.

Tasawuf sebagai program pendidikan jiwa memberikan gambaran umum tentang aspek kemanusiaan sebagai makhluk Tuhan yang sempurna, baik secara fungsional maupun ontologis (Palot, 2017). Unsur spiritualitas memiliki pengaruh yang kuat terhadap proses pembentukan sikap, nilai dan moral seseorang baik dalam kehidupan intrapersonal maupun interpersonal, untuk itu muncullah istilah psikologi transpersonal sebagai pendekatan holistik yang memadukan antara spiritulitas dan psikosintesis (Cunningham, 2011).

Untuk itu, tasawuf sangat berperan penting dalam proses perbaikan budi pekerti manusia, pensucian batin, dan kejernihan pikiran. Melalui kebaikan moral, hati dan pikiran inilah manusia akan senantiasa bertindak, bersikap, berucap dan berperilaku sesuai dengan aturan Allah Swt, dan hanya manusia yang jiwanya bersihlah yang mampu menerapkan sifat-sifat Allah yang mulia. Tasawuf bukan hanya berkontribusi secara spiritual, namun juga moral dan sosial. Artinya, tasawuf menjadi jalan untuk sebuah kesempurnaan kehidupan manusia yang seimbang, bijaksana dan adil, yang selalu menebarkan kemanfaatan, kebaikan di samping meneguhkan ketaatan kepada Allah. Dengan demikian, manusia akan menemukan sebuah ketenangan, kedamaian, kesejukan dan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya, akhirnya menggantarkannya kepada keberuntungan di dunia sampai di akhirat.

Oleh: Muhamad Basyrul Muvid

Penulis, adalah Dosen Agama Islam Universitas Dinamika Surabaya.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru