33.2 C
Jakarta
Array

Polarisasi Islam Moderat vis a vis Islam Radikal

Artikel Trending

Polarisasi Islam Moderat vis a vis Islam Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kuntowijoyo (2001) pernah memberikan pernyataan bahwa generasi muslim baru telah lahir dari Rahim sejarah tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya. Kelahirannya bahkan tidak terdengan oleh muslim lainnya. Mereka kini bermekaran dan ada di mana-mana. Pengetahuan agama mereka bukan dari lembaga konvensional, sperti masjid, pesantren, atau madrasah, melainkan dari sumber anonym, seperti Kurusu, seminar, buku, majalah, kaset, CD, VCD, internet, radio, dan televisi.

Pernyataan ini dibuat oleh Kuntowijoyo pada tahun 1999. Pada saat itu, fenomena seperti ini sangat terlihat jelas dalam masyarakat kota. Hal ini dikarenakan akses masyarakat kota untuk informasi terbuka lebar, sehingga memudahkan mereka untuk mencari informasi terkait dengan ajaran agama. Kuntowijoyo menilai bahwa gejala seperti ini banyak terjadi pada generasi muda. Generasi ini yang kemudian disebut oleh Kuntowijoyo sebagai generai muslim baru perkotaan.

Generasi muslim tanpa masjid ini muncul akibat kurang intensifnya interaksi mereka dengan masjid. Sejak SD hingga Perguruan Tinggi, anak muda telah diasingkan dari lingkungan masjid atau pesantrennya. Adanya pengajian dalam sekolah; adanya OSIS bidang keruhaniaan; memberikan pemenuhan keruhanian para siswa, sehingga model seperti ini justru menjauhkan siswa dari pusat keagamaan di kampungnya, di masjid atau pesantren.

Bahkan di dalam masyarakat modern saat ini, keberadaan internet semakin berkembang pesat dan memberikan berbagai informasi terkait dengan ajaran agama. Mulai dari ajaran agama yang moderat hingga radikal pun bermunculan di internet. Dampaknya adalah kontruksi masyarakat muslim Indonesia yang selama ini didominasi oleh dua ormas besar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, semakin kabur. 

Konstruksi keberagamaan yang selama ini terlihat merupakan hasil dari adanya keterlibatan secara intens oleh kelompok NU dan Muhammadiyah dalam masyarakat. Meskipun pada saat Pra Revolusi, dan bahkan hingga pertengahan Orde Baru, antara NU dan Muhammadiyah terjadi polarisasi, akan tetapi semenjak adanya gerakan fundamentalisme dan radikalisme di Indonesia akhirnya menyatukan NU dan Muhammadiyah, yang selanjutnya disebut sebagai kelompok muslim moderat. 

Akan tetapi, saat ini peranan dunia maya dalam menkonstruk kesadaran masyarakat beragama memiliki andil yang cukup besar. Pengajian tiap hari ditelevisi; kanal-kanal pengajian di Youtube; selembaran pengajian akbar; memperkuat tesis Kuntowijoyo bahwa saat ini semakin banyak generasi baru muslim tanpa masjid. Ulama-ulamanya pun bermunculan di mana-mana; dan ulama sudah menjadi kategori intelektual.

Apa yang ditakutkan dengan adanya fenomena seperti ini adalah ketika kelahiran generasi muslim tanpa masjid ini justru ke arah radikal, terutama bagi kalangan muda yang sedang duduk dibangu perkuliahan. Dalam laporan Badan Nasional Penanggulan Teroris (BNPT) mencatat bahwa terdapat 7 perguruan tinggi yang terpapar radikalisme, yakni Universitas Indonesia (UI), Institute Pertanian Bogor (ITB), UNDIP, Institute Teknologi 10 November (ITS), Universita Airlangga (UNAIR), dan Universitas Brawijaya Malang (UB).

Pengamat radikalis mengatakan bahwa bibit radikalisme tumbuh di perguruan tinggi ketika negara memberhentikan semua kegiatan kampus. Pada saat itu pemerintah menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), sehingga praktis kegiatan kemahasiswaan kosong dan mahasiswa mencari kegiatan pengganti diisi dengan kegiatan keagamaan. 

Kuntowijoyo juga mengatakan bahwa pada saat itu terjadi ‘depolitisasi’ sekolah dan kampus lewat OSIS dan NKK. Akan tetapi, kegiatan kerohanian yang diadakan oleh kampus justru menjadi ladang subur bagi pertumbuhan gerakan radikal. Hal ini yang kemudian mendorong jumlah kelahiran muslim tanpa masjid di perkotaan atau di perguruan tinggi, khususnya di kalangan muda.

Dengan adanya ajaran agama di media dan pihak sekolah/kampus memberikan tempat alternative belajar agama, maka semakin banyak pula generasi-generasi baru muslim tanpa masjid. Sebab, anak-anak sekolah akan lebih tertarik untuk belajar agama bersama dengan teman-temannya karena masih seusia (peer group). Sedangkan pembelajaran di rumah dilakukan dengan cara melihat tayangan tv atau media sosial seperti facebook, youtube, dan media sejenisnya.

Jika kelahiran generasi baru ini berujung pada sikap beragama yang radikal, maka polarisasi antara muslim moderat dan radikal akan semakin nampak. Jika polarisasi antara NU di desa dan Muhamamdiyah di kota sudah tidak lagi terlihat di era saat ini, karena sudah bersatu dalam bingkai moderat, maka dalam rumus oposisi biner yang dimunculkan adalah muslim moderat dan radikal. 

M. Mujibuddin SM
M. Mujibuddin SM
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru