26.1 C
Jakarta

Radikalisasi Digital: Menghancurkan Indonesia Lewat Dunia Maya

Artikel Trending

EditorialIndonesiaRadikalisasi Digital: Menghancurkan Indonesia Lewat Dunia Maya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kalau kita ditanya: apa sesuatu yang paling meresahkan di era COVID-19 dan paling menakutkan setelah wabah ini berakhir? Barangkali, sebagian kalangan akan menjawab: ambruknya perekonomian dan kemungkinan krisis yang menyebabkan penjarahan. Tentu, jawaban ini tidak keliru. Tetapi, ada hal lain yang tak kalah genting untuk dikhawatirkan di era ini: radikalisasi.

Dulu, ketika COVID-19 mulai menyebar luas, ada ungkapan bahwa yang menakutkan darinya bukan hanya virus itu sendiri, melainkan juga hoax dan stigma. Kini, hoax-hoax tersebut tidak saja seputaran bahaya virus, kecepatan penyebaran, maupun tingkat kematian karenanya. Tetapi juga hoax yang memanfaatkan wabah, yang aktor-aktornya adalah para aktivis khilafah.

Dua kanal YouTube; ‘Khilafah Channel’ dan ‘Fokus Khilafah Channel’ adalah akun babon dari akun-akun radikal lainnya. Ironisnya, dakwah daring yang mereka gelar, yang jelas-jelas menjurus pada radikalisasi digital, tidak mengalami penertiban dari pemerintah. Tidak ada tindakan apapun. Barangkali, pemerintah sedang sibuk menangani berbagai persoalan, terutama wabah ini.

Untuk apa diskusi Muqaddimah Dustur, kalau bukan untuk mendelegitimasi pemerintah dan konstitusi NKRI? Pada akhirnya, menghadapi para aktivis khilafah menggiring kita pada pilihan rumit: memberantas mereka secara total dengan melarang dakwah digitalnya yang menjurus makar, atau kita terhanyut arus, jadi korban mereka. Apa kita harap yang terakhir ini terjadi?

Radikalisasi digital adalah pengembangan dari metode dakwah yang para aktivis lakukan sebelum era COVID-19. Melalui proyek ini, mereka tidak harus bilang, “Ayo tegakkan khilafah!,” atau “Ayo makar kepada pemerintah dan konstitusi yang dipakai RI.” Cukup menggelar kajian secara masif tentang doktrin mereka, pada gilirannya masyarakat akan radikal dengan sendirinya (self-radicalism).

Persoalan ini cukup serius, jika keutuhan NKRI masih tetap menjadi pegangan. Untuk memberantas radikalisme, kita mengenal deradikalisasi diri (self-deradicalism). Biasanya dengan mencekoki mereka kajian positif tentang agama dan negara, atau melalui testimoni radikalis-teroris yang insaf. Karenanya, radikalisasi diri (self-radicalism) juga tidak bisa dikesampingkan. Dalam konteks tertentu, radikalisasi memang tidak akan pernah menemukan titik usai.

Radikalisasi: Proyek Tanpa Akhir

Kapan para aktivis khilafah berhenti jualan ideologinya, menghasut rakyat dengan pemerintah dalam rangka mengganti sistem negara? Jawabannya adalah: ketika khilafah benar-benar tegak di negeri ini. Para cendekiawan kita sudah banyak mengulas dalam literatur-literatur, tentang utopia menegakkan khilafah tersebut. Bahwa, di negeri ini, khilafah tidak, dan tidak akan pernah, relevan.

Sungguhpun demikian, radikalisasi tidak juga mereda. Benih-benihnya bahkan ada  sejak bentuk dan sistem negara ini dirumuskan. Dan setua itu, transformasi dakwah radikal sudah tidak terhitung jumlahnya. Literatur terkait juga dihadirkan. Satu-satunya senjata yang membuat negeri ini bertahan adalah kesatuan dan persatuan.

Menunggu radikalisasi berhenti adalah sama nihilnya dengan mimpi menegakkan khilafah itu sendiri. Tidak akan pernah terwujud. Ia tidak memiliki titik usai, dan merupakan proyek tanpa akhir. Momen-momen ditunggu, dalam setiap episode propaganda khilafah yang dilakukan. Para aktivis khilafah tidak ragu menyeret agama ke wilayah profan, mengeksploitasinya sebab sebuah kepentingan.

Radikalisasi digital secara efektivitas tidak perlu dipertanyakan. Sesuatu yang diulang terus-menerus maka akan memengaruhi pola pikir seseorang. Paling tidak mindset keberagamaannya berubah secara otomatis, dari yang tidak radikal menjadi radikal, tanpa menyadari bahwa ia sudah radikal, sehingga tidak mau dicap radikal.

Klimaknya, dengan demikian, yaitu radikalisme diri (self-radicalism). Jika dibiarkan, bukan mustahil nanti saat wabah COVID-19 reda, kaum radikal mendominasi kaum moderat. Narasi radikal juga mendominasi publik, yang berakibat terhadap ketidakseimbangan. Konsep moderasi Islam akan semakin sulit diterapkan. Perpecahan pun bisa jadi tak terhindarkan.

Self-Radicalism

Apakah radikalisme diri adalah ujung tombak dakwah radikalisasi digital? Jelas tidak. Akhir dari radikalisme adalah terorisme. Dengan demikian, preseden terburuk dari radikalisasi digital adalah maraknya terorisme. Masyarakat tidak perlu mentor untuk menjadi teroris. Rutinitas mereka menyimak kanal YouTube khilafah akan mengantarkan mereka ke dalam perilaku teror.

Wajah suram masa depan republik ini menghantui kita, apakah akhir COVID-19 sekadar menyebabkan krisis ekonomi, atau justru juga krisis persatuan. Spekulasi ini tidaklah mengada-ada. Tidak ada yang bisa menyangkal, kegigihan para aktivis khilafah mesti dilawan secara serius, atau akan kita biarkan mereka memorak-perandakan negara.

Self-radicalism menjadi momok baru persoalan yang harus kita hadapi. Ke depan, spirit persatuan wajib dirajut, sekalipun wabah belum juga mereda. Kajian-kajian keislaman-kenegaraan harus lebih masif lagi, sebagai upaya self-deradicalism, antonim self-radicalism. Dalam hal kegigihan, kita patut belajar kepada para aktivis khilafah. Tetapi dalam hal konten kajian, wajib kita menentangnya.

Klimaks radikalisasi digital bisa diketahui kelak, ketika wabah ini berakhir, karena saat itu mungkin kajian mereka tidak semasif hari ini. Tetapi, dampaknya akan tempampang jelas, apakah mereka berhasil, atau justru pertarungan ini dimenangkan kalangan moderat. Setiap kemungkinan selalu ada, tergantung bagaimana menggunakan peluang masing-masing.

Yang jelas, jika para aktivis khilafah menang, dan masyarakat banyak terpangaruh indoktrinasinya melalui dakwah digital, maka kita harus siap-siap menghadapi tantangan berikutnya: tegaknya khilafah. Mungkin, itu butuh waktu lama. Tetapi jika pergerakannya terus mengalami peningkatan, bukankah pada akhirnya mereka benar-benar tegak menggantikan Pancasila?

Terhadap hal itu, tidak ada yang bisa diucapkan kecuali harap: “Semoga tidak benar-benar terjadi!

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru