26.3 C
Jakarta

Pentingnya Sertifikasi Dai di Tengah Maraknya Radikalisme-Khilafahisme

Artikel Trending

EditorialPentingnya Sertifikasi Dai di Tengah Maraknya Radikalisme-Khilafahisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“3 Jam Hujan Kritik DPR ke Menag Soal Radikalisme Good Looking,” seperti itu tagline berita di CNN Indonesia pada Rabu (9/9) kemarin. Detik beda lagi. Ia memotret sertifikasi dai, yang hari ini tengah menjadi polemik, melalui sudut pandang MUI. Selasa (8/9) lalu, muncul berita berjudul tegas: “MUI Tolak Sertifikasi Dai: Berpotensi Jadi Alat Kontrol Kehidupan Keagamaan”. Tetapi, meski berbeda, kedua berita tersebut sebenarnya menyatu dalam satu bingkai angle: tersudutnya Kementerian Agama.

Sertifikasi dai, sesungguhnya, bukanlah kebijakan baru. Usulannya sudah muncul sejak 2017 lalu, dan MUI sempat menerapkannya pada tahun 2019. Ratusan pendakwah sudah berhasil memperoleh sertifikat, termasuk Haikal Hasan yang hari ini keras mengatakan tak setuju. MUI yang ketika itu menjadi pihak penyelenggara, justru menentang kebijakan sertifikasi setahun sesudahnya. Pertanyaannya: yang salah itu kebijakan Kemenag, atau memang ada yang berubah dari MUI sekarang?

Kita sudah mengulas inkonsistensi MUI tersebut dalam rubrik Milenial Islam, kemarin. Editorial kali hendak mengulas perspektif yang berbeda, yang lebih substansial, tentang kebijakan yang rencananya diterapkan mulai pertengahan bulan nanti. Sebagaimana kita tahu, sejak Ramadhan lalu, berlanjut ke peluncuran film dokumenter palsu Jejak Khilafah, dan semakin beraninya para aktivis khilafah menampakkan sikap radikalnya melalui media sosial, keadaannya sudah bukan aman lagi.

Kita berada di era, di mana indoktrinasi khilafah sangat marak, dan agitasi kaum radikal menambah banyak pemuja khilafahisme di negeri ini. Apakah masyarakat tidak memiliki kesadaran bernegara yang baik? Tidak juga. Apakah pemerintah absen dalam melakukan kontra-narasi pergerakan mereka? Tidak juga demikian. Radikalisme-khilafahisme marak justru karena sangat masifnya pergerakan mereka dan, itulah intinya. Masihkah akan kita anggap bahwa penertiban dai merupakan sesuatu yang salah?

MUI boleh saja menolak sekeras-kerasnya, mengabaikan betapa pentingnya program tersebut. Jika Haikal Hasan menegaskan bahwa penolakan tersebut karena tidak dilakukan oleh MUI, dan mengecilkan kemampuan Kemenag, maka tidak berlebihan bila dikatakan: penolakan tersebut kentara kepentingan politis. Sekarang tugas kita adalah refleksi diri, apakah akan mengikuti Menag yang sadar bahwa radikalisme-khilafahisme sangat masif, atau mengikuti MUI yang inkonsisten—memberi ruang infiltrasi?

MUI dan Infiltrasi Radikalisme

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lumbung organisasi keislaman. Lingkupnya nasional, itu kuncinya. Siapapun yang menakhodai MUI, ia bisa mengontrol laju-arah narasi keislaman di Indonesia. Karenanya, anggotanya beragam. Beragam secara ideologi, beragam pula kepentingannya. Tahun lalu, Cholil Nafis sebagai Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI menerapkan kebijakan sertifikasi dai. Sekarang, MUI menolak kebijakan yang pernah ia sendiri terapkan. Aneh, bukan?

Pasti, sesuatu sedang terjadi di internal MUI. Tidak bisa dibayangkan misal sesuatu tersebut adalah infiltrasi. Infiltrasi para penganut Islam radikal, maksudnya, yang berafiliasi dengan PA 212, lebih parah lagi ke HTI. Alih-alih mendukung kontra-narasi radikalisme, mereka justru akan melakukan segala cara agar radikalisasi tetap jalan. Mereka juga akan menghempas pihak manapun yang hendak mengahalangi agendanya. Bukankah demikian yang MUI pertontonkan kepada kita sekarang?

BACA JUGA  Strategi Kontra-Radikalisasi Berbasis Keadilan Hukum

Sertifikasi dai merupakan selaiknya menyedot perhatian kita, bahwa narasi khilafahisme dan radikalisme merupkan sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kemenag tidak dapat dituduh sebagai perampas hak MUI, jika faktanya MUI sudah terasuki radikalisme itu sendiri. Ini bukan maksud menuduh personalia MUI. Tetapi jika memang masih aman-aman saja, seharusnya MUI tidak protes kebijakan sertifikasi dai hanya lantaran yang melakukan adalah Kemenag.

Hari ini kita menyaksikan bersama, bahwa akibat respons ahistoris MUI itu, umat menjadi salah paham dan menuduh Menag Fachrul Razi sebagai anti-Islam. Bermula dari kesalahpahaman tentang radikalisme good looking, yang sudah kita ulas sebelumnya, hingga polemik sertifikasi dai, tuduhan tersebut melebar hingga ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Tanpa maksud membela pemerintah atau Menag, semua itu telah menutupi urgensi dari sertifikasi dai itu sendiri. Ironi.

Infiltrasi radikalisme selaiknya teratasi dengan diberlakukannya program sertifikasi dai. Tugas kita ialah meluruskan paham masyarakat, bahw program ini sama sekali tidak bertendensi-pretensi mengekang umat, membatasi dakwah amar makruf nahi mungkar, atau bahkan alat kontrol rezim penguasa. Lagi pula “amar makruf nahi mungkar” itu merupakan istilah yang multitafsir. Bukannya aktivis HTI juga kukuh bahwa pengajaran khilafah juga bagian dari amar makruf nahi mungkar tersebut?

Keniscayaan Sertifikasi Dai

Dengan fakta-fakta yang ada, sertifikasi dai adalah program yang wajib ada, wajib diterapkan. Poinnya bukanlah untuk membatasi pergerakan dakwah, melainkan mencegat indoktrinasi radikalisme-khilafahisme yang berkedok dakwah Islam. Ini kasus terjadi di lapangan. Orang hanya menilai seseorang dari sisi ia menarik atau bukan. Kalau ia menarik, bisa bikin jemaah tertawa, dipoles joke-joke islami, maka ia akan laku pasar, dan bahkan menguasai majelis—diundang ceramah dimana-mana.

Masalahnya ialah, tidak jarang ternyata perceramah good looking tadi tidak punya sanad keilmuan yang jelas. Ia belajar autodidak dari YouTube, lalu mengajarkannya ke umat. Ada yang bacaan al-Qur’an-nya amburadul tanpa tajwid, ada yang buta sejarah, bahkan ada yang menyelipkan dakwah ideologi tertentu. Dakwah mereka yang tidak jelas asal-usulnya itu jelas merupakan benalu kepada Indonesia secara khusus, dan secara umum kepada kesucian dakwah Islam.

Menertibkan dai yang tidak kompeten, yang tidak jelas keilmuannya, yang produk karbitan, dengan demikian, menjadi keniscayaan. Salah satu caranya ialah sertifikasi dai tadi. Sekali lagi bukan mengekang dakwah, melainkan meminimalisir manipulasi dai-dai palsu. Jika permasalahannya adalah inkompetensi dai dalam ilmu tajwid, barangkali itu masih bisa ditolerir. Yang parah adalah, bagaimana kalau si dai tersebut justru mendakwahkan radikalisme-khilafahisme yang jelas-jelas amat riskan bagi Indonesia?

Masihkan kita, atau Anda, akan menganggap bahwa sertifikasi dai itu tidak penting dan tidak berguna?

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru