27.4 C
Jakarta

Pembukaan Masjid Hagia Sophia dan Desekularisasi Substansial di Turki

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahPembukaan Masjid Hagia Sophia dan Desekularisasi Substansial di Turki
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pembukaan Masjid Hagia Sophia dan Desekularisasi Substansial di Turki

Ayik Heriansyah*

Pembukaan kembali masjid Hagia Sophia setelah pengadilan administrasi utama Turki pada 10 Juli 2020, mencabut status Hagia Sophia sebagai museum. Hagia Sophia resmi menjadi Masjid dan tidak lagi berada di bawah naungan Menteri Kebudayaan Turki melainkan kini di bawah Kementerian Urusan Agama Turki.

Erdogan pasang badan atas keputusan monumental ini. Ia tidak peduli bahkan mengecam keras sikap penolakan negara-negara Barat. Baginya, pembukaan kembali masjid Hagia Sophia adalah urusan dalam negeri Turki. Negara Barat tidak usah ikut campur, toh masjid Hagia Sophia tetap bisa dikunjungi turis dari manca negara.

Warga Turki sendiri antusias menyambut. Kata Ozgur Unluhisarcikli, direktur Ankara dari German Marshall Fund, mengatakan, langkah itu akan memenangkan hati dan pikiran di dalam negeri. Sebab kebanyakan orang Turki akan mendukung keputusan menjadikan situs itu masjid untuk sentimen keagamaan atau nasionalis. (republika online).

Pembukaan masjid Hagia Sophia oleh Erdogan mengingatkan kembali memori umat Islam saat Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel pada 29 Mei 1453 yang diyakini oleh para pejuang Khilafah sebagai bukti kebenaran bisyarah Rasulullah saw dalam hadits yang berbunyi:

Salah seorang sahabat Nabi, Abu Qubail bercerita, “Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya, ‘Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu; Konstantinopel atau Roma?’ Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Lalu ia berkata, ‘Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau ditanya:

أي المدينتين تفتح أولا : أقسطنطينية أو رومية ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : مدينة هرقل تفتح أولا . يعني : قسطنطينية

Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau Roma?’ Rasul menjawab, ‘Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.’ Yaitu: Konstantinopel’.” (HR. Ahmad, ad-Darimi dan al-Hakim)’

«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»

Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kabar gembira kepada  para sahabatnya, “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR. Ahmad).

Hadits yang kerap dipolitisasi oleh para syabab Hizbut Tahrir untuk menjustifikasi ambisi mereka. Jika dipahami dengan jernih, makna hadits ini dan fakta penaklukan Konstantinopel, menunjukkan realitas bertolak belakang dengan apa yang mereka persepsikan dan opinikan di tengah masyarakat.

Syabab Hizbut Tahrir berpendapat, penakluk Konstantinopel adalah seorang Khalifah yang memimpin suatu negara Khilafah. Fakta menunjukkan, saat Konstantinopel ditaklukkan tahun 1453, status pemerintahan Utsmaniyah masih kesultanan, bukan Khilafah umat Islam. Muhammad al-Fatih sebagai seorang Sultan Utsmaniyah, bukan seorang Khalifah kaum muslimin.

Baru pada masa kepemimpinan Salim I (1512-1519) Utsmaniyah berubah menjadi Khilafah setelah Sultan Salim I berhasil menaklukkan pemerintahan Safawi di Iran bagian Utara dan Barat kemudian menundukkan Kesultanan Mamluk di Mesir pada tahun 1517. Wilayahnya mencakup Asia Tengah, Syam, Jazirah Arab dan Maghribi. Perubahan status pemerintahan Utsmaniyah dari kesultanan menjadi kekhalifahan terjadi 64 tahun setelah penaklukan Konstantinopel.

Kekuasaan Khalifah Salim I itu pun tidak meliputi semua negeri-negeri Islam. Wilayah Safawi tidak semuanya dikuasai Salim I. Kesultanan Mughal di Asia Selatan, puluhan kesultanan di Nusantara dan kesultanan-kesultanan di Afrika Tengah tidak bergabung dengan Kekhalifahan Utsmaniyah. Kesultanan-kesultanan tadi secara politik merupakan satu negara yang berdaulat, independen dan otonom. Walaupun demikian, mereka mengakui Khalifah Utsmaniyah sebagai simbol pemimpin umat Islam ketika berhadapan dengan negara-negara Barat.

Islamisasi simbolis secara revolusioner dengan menegakkan Khilafah Tahririyah, tidak mempunyai dasar pijakan sejarah dan syari’ah yang kuat. Langkah Erdogan membuka masjid Hagia Sophia menunjukkan telah terjadi desekularisasi substansial secara gradual dan konstitusional di Turki. Negara yang telah lebih dulu melarang Hizbut Tahrir dan berani menindak, menangkap dan memenjarakan aktivisnya.

*Ayik HeriansyahPengamat Sosial Keagamaan, dan Mantan Ketua DPD HTI Bangka Belitung

Ayik Heriansyah
Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru