26.7 C
Jakarta

Pancasila Sebagai Vaksin Politik Anti-Radikalisme dan Non-Konflik

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPancasila Sebagai Vaksin Politik Anti-Radikalisme dan Non-Konflik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kedudukan dan muatan Pancasila sudah tidak ada celah perdebatan. Diskusi yang masih terbuka bahkan justru wajib terus dilaksanakan adalah terkait strategi upaya internalisasi dan aktualisasi nilai-nilainya. Zaman terus berkembang dan semua sektor kehidupan berbangsa semakin kompleks. Hal ini menuntut penyegaran pemahaman dan inovasi pelaksanaan nilai-nilai Pancasila.

Salah satu tantangan pembumian nilai Pancasila adalah di sektor politik. Pancasila lahir tentu melalui dinamika politik bangsa. Namun sektor ini juga dikenal penuh intrik dan kompetisi. Politik juga rawan disusupi doktrin radikalisme, upaya menggerogoti Pancasila dan rawan terjadinya konflik. Pancasila mesti ditempatkan bersama sebagai banteng sebaligus vaktis dalam memitigasi kerawanan tersebut.

Kerawanan Politik

Sebentar lagi di tengah kondisi Pandemi, Bangsa Indonesia akan menggelar hajatan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada). Pilkada akan dilaksanakan oleh 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota secara serentak. Pemerintah telah mengeluarkan PERPPU yang menyatakan bahwa Pilkada 2020 akan digelar pada 9 Desember 2020 dan bisa diundur lagi jika kondisi pandemi tidak memungkinkan. PERPPU telah disetujui DPR dan tahap Pilkada kembali bergulir mulai 30 Mei 2020.

Hajatan demokrasi Pilkada 2020 diprediksi akan rawan konflik. Ruang kompetisi diprediksi semakin bersifat lokal dan sangat terbuka. Kompetisi tidak sekadar antar parpol, tetapi antar caleg dalam satu parpol pun bisa saling jegal. Gesekan horisontal yang berpotensi konflik menjadi tantangan yang perlu diantisipasi dan ditangani.

Scannell (2010) memaparkan bahwa konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Konflik berjalan mulai dari tahap diskusi. Jika masing-masing pihak mau menang sendiri, maka proses berlanjut ketahap polarisasi. Perkembangan selanjutnya jika tidak ada lagi obyektivitas, maka konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh, putus komunikasi). Terakhir dan paling berbahaya jika segregasi tidak bisa ditangani secara baik, maka konflik memasuki tahap destruktif.

Kerawanan konflik pertama kali penting diamati berdasarkan peta spasial basis parpol dan kontestan. Ruang geografis sifatnya statis dan konstan, sedangkan pelaku dan aktifitas politik yang mewarnai sangat dinamis dan tidak sedikit jumlahnya. Ruang tertutup tersebut menjadi medan kompetisi politik yang niscaya menghadirkan singgungan dan overlapping antar kontestan.

Kontestan dan elemen partai politik, baik pengurus, kader, maupun caleg merupakan garda terdepan dalam perjuangan politik di Pilkada 2020. Kerawanan dapat diantisipasi dengan memahami peta jaringan dan pergerakan yang meraka lakukan. Semakin rinci informasi yang dimiliki akan semakin memudahkan upaya antisipasi sekaligus resolusi jika konflik terjadi.

Potensi konflik Pilkada 2020 diprediksi meningkat dibanding 2018 lalu. Hal ini lantaran pilkada kali ini dilaksanakan dalam kondisi pandemi. Himpitan ekonomi dan kegaduhan bantuan sosial pemerintah dapat menyukut emosi publik.

Kemendagri (2020) memaparkan adanya tiga potensi kerawanan dalam pilkada tahun ini. Pertama, polarisasi di tengah masyarakat akibat persebaran informasi lewat media sosial (medsos).  Kedua, politik identitas dan politisasi isu SARA yang diduga masih akan menjadi ancaman pada Pilkada tahun 2020. Ketiga, keberpihakan dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon kepala daerah secara langsung menjadi sumber utama konflik dalam seluruh proses tahapan pemilihan kepala daerah.

BACA JUGA  Neo-HTI: Spirit Propaganda Khilafah yang Mesti Dilawan

Selanjutnya Bawaslu (2020) memaparkan 24 daerah penyelenggara Pilkada 2020, rawan terjadi konflik, Sembilan provinsi diantaranya dalam kategori tinggi atau rawan konflik, yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Utara.

Strategi Mitigasi

Gesekan di lapangan adalah keniscayaan, tetapi tidak semestinya melebar menjadi konflik destruktif. Hal ini menuntut dilakukannya manajemen dalam rangka mengatasi atau resolusi konflik hingga tercipta demokrasi damai.

Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah mengatur masalah penanggulangan bencana sosial dari akibat konflik sosial yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. Produk hukum lain berkaitan dengan konflik sosial adalah UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial juga mengatur tentang tata cara menangani konflik sosial dengan pencegahan, penghentian konflik dan penanganan pascakonflik.

Setiap pihak memiliki tanggung jawab dalam menghadirkan Pilkada 2020 yang aman dan damai. Pertama, parpol dan cakada. Parpol dan cakada harus mampu mengendalikan kader dan tim suksesnya. Satu hal tidak dibenarkan adalah klaim suatu kawasan menjadi daerah kekuasaan peserta tertentu. Peserta pilkada harus dapat melakukan manajemen konflik secara arif, bukan justru memancing dan memperbesar gesekan. Komunikasi antar elite parpol dan cakada mesti dibangun secara intensif atas dasar kekeluargaan.

Kedua, penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu harus mengantisipasi konflik dengan bekerja secara adil. Penting bagi KPU untuk mengatur jadwal kampanye mempertimbangkan peta kerawanan di atas. Bawaslu juga mesti jeli mengawasi pelanggaran. Penindakan harus berkeadilan dan memprioritaskan solusi permusyawaratan

Ketiga, aparat pemerintah dan tokoh. Aparat pemerintah hingga tingkat terendah seperti Ketua RT/RW harus mampu mempelopori penciptaan suasana kondisif di setiap wilayahnya. Pendidikan politik warga wajib diprogramkan. Perangkat pemerintahan tidak dibenarkan menunjukkan keberpihakan politik. Tokoh masyarakat dan agama juga dapat berperan strategis melalui pendekatan budaya dan spritual.

Keempat, aparat keamanan. Kepolisian setelah mengetahui peta secara spasial, penting mengidentifikasi potensi sumber dan latar belakang konflik hingga ke akar-akarnya. Selama ini pendekatan antisipasi dilakukan melalui Intelejen dan Babinkantibmas. Intelijen untuk memantau perkembangan konflik dan Babinkantibmas untuk komunikasi sosial berbasis kearifan lokal.

Semua elemen di atas penting memiliki dasar yang sama yaitu menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan penuntuk laku berpolitik. Radikalisme dan konflik tentu akan mudah diredam jika semua telah menjiwai nilai-nilai Pancasila secara benar.

Ribut Lupiyanto
Ribut Lupiyantohttps://www.www.harakatuna.com/
Konsultan, Peneliti, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA). Website: www.ributlupiyanto.com

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru