27.6 C
Jakarta

Persaingan Sengit Situs Web Moderat-Progresif vs Radikal-Konservatif

Artikel Trending

EditorialPersaingan Sengit Situs Web Moderat-Progresif vs Radikal-Konservatif
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Coba kita lakukan refleksi diri: jika ada sesuatu yang tidak kita ketahui, apa pun itu, yang penting untuk kita ketahui, hari ini, praktisnya, memakai apa? Jawabannya adalah: Google. Raksasa web mesin pencari ini menampung segala kebutuhan, dan tahu apa pun, hingga muncul anekdot-anekdot lucu. “Guruku kiai, bukan Mbah Google,” “Tanya aja ke Syekh Google,” dan lain-lainnya.

Kita harus berangkat dari premis awal, bahwa, internet telah menjadi kebutuhan primer. Pada saat yang sama, hasrat keingintahuan akan agama, Islam, mengalami eskalasi yang signifikan. Hal ini yang kemudian menggerakkan kesadaran kolektif: berjuang, bersaing, memberikan akomodasi. Yang ingin tahu Islam, cukup mencarinya di Google. Wacana Islam meningkat. Harusnya, ini menggembirakan.

Namun sayang tidak seperti yang diharapkan. Alih-alih memberikan pemahaman yang komprhensif tentang Islam, justru yang terjadi adalah persaingan ideologis. Dengan kata lain, Islam yang ada di mesin pencari, yang diakomodir situs-situs web bertajuk keislaman, justru memperkeruh dan membingungkan. Sebab apa yang disajikan, disesuaikan dengan kepentingan masing-masing.

Yang terjadi selanjutnya adalah persaingan antarsitus web keislaman. Ada yang melakukan indoktrinasi, mencekoki pembaca dengan paham-paham berbahaya. Ada yang berusaha mengkonternya. Ada juga yang berkedok menjadi rujukan umat, tetapi yang disuguhkan sarat ideologis. Ada juga yang, parahnya, hanya mengambil keuntungan komersial.

Pada Editorial kali ini, kita akan menelisik perang sengit antarsitus web tersebut. Ini untuk menggugah kesadaran, bahwa tidak semua yang disuguhkan di situs web yang kita cari, sangat presisi, tanpa kecenderungan ideologi tertentu. Adalah sangat berbahaya bila kita tidak cerdas memilah. Bukan semakin paham, justru semakin sesat, bodoh, dan brutal.

Apakah mungkin itu terjadi? Sangat. Kalau kita lihat grafik platform mainstream; YouTube, Facebook, Twitter, dkk, disitu jelas betapa masifnya paham Wahabi, ideologi transnasional disuguhkan. Pemurnian Islam—dalam arti negatif—lantang disuarakan. Islam berimej keras menumpuk ulasannya. Situs web keislaman yang moderat, multikultural, progresif, kalah jauh. Kita saksikan, itulah pertarungan sengit Situs Web Moderat-Progresif vs Radikal-Konservatif. Menarik, bukan?

Hikmah Pandemi

Dilansir Tirto.id, Savic Ali, pendiri situs web islami.co, pernah melakukan kategorisasi web keislaman. Pertama, Islam ultra-konservatif. Web ini tidak kentara unsur politis, melainkan berideologi Salafi-ortodoks. Dicirikan, misalnya, tidak ada gambar perempuan, misalnya almanhaj.or.id dan muslim.or.id. Kedua, Islam politik, yang narasi kontennya adalah tentang supremasi Islam.

Banyak sekali situs web masuk kategori ini, yang bertolak pada fakta bahwa Islam harus di atas agama apapun lainnya, sehingga menyuarakan aspirasi-aspirasi politis yang dianggapnya itu berasal dari Islam. Ketiga, situs web yang profit-oriented, sekadar mencari keuntungan belaka. Keempat, Islam multikultural. Biasanya, web kategori ini memparkan moderasi Islam, seperti toleransi, kesetaraan, keadilan, juga mengkonter narasi-narasi ingpada web kategori kedua di atas.

Jujur saja, kuatnya persaingan antarsitus keislaman mengemuka, salah satunya, itu berkat pandemi COVID-19. Demikian karena, selama masa pandemi, kita dituntut untuk melakukan apapun secara daring. Kalangan radikal-konservatif sudah bergerak masif dari dulu, menguasai rimba internet. Mereka menjadi rujukan keislaman arus utama, mengalahkan semisal NU dan lainnya.

BACA JUGA  Mawas Diri dari Propaganda Khilafah di Bulan Ramadan

Itulah kenapa almanhaj.or.id dan muslim.or.id menang secara traffic kunjungan dibanding nu.or.id,  versi Alexa. Pada saat bersamaan, Khilafah Channel di YouTube menang jauh pada kanal-kanal lain yang berhaluan moderat. Dan, yang terpenting, mereka istiqamah, menggelar kajian rutin betapapun sedikit yang menonton, meyakinkan publik bahwa merekalah ‘Islam’. Mau belajar Islam, maka kepada mereka. Mereka murni. Narasi ini dibangun terus-menerus, menjadi indoktrinasi.

Berdasarkan relasi ideologi, web keislaman kemudian dapat dipetakan menjadi empat: Wahabi-revivalis, khilafah-islamisme, ormas-santri, dan milenial multikultural. Ini bisa saja tidak akurat, tetapi kita bisa memeriksanya langsung. Portalislam.com, arrahmah.com, eramuslim.com, dan dakwatuna.com yang berorientasi Wahabi-islamisme bersaing ketat dengan www.www.harakatuna.com, arrahim.id, harakahislamiyah.com, bincangsyariah.com, bahkan islami.co sebagai representasi web milenial-multikultural.

Sementara islampos, rumaysho.com, dan konsultasisyariah.com, yang berorientasi revivalis, bersaing ketat dengan web moderat seperti laduni.id, suaramuhammadiyah.com, hingga nu.or.id. Pertarungan gagasan keislaman ini tidak akan menemukan titik rekonsiliasi, sebab ideologinya berbeda. Apa yang harus, wajib, kita lakukan, adalah memasifkan moderasi itu sendiri. Itulah tantangannya.

Tantangan Web Moderasi

Ini adalah tantangan yang tidak mudah, sekalipun situs keislaman moderasi-oriented memang tengah bangkit: meluruskan pemahaman tentang Islam hingga mengkonter segala indoktrinasi dan pelintiran kebencian yang situs web radikal-konservatif suguhkan. Butuh waktu yang relatif lama untuk mengejar ketertinggalan ini. Kuncinya satu: istiqamah.

Jelas istiqamah bukanlah sesuatu yang klise. Kalau mau jujur, menangnya kalangan radikal-konservatif maupun Wahabi-revivalis, itu disebabkan kalangan moderat-progresif itu sendiri, yang cenderung menganggap enteng, tidak melawan, hanya melindungi diri, dari serangan mereka. Padahal, itu sama sekali tidak cukup. Mereka menyerang kita, lalu kenapa kita anteng saja?

Kesadaran yang harus dipupuk secara kolektif adalah, bahwa, untuk memoderatkan umat, untuk mengajarkan moderasi Islam kepada masyarakat, itu berbanding lurus dengan kewajiban mengkonter narasi negatif yang justru merusak umat. Pendek kata, untuk mengajarkan yang makruf, kita harus menelanjangi yang mungkar—tidak sekadar membentengi diri belaka.

Indoktrinasi masif situs web keislaman radikal-konservatif mudah sekali diberantas, dengan menyuguhkan umat perihal imej Islam yang sebenarnya. Jika tidak, maka perlu disadari, pergerakan mereka tidak hanya riskan untuk agama, menjadi bentuk eksploitasi agama, tetapi juga—dalam konteks Indonesia—dapat menghancurkan negeri.

Karenanya, persaingan sengit situs web moderat-progresif vs radikal-konservatif hendaknya tidak dimaknai secara negatif. Apa yang harus kita lakukan ialah melawan, tidak hanya membentengi diri. Ini bukanlah tentang angka, peringkat di Alexa. Ada yang lebih krusial daripada itu, yaitu keutuhan bangsa. Islam di Indonesia tidak ada yang bermasalah, juga tidak didiskriminasi.

Pada situs-situs web radikal-konsevatif, kita akan temui narasi-narasi bahwa: Islam dianiaya, Muslim harus bersatu, Islam harus dimurnikan, bahkan khilafah harus tegak. Itu semua tidak tentang pengajaran agama lagi, melainkan upaya merebut kekuasaan—sangat politis. Islam terlalu rentan dieksploitasi. Mereka sangat mahir menulis, memanipulasi kebenaran. Perang web keislaman ini tetap berkecamuk, dan kita akan tetap anteng tanpa ada niat melawan pergerakan mereka? Ironi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru