25.6 C
Jakarta

Percakapan dari Hati ke Hati (Bagian XLI)

Artikel Trending

KhazanahOpiniPercakapan dari Hati ke Hati (Bagian XLI)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sore ini membuatku flashback sembari mengajakku memandangi luasnya sawah tempat Eppa’ dan Emma’ mengayuh rezeki saban hari. Tempat itu menenangkanku saat hati mulai gundah dan pikiran mulai kusut.

“Cak Fairuz.” Suara itu terdengar keras menyeka lamunan Fairuz yang sedari tadi memandangi dedaunan yang sedang melambai.

Suara itu tak asing. Tapi, pemilik suara tampaknya tak begitu jelas di mata Fairuz. Fairuz mengernyitkan dahi sembari memelototi pemilik suara.

“Lagi ngapain, Cak?” Orang itu berkata keras setelah Fairuz tidak menjawabnya.

“Siapa?”

“Halah, Cak, masa nggak kenal?”

Fairuz menyeka, “Bukan. Nggak kelihatan.”

“Solihin, Cak. Masa lupa?”

“Lha, Solihan teman sekelas dulu itu?”

Fairuz mulai meraba kenangan masa-masa sekolah Madrasah Ibtidaiyyah (MI) atau selevel SMP dulu. Dialah Solihin, teman sekelas Fairuz kala itu. Dia dikenal siswa yang suka tidur di dalam kelas. Hampir semua pelajaran, Solihin tidur. Dia dijulukin Ashhabul Fashli, penikmat tidur di kelas. Saking seringnya tidur, teman-temannya gemar jahilin dia. Kalo Solihin tidur di dalam kelas sampai waktu bel pulang belum bangun, biasanya kelas dikunci, sedang dia tidur sendirian sampai menjelang sore. Baru ia bangun sambil melihat ruang kelas sudah kosong. Hanya ada dia dan deretan bangku. Lalu, dia berteriak minta bukain pintu.

“Benar, Cak.”

“Baru kelihatan. Masih suka tidur?” Mendengar pertanyaan itu Fairuz dan Solihin ketawa selepas mungkin.

“Masa, Cak, nggak tahu? Kan aku baru pulang kampung.”

“Kang, ngobrol di sini aja.” Fairuz mengajak Solihin yang dari tadi berdiri. Solihin mendekati tempat duduk Fairuz.

Banyak cerita terbingkai sore itu. Solihin sudah bertahun-tahun merantau ke Jakarta. Di sana dia bekerja jualan sate Madura. Karena jualannya laris, dia sudah buka puluhan cabang sate Madura. Dari situlah, dia dapat membiayai kebutuhan orangtuanya.

Tetangga Solihin, termasuk Fairuz sendiri, kaget seakan tidak percaya melihat masa lalu Solihin yang dikira oleh teman-temannya tidak bakal menjadi orang sukses, karena keseringan tidur di sekolah. Tapi, begitulah nasib. Sosok Solihin yang sekarang ternyata lebih kharismatik dibandingkan Solihan yang dulu.

BACA JUGA  Menjaga Toleransi: Refleksi Keberagaman di Bulan Ramadan

“Itu ceritanya gimana?” Fairuz penasaran mendengarkan cerita sahabatnya yang berjuang di tanah rantau.

“Baru-baru sampai di Jakarta,” cerita Solihin dengan mata berkaca-kaca, “aku hanya bawa uang lima ratus ribu. Hidup di Madura dengan uang segitu mah cukup sebulan. Tapi, di Jakarta hanya cukup satu minggu.”

Fairuz membenarkan, karena biaya hidup di kota mahal, sehingga butuh income, pendapatan yang lumayan tinggi.

Solihin melanjutkan. “Berbulan-bulan aku nggak dapet pekerjaan. Lamar sana ditolak, lamar sini ditolak. Saat itulah aku bertekad jualan sate. Dari situlah aku mulai bisa bertahan hidup, walaupun dicukup-cukupin awalnya.”

Solihin diam sejenak. Seakan mengingat perjuangannya di tanah rantau.

“Sekitaran berapa lama ya? Oh ya, sekitar setahunan aku jualan sate, pembeli semakin banyak. Banyak pembeli yang cerita kalo sate Madura memiliki khas tersendiri dibandingkan sate yang lain. Pokoknya mantap di lidah, katanya.”

Solihin memang lulusan Madrasah Ibtidaiyah. Belum menjadi sarjana seperti Fairuz. Tapi, kesuksesannya terlihat dari perekonomiannya yang kian meroket. Memang betul, sekolah tidak menjamin seseorang menjadi sukses. Hanya kreativitas yang dapat menentukan kesuksesan.

Fairuz yang banyak mengenyam pendidikan dapat mengantarkannya menjadi pribadi yang berilmu dan menjadi tumpuan para masyarakat. Solihin yang banyak minum garam kehidupan mengantarkannya menjadi sosok yang gigih melawan kemiskinan sampai kekayaan dapat ia gapai.

Percakapan sore itu akhirnya berhenti saat binar-binar senja membentang di tengah persawahan. Fairuz dan Solihin menatap binar senja itu sampai mata mereka tak ingin melepasnya. Mereka sosok yang sukses di mata banyak orang. Pujian seringkali menghias kepribadiannya. Tapi, apa yang dikatakan banyak orang soal kesuksesan belum sepenuhnya dirasakan oleh mereka berdua. Mereka masih merasakan jiwanya kosong, belum sempurna. Mereka sadar mereka masih sendiri, belum ada bidadari berhati Khadijah yang dapat melengkapi hidupnya.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru