30.1 C
Jakarta
Array

Pak Tua, Tetaplah Fiksi!

Artikel Trending

Pak Tua, Tetaplah Fiksi!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di tepi belantara Amazon,pada waktu yang mungkin tak sungguh terjadi, seorang tua menantikan pastor malang terjatuh dalam lelap. Yakin si pastor tertidur, pak tua, yang separuh hidupnya dididik rimba, mengambil yang sedari tadi menggelisahkannya: buku.

Namun, akibat tak dapat nyali meminta buku pada pastor,yang didapat pak tua malahhasrat berbuku yang kian bergejolak. Apes. Sepanjang musim hujan pak tua frustasi. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia dikejar monster bernama kesepian.

Tak ada buku di El Idilio, desanya, dan bagaimana pun, ia mesti pergi dari sana buat menuntaskan hasrat membacanya. Hal ini membikin ia kembali ke hutan. Mencari buruan untuk menebus pelayaran keEl Dorado, kota terdekat.

Selepas 2 minggu di hutan, ia tenteng 3 pasang kera, sepasang kakak tua biru-emas, dan sepasang parkit shapul menuju dermaga. Nahkoda mengizinkannya naik bertebus sepasang kakak tua. Di pelayaran, ia sampaikan niatpada dr. Rubindo Loachmín, dokter gigi yang setahun 2 kali ke desanya. Si dokter membawa pak tua ke kepala sekolah setempat.

Selama 5 bulan di El Dorado, pak tua menjadi pembaca tekun.Kita bayangkan di perpustakaan dengan 50 buku, pria tua dengan baju dan celana lusuh dan tanpa beralas kaki ini menampakan binar di matanya. Tangannya yang tebal lagi kasar dengan hati-hati membalik halaman. Menikmati lirih suara kertas. Menikmati perburuan atas tanya akan jawab. Dan kepala sekolah turut menjadi pustakawan andal baginya (Luis Sepúlveda, 2017).

Menilik girang pak tua pada perpustakaan, kita tak heran penulis masyhur dari Argentina, Jorge Luis Borges, mengasumsikan surga ialah tempat dengan begitu banyak buku; perpustakaan. Tak hanya terisi lusinan bidadari atau bidadara jatmika, di hamparan surga, seturut Borges, hidup pula pustakawan yang mampu memuaskan hasrat membaca—hasrat bertanya dan menemukan jawab.

Non Fiksi

SOAL perpustakaan tak melulu negeri asing. Tak mesti pula buku. Kita menilik unggahan akun Instagram Pers Mahasiswa Kentingan UNS Surakarta, @Kentinganpers,16 Desember 2017.

Dalam unggahan @Kentinganpers, perpustakaan adalah tempat yang melarang orang masuk dengan sandal atau kaus. Tak peduli meski yang berkemeja dan bersepatu datang dengan juntrungan tak jelas, dan yang berkaus-sandal memiliki juntrungan lebih jelas.

Anggaplah betul buku merupakan jendela dunia. Dan dalam melongok dunia, dalam logika perpustakaan yang dimaksud @kentinganpers, haram hukumnya berkaus dan bersandal. Barangkali ada hal mengerikan bakal terjadi jika kita menggunakan kaus dan sandal di tempat yang menghimpun jendela dunia. Menginjak serpihan kaca jendela atau masuk angin, barangkali.

Tak jelas perpustakaan mana yang dimaksud @Kentinganpers. Tapi pada suatu liburan semester lalu aku main ke suatu perpustakaan guna mencari data yang berkaitan dengan kampanye partai politik di kampus era orde baru yang kelak mengingatkanku pada unggahan @Kentinganpers.

Ketika bermaksud menaruh tas di loker, demi melihatku cepat-cepat, seorang pustakawan dari arah ujung menyamperi.

Keluar, suruhnya. Berkat kaget dan tak mengerti apapun, sontak aku bertanya mengapa. Dia bilang aku bersandal dan berkaus. Dua benda haram di perpustakaan—tempat jendela dunia berjejal. Aku bertanya mengapa lagi, dan dia bilang bahwa dia juga berpakaian rapi, masa aku tidak. “Kamu harus menghormati dirimu sendiri,” pungkasnya.

Kita teringat cerita Pakaian Liturgi Anthony de Mello (2006) yang mengisahkan sidang uskup Gereja Ortodoks di suatu wilayah Rusia. Salah satu kubu menyuarakan putih adalah warna pakaian terbaik untuk peribadatan, sedang kubu lain ungu. De Mello memberi komentar bernas: “aku lebih suka berdoa daripada terlibat dalam pertengkaran dengan tetangga.”

Yang terpenting dari peribadatan adalah perjumpaan dengan Tuhan. Bukan apa yang disandang. Yang terpenting dari perpustakaan adalah perjumpaan dengan pengetahuan. Bukan apa yang disandang. “Kamu harus menghormati dirimu sendiri” Entahlah apa jawaban pak tua atau De Mello soal kegawatan kehilangan harga diri ini.

Namun mungkin pustakawan itu memiliki tafsir lain, atau tak membaca de Mello karena memang tak minat pada cerita macam itu. Bukan tak minat pada membaca itu sendiri. Semoga saja dugaan Murti Bunanta (2008) bahwa “pustakawan yang dianggap serba tahu tentang seluk beluk isi buku malahan tidak dapat memberi keterangan sedikitpun, meskipun mengenai hal-hal yang umum […] seakan-akan hanya sibuk dengan urusan tehnis dan administrasi perpustakaan saja,” sekadar penilaian kelewat buru-buru.

Sehingga kita bisa dan sangat patut mencurigai orang macam Satya Adhi (2017). Jurnalis saluran sebelas.com itu melangut pustakawan macam Wan Shi Tong dari serial Avatar The Last Airbender dan Kolbuher, tokoh Buku-buku Kutu Buku garapan Pamusuk Eneste gara-gara tak pernah berjumpa pustakawan radikal macam dua tokoh khayali itu. Bagi Satya, pustakawan fiksi lebih mantap ketimbang manusia sungguhan yang diperintahkan Tuhan untuk rajin membaca biar sukses memimpin bumi. Biadab betul orang itu.

Akhirnya aku menemukan diriku menenteng tas keluar perpustakaan sembari berpikir bahwa dia petugas yang baik. Dan petugas yang baik memang selalu sukses menjalankan perintah bos dengan gemilang.

Eh, nanti dulu.Jangan-janganperpustakaan bagus emang cuma di fiksi doang, ya?

Oleh: Irfan Sholeh Fauzipembaca buku. Takmir liqo akar sungai, Solo.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru